Negativitas Kita dalam Bahasa

in STEEM Literacy3 years ago

IMG_20210521_134739.jpg

HUBUNGAN antara bahasa dan budaya telah berulang kali dibahas orang. Dari sekian banyak penelitian, sepertinya tidak satu pun ada yang meragukannya, dan apalagi menyanggahnya. Tentu saja, Chomsky pernah bilang bahwa kemampuan berbahasa bersifat innate alias bawaan. Akan tetapi, dia juga sepertinya tidak akan berani mengatakan bahwa bahasa yang dipakai manusia bebas dari budaya tempat ia tinggal. Habermas malahan terang-terangan merevisi pikiran Chomsky dengan beranggapan bahwa kemampuan pragmatik merupakan bagian inti dari kompetensi komunikasi setiap orang. Singkatnya, mungkin kita percayai saja pendapat para ahli bahwa bahasa memang mencerminkan budaya.

Namun demikian, agaknya kita juga perlu bertanya, sampai sejauh mana bahasa dipengaruhi oleh budaya? Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada tingkatan kosakata budaya sangat mempengaruhi bahasa. Dengan cara seperti ini, dapat dijelaskan kenapa kosakata bahasa Indonesia yang terkait dengan nasi jauh lebih melimpah dibandingkan dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Sebaliknya, kosakata tentang kurma dalam bahasa Arab dan roti dalam bahasa Inggris jauh lebih banyak dibandingkan bahasa Indonesia. Begitulah seterusnya, semakin kita mengakrabi sesuatu, semakin banyak pula nama yang kita persembahkan untuknya, sebagaimana kita memanggil kekasih kita dengan banyak nama. Konon, ungkapan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan lemah lembut” tidak dapat atau sulit dibuktikan. Pasalnya, kosakata kekerasan yang melekat pada tubuh kita, dan lebih khusus lagi tangan, jauh lebih melimpah bila dibandingkan dengan kosakata kasih sayang yang dapat dilakukan tubuh.

Tentu saja, tidak hanya kosakata yang dipengaruhi budaya, melainkan juga sistem bahasa. Banyak orang berpendapat bahwa bahasa yang memiliki sistem kala (tense), misalnya Arab dan Inggris, menunjukkan watak masyarakatnya yang sangat menghargai waktu. Mereka berpikir bahwa, sebagaimana tense, waktu bersifat linear, yang telah lewat tidak dapat lagi kembali. Sebaliknya, bahasa yang tidak memiliki tense, kebetulan bahasa Indonesia secara umum termasuk di sini, menunjukkan sikap masyarakat yang melihat waktu sebagai suatu yang sirkular, yang telah lewat akan datang lagi besok. Tesis semacam ini bisa jadi benar bisa jadi salah. Yang pasti, kita tidak punya ungkapan al-waqtu ka as-sayf (waktu seperti pedang) sebagaimana orang Arab; dan tampaknya ungkapan waktu adalah uang tidak lebih dari terjemahan time is money-nya orang Inggris. Lalu barangkali, itulah sebabnya kenapa kita menyukai keterlambatan. Biar lambat asal selamat dan, toh, terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.

Begitu pula praktik berbahasa kita sehari-hari. Sedikit banyak dipengaruhi oleh alam kebudayaan yang tidak lain adalah cara pandang kita terhadap dunia. Argumen yang digunakan pemerintah untuk menghentikan orang merokok, misalnya, menunjukkan hal semacam ini juga. Ungkapan merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin adalah ungkapan yang distandarkan, mungkin lebih tepat lagi dibekukan—oleh si pembuat pesan dan hampir wajib ditulis sama di semua ruang hampir sampai tingkatan terdetilnya (berhuruf kapital, berada di dalam kotak, dan redaksi harus sama!).

bahaya-merokok.jpg

Teknologisasi wacana, begitu kata Foucault. Lalu apa? Untuk memperkuat argumentasi, biasanya orang menghadirkan apa yang disebut probability consequences (konsekuensi yang mungkin), sehingga khalayak mau membenarkan pikiran pembuat pesan dan mengubah sikapnya. Maksud saya begini, dalam pikiran pembuat himbauan berhenti merokok ini dan mungkin juga semua orang indonesia—rokok dianggap dapat menghilangkan atau merusak kehidupan (kanker dan serangan jantung), kenikmatan (impotensi), dan keturunan (gangguan kehamilan dan janin). Yang ingin saya tekankan bukanlah konsekuensi merokok, melainkan urutan hal yang kita takuti hilang dari kita atau menjadi rusak: kehidupan, kenikmatan, dan baru keturunan. Apakah urutan itu penting? Penting! Itu menunjukkan–dan bahkan pada titik tertentu mengatur--perilaku kita!

Saya kira, saya ingin menutup ini dengan satuan yang lebih besar dan aktual. Ketika banyak pejabat kita yang di tangkap penegak hukum karena kedapatan korupsi, saya mulai suka berspekulasi mengenai hubungan korupsi dengan kegiatan berbahasa kita. Dan yang saya ingat pertama kali adalah cerita. Dalam etnografi komunikasi, narasi dianggap dapat menunjukkan hubungan antar individu dalam masyarakat dan bagaimana setiap individu memposisikan diri mereka dalam masyarakat. Maka, saya mulai mengingat-ingat cerita yang saya konsumsi sejak saya mulai belajar mendengar, dan cerita Si Kancil adalah cerita yang paling banyak.

IMG_20210521_140307.jpg

Uniknya, setelah saya pikir-pikir, Si Kancil ini bukanlah tokoh yang benar-benar baik. Tokoh ini justru menggambarkan pribadi licin, cerdik, dan sebetulnya berbahaya. Dia pernah mengelabui petani dan anjingnya, sekelompok buaya, kerbau, dan bahkan singa!

Anehnya, kita menggemari tokoh ini dan menjadikannya sejenis prototipe kepribadian yang baik. Alih-alih diajarkan untuk mengambil pelajaran untuk "tidak memanfaatkan orang lain", kita biasanya justru diajarkan untuk mengambil pelajaran "selalu ada jalan keluar" dan "selamat dari perangkap". Apa yang terjadi kemudian? Mungkin kita semua bercita-cita menjadi kancil. Kalau hampir tertangkap, semoga selamat dari perangkap. Kalau sudah tertangkap, semoga ada jalan keluar!

Terakhir, mungkin Anda mulai bertanya, apakah yang saya tulis benar? Saya kira, tidak bisa dipercaya adalah hal biasa di negeri ini!

Sumber foto : Twitter


Ini adalah postingan pembuka saya di komunitas STEEM Literacy, setelah sebelumnya saya berkomentar tentang literasi di postingan orang lain, lalu di arahkan kesini oleh kak @cicisaja

Salam.
@vandols

Sort:  

Saya menyukai artikel seperti ini. Kalau ditulis dengan lebih panjang, bisa dimuat di rubrik sastra. Salam dari Garut, Jawa Barat.

Wah. Terima kasih, mba.
Saya juga kepikiran menulis -nya lebih panjang sih sebelumnya. Segera di-revisi, ini adalah pagi yang menyenangkan.🙏🏻

Tapi, soal rubrik sastra, memang sudah sedari dulu, rubrik sastra tidak pernah membuat saya tergoda untuk ikut menabur tulisan di sana.🤭

Salam hangat dari Aceh. 🙌🏻

Terima kasih @vandols atas postingannya yang sangat bernas. Kami menaruh hormat terhadap postingan yang bermutu seperti ini, meski sejauh ini kami belum bisa memberikan reward yang banyak karena kita sedang berjuang ke arah sana. Kami mengharapkan @vandols bisa memosting tulisan secara rutin di sini.

Sepakat dengan pandangan bahwa bahasa menceriminkan budaya. Dalam keseharian, kita bisa melihat orang Indonesia bisa lebih kritis dan tegas ketika menggunaka bahasa Inggris. Ada kecenderungan menggunakan bahasa Inggris ketika ada kritik yang dirasa agak tabu diucapkan dalam bahasa Indonesia.

Saleum #STEEMLiteracy.

Siap.
Menarik, ada nya komunitas ini.
Dimana saya bisa sedikit lebih merefleksikan mata dengan membaca bacaan yang sedikit nya bisa disebut berkualitas.

Ohya, selanjutnya mungkin saya akan mengulas "penggunaan istilah Inggris dalam intelektual bahasa". Ide menarik, terimakasih.

Tabik.🙌🏻

Ungkapan Biar lambat asal selamat juga populer dalam Bahasa Jawa: alon-alon asal kelakon...

Salam kenal..

Sebuah ulasan yang sangat menarik Kak. Saya sepakat terutama pada tokoh kancil yang selalu dielu elukan oleh anak anak. Ini sama seperti memberi sugesti kepada anak tanpa kita sadari.

Terima kasih sudah menulis ini Kak. Saya jadi berpikir untuk tidak menyediakan lebih banyak cerita kancil lagi di Taman Bacaan Masyarakat yang saya kelola. Ini benar benar membuka pikiran saya bahwa menghadirkan buku buku yang mereka senangi tidak selamanya baik. Meskipun di sisi lain baik untuk meningkatkan motivasi mereka dalam membaca. Tapi ini akan memberi efek buruk di segi pemikirannya.

Terimakasih kembali, kak.
Saya pikir memang rangsangan kritis dari cerita-cerita yang fiksi itulah yang perlu di pertajam. Jadi siswa-pun-masyarakat harus di beri ruang berfikir atas cerita dan bacaan yang mereka dapat. Sehingga siswa--masyarakat mampu membentuk karakter nya sendiri. Saya jadi ingat salah satu pikiran nya Ki hadjar Dewantara; "manusia adalah makhluk sempurna yang menyempurna" paradigma ini saya pikir sangat kontekstual untuk meningkatkan daya kritis dan interpretasi siswa--masyarakat dalam cerita, bacaan, maupun karya lainnya. CeritaSi kancil yang saya tulis adalah salah satu nya.
Memang, teman-teman yang jadi pengampu, bisa menerapkan kembali paradigma pendidikan yang kontekstual untuk meningkatkan daya kritis siswa.

Saya sangat senang mendengar ada nya Taman Bacaan Masyarakat yang anda kelola, semoga tetap konsisten. Semoga saya bisa dipertemukan dengan anda dalam hal-hal baik.🙏🏻

Salam dari saya.🙌🏻
vandols.

Iya terima kasih atas semua uraian ini Kak.
Amiiin semoga saja Kak, Saya masih sedang mengupayakannya. Semoga bisa berjalan dengan baik dan lancar. Meski saya tahu ini tidaklah mudah. Tapi bukan berarti tidak bisa juga kan 😬

Man to the tool! Orang dengan kemampuan linguistik yang baik memang sering kita liat lebih berbudaya. Kemampuan ini bisa bawaan dan bisa juga dipelajari. Yang pasti ciri mereka sangat Well-educated. Kaum terpelajar yang punya basic kuat untuk menjadi apa dan siapa dalam kehidupan sosial masyarakat. Yang pasti, kalo lu jago sepik, lu bakal aman lah ya. Apalagi bisa nulis kayak @vandols pasti lebih hidup bisa lebih grooonnn...! Great post bro!!!

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 66050.37
ETH 2629.02
USDT 1.00
SBD 2.68