Exploring the iftar cake producing amid pandemic
This year, don't count profit or loss, just being able to survive is already thankful [Jack Ma]
Perhaps departing from Jack Ma's motivation, I saw a number of young men in one of the Leumang [traditional iftar cake] production centers still continuing their daily activities in a thatched-roof hut.
Tahun ini jangan menghitung untung rugi, bisa bertahan hidup saja sudah bersyukur [Jack Ma]
Mungkin berangkat dari motivasi Jack Ma tadi, saya melihat sejumlah pemuda di salah satu pusat produksi Leumang [Kue iftar tradisional] masih melanjutkan kegiatan keseharian mereka di sebuah pondok beratapkan daun rumbia.
The young man are the workers who burn the Leumang Wak Saleh every day -- one of the well-known brands in my city, Lhokseumwe.
Anak-anak muda itu adalah para pekerja yang saban hari membakar Leumang produksi Wak Saleh--salah satu brand cukup dikenal di kota saya, Lhokseumwe.
Every day, on average, they produce about 2 sacks of glutinous rice which are processed into Leumang, orders come from several areas outside the city of Lhokseumawe. This year's Leumang production has indeed decreased slightly from usual due to the Corona outbreak which is also feared to spread in the city.
Setiap harinya, mereka rata-rata memproduksi sekitar 2 sak beras ketan yang diolah menjadi Leumang, pesanan pun berasal dari beberapa daerah di luar kota Lhokseumawe. Produksi Leumang tahun ini memang ada sedikit penurunan dari biasanya dikarenakan wabah Corona yang juga ditakutkan menyebar di kota tersebut.
Even so, these young man still carry out production, they also wear masks as one of the prevention procedures that are socialized by the government so they are not easily infected by the Corona virus.
Pun begitu, para pemuda ini tetap melaksanakan produksi, mereka juga memakai masker sebagai salah satu prosedur pencegahan yang disosialisasikan oleh pemerintah agar tidak mudah terinfeksi Corona virus.
Leumang is known to have a distinctive taste, moreover this cake is burned in a bamboo container wrapped in banana leaves, as well as coconut fibers as an ignition making Leumang indeed presented so special in terms of the cooking process.
Leumang dikenal memiliki cita rasa khas, apalagi kue ini dibakar dalam wadah bambu yang dibungkus daun pisang, serta serabut kelapa sebagai pengapiannya menjadikan Leumang memang disajikan begitu istimewa dari segi proses pembuatannya.
The price also varies, if you buy a mosquito net it can reach IDR 5O thousand rupiah, but if you buy it in pieces it is also available with a variety of prices that are considered relatively cheap, IDR 5 thousand to 1O thousand rupiah. Despite the decline in production, on average, this Leumang is able to spend 2O to 25 kilograms of glutinous rice every day.
Harganya juga bervariasi, bila dibeli perbambu bisa mencapai IDR 5 puluh ribu rupiah, namun bila membeli secara potongan juga tersedia dengan ragam harga yang dinilai relatif murah, IDR 5ribu sampai dengan 1Oribu rupiah. Meski ada penurunan produksi, rata-rata Leumang wak saleh ini mampu menghabiskan 2O s/d 25 kilogram beras ketan setiap harinya.
