Survey Lokasi Aksi Pengabdian Lingkungan

Mahasiswa dan pengabdi adalah dua entitas yang tak mungkin terpisahkan. Meski kehidupan seorang mahasiswa diidentikkan dengan kehidupan berbantal buku dan diterangi kerlip layar laptop, sebenarnya ada hal-hal yang lebih besar dari itu.

Peran mahasiswa acap kali terselip di balik label yang lebih dalam, sebagai peneliti, pengabdi, dan penggema suara masyarakat. Mustahil seseorang layak dipanggil mahasiswa jika hidupnya hanya di menara gading semata-mata

Sebagai seorang pencari jawaban atas enigma-enigma yang rumit, tanggung jawab ini tak lain adalah pengabdian terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Tanggung jawab sosial seorang mahasiswa penerima beasiswa tentu berlipat ganda dibanding rekan-rekan mereka yang membiayai kuliahnya dengan kantong pribadi.

Tanggung jawab tersebut semakin membesar ketika beasiswa yang diterima datang dari perusahaan dengan misi lingkungan yang jelas. Kami tak boleh hanya berpangku tangan, menerima dana, dan kemudian tenggelam dalam individualisme di dalam kelas.

Ada amanah terselip di dalam setiap rupiah yang mengalir ke rekening kami. Amanah untuk menjaga bumi ini sedikit lebih hijau, sedikit lebih lestari.

Dalam menjalankan amanah tersebut, kami dituntut untuk melakukan aksi yang nyata, terukur, dan berdampak. Perusahaan donor beasiswa saya sendiri punya agenda CSR yang mepet-mepet dengan lingkungan.

Kami—para penerima beasiswa, atau lebih sering disebut awardee dengan istilah kerennya—diharuskan untuk menjalankan aksi lingkungan secara berkala dalam kurun waktu tertentu.

Tahun ini, aksi yang diusung harus mencakup tiga elemen utama: Environment, Education, dan Empowerment. Disingkat dengan 3E. Tiga pilar ini menjadi fondasi utama dalam setiap aksi yang kami jalankan.

Setelah melalui beberapa putaran diskusi alot—setiap kepala awardee punya ide dan konsepnya sendiri—kami akhirnya bersepakat untuk aksi kali ini, akan melakuan penanaman mangrove. Kenapa mangrove?

Mangrove ini bukan semata-mata pohon yang berakar di wilayah pasang surut air laut. Ia punya kemampuan luar biasa dalam menyerap emisi karbon, mencapai lima kali lipat dibandingkan hutan daratan.

Mangrove juga berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi pesisir dari abrasi serta habitat bagi beragam biota laut yang menjadi sumber kehidupan nelayan.

Menentukan lokasi penanaman mangrove yang ideal tidak semudah memilih kafe hits untuk ngopi-ngopi cantik. Kami harus mempertimbangkan banyak hal dari aksesibilitas, kondisi lahan, hingga ketersediaan bibit.

Di tengah kebuntuan tersebut, saya yang kebetulan bagian dari seksi acara akhirnya mau tidak mau harus turun tangan. Bersama ketua seksi acara, saya memutuskan untuk melakukan survei langsung ke beberapa lokasi yang dianggap potensial.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya kami menjatuhkan pilihan lokasi aksi kali ini pada Mangrove Park Lampulo. Tempat ini memiliki segalanya yang kami butuhkan.

Mangrove Park Lampulo dikelola oleh komunitas lokal bernama Pemangku (akronim dari Pemuda Peduli Mangrove Kutaraja). Pemangku adalah kelompok aktivis mangrove diisi oleh para expert yang benar-benar memahami ekosistem mangrove dan cara merawatnya. Mereka telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun lamanya demi menjaga kelestarian hutan mangrove di wilayah ini.

Mangrove Park Lampulo berada di bawah pengelolaan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh, dengan luas lahan sekitar 8 hektar. Lokasi ini sudah sering digunakan sebagai tempat pelaksanaan program CSR oleh berbagai perusahaan besar, Pertamina dan Telkom adalah salah duanya.

Pengalaman kelompok Pemangku dalam mengelola kegiatan penanaman mangrove skala besar menjadi faktor penjamin bahwa jika kami melaksanakan aksi di sini, in syaa Allah tidak akan menyesal, deh!

Pihak Pemangku juga menyediakan bibit mangrove dan kayu ajirnya dalam satu paket sehingga kami tak perlu repot-repot mencari bibit dari pihak ketiga. Mereka bahkan menawarkan bibit secara gratis, meski dengan nada bercanda mereka mengatakan, "Kalau mau mengganti biaya pembibitan juga boleh, 3 ribu rupiah per batangnya."

Tentu saja, kami merasa tidak etis jika memanfaatkan kebaikan hati mereka tanpa memberikan sesuatu sebagai pengganti. Akhirnya, teman-teman awardee sepakat untuk “menggantikan” biaya polybag.

Berbekal rekomendasi dari Pemangku, kami memilih bibit jenis Bruguiera cylindrica. Jenis mangrove ini cukup langka dibandingkan Rhizophora yang lebih umum ditanam. Bruguiera cylindrica memiliki keunggulan dalam hal toleransi terhadap salinitas dan memiliki akar yang lebih kuat. Kami cukup beruntung bisa mendapatkan bibit in, mengingat kelangkaannya di pasaran.

Fokus panitia berikutnya adalah memastikan partisipasi dari para peserta aksi. Perusahaan donor menetapkan target minimum penanaman sebanyak 200 batang, tetapi kami memutuskan untuk menanam 300 batang.

Perkiraan ini didasarkan pada perkiraan jumlah peserta yang akan hadir—sekitar 100 orang—dengan asumsi bahwa setiap peserta menanam minimal dua hingga tiga batang mangrove. Harapannya, setiap orang yang terlibat dalam aksi ini benar-benar merasakan pengalaman menanam pohon, bukan hanya datang untuk sekadar absen atau berfoto.

Dalam proses persiapan ini saya berkesempatan bertemu dengan Pak Fikri, salah satu pengurus Mangrove Park yang juga merupakan anggota Pemangku. Beliau dengan rendah hatinya memberikan pembekalan kepada kami terkait teknis penanaman dan cara menjaga bibit mangrove agar tumbuh optimal.