Media Aceh Miskin Laporan Investigatif |steemCreated with Sketch.

in STEEM Literacy3 years ago



Oleh Ayi Jufridar

BERBAGAI lembaga non-pemerintah, sering mengirimkan rilis hasil kepada media massa di Aceh tentang dugaan kasus korupsi. Sebagian besar media cetak di Aceh menurunkan laporan itu di halaman pertama, bahkan sebagai berita utama (headline). Namun, sangat jarang ada media massa yang melakukan investigasi salah satu atau seluruh kasus tersebut. Media hanya mengutip, memintai tanggapan, lantas melupakan. Berita lanjutan atau follow up akan muncul kembali ketika ada pihak yang menanggapi.

Jurnalisme reaktif

Begitulah pola jurnalisme reaktif yang kian berkembang di Aceh. Di tengah persaingan ketat media saat ini, seharusnya pekerja pers lebih kreatif dalam menggali berita dan menyampaikannya ke publik. Berita di media cetak tidak hanya menyampaikan informasi semata, tapi juga mengandung edukasi sekaligus menghibur. Kalau tidak dikemas dengan menarik dan ringkas, media cetak akan kalah dengan media elektronik yang bisa melaporkan langsung saat kejadian. Apalagi saat ini, internet bukan lagi barang mewah bagi masyarakat Aceh, di kampung sekali pun!

Sungguh ironis, di tengah persaingan media saat ini para pekerja pers masih belum tergugah untuk tampil beda dengan media kebanyakan. Media cetak yang beredar di Aceh, sebagian besar hanya menyampaikan informasi datar tanpa mengungkap cerita di balik berita. Banyak media menurunkan berita seragam. Koran-koran “mainstream” yang menjadi referensi masyarakat Aceh, juga tak lepas dari pola ini.

Bahkan, beberapa tabloid yang masih "bernapas", juga hampir tidak pernah menurunkan liputan investigasi. Berita di tabloid yang disampaikan selama ini cenderung perubahan gaya dari straight news yang disampaikan harian, lalu diformat dalam bentuk reportase, plus sedikit wawancara dengan narasumber.

Memang harus diakui, masalah waktu menjadi kendala bagian media harian. Tenggat yang ketat membuat jurnalis mempunyai waktu terbatas. Namun, hal itu bukan alasan untuk tidak membuat liputan investigasi. Lucinda S Fleeson dalam 10 Langkah Peliputan Investigatif (2007:29), mengatakan wartawan harus meluangkan waktu untuk melakukan investigasi setelah merampungkan penugasan harian. Menurut Fleeson, peliputan investigatif membutuhkan sebuah perubahan sikap, di mana kita terus-menerus mengingatkan diri sendiri: selalu berpikir besar, mengerjakan berita-berita yang digali dengan gigih seiring dengan berita rutin lainnya.




Biaya, waktu, dan sumber daya

Selain masalah waktu, biaya juga sering menjadi alasan klasik miskinnya liputasi investigatif. Ini juga harus diakui karena laporan investigasi membutuhkan lebih banyak data, lebih banyak narasumber, dan luas cakupannya. Namun, tidak selamanya liputan investigasi membutuhkan biaya yang lebih banyak, yang lebih dibutuhkan sebenarnya kesungguhan yang lebih besar.

Khusus di Aceh, kendati dalam situasi damai seperti sekarang, masalah keamanan juga menjadi hambatan serius. Dua wartawan di Lhokseumawe, sampai saat ini tidak leluasa melakukan liputan investigasi di Sawang, Aceh Utara, karena melibatkan kelompok tertentu di dalamnya. Kendala ini memang kadang membuat liputan investigasi menjadi tak nyaman di Aceh. Padahal, kasus pembalakan liar yang marak atau korupsi yang meruyak, membutuhkan kerja keras jurnalis dalam mengungkapkanya.

Beberapa tahun lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe empat kali memberikan fellowship liputan investigasi di Lhokseumawe, Langsa, dan Banda Aceh. Pesertanya adalah seluruh jurnalis dari berbagai media cetak, terutama media lokal. Sedikitnya ada 40 liputan investigasi yang dibiayai AJI dan mitranya dengan jumlah yang lumayan besar untuk ukuran Indonesia. Bukan hanya membiayai liputan investigasi, jurnalis yang mendapat fellowship juga dimentoring oleh sejumlah wartawan senior di Jakarta dari media terkemuka. Segala kendala di lapangan didiskusikan bersama dan dicari solusinya. Wartawan benar-benar diarahkan berpikir, bekerja, dan menyampaikan laporan secara investigatif.

Mantan redaktur pelaksana majalah investigasi Tempo, Dwi Setyo Irawanto (Siba), yang terlibat secara intens dalam mentoring, harus mengakui bahwa persoalan liputan investigatif bukan menyangkut keterampilan semata, tapi lebih pada sikap. Keterampilan bisa dipelajari, tapi tanpa dukungan minat dan semangat yang terus-menerus, keterampilan yang ada menjadi percuma.

Dalam kondisi demikian, sangat disayangkan masih ada perusahaan pers yang keberatan wartawannya mengikuti berbagai pelatihan, bukan saja untuk menambah wawasan dan jaringan tapi juga untuk membentuk karakter investigatif. Perusahaan pers seharusnya berterima kasih bila ada lembaga yang mau mencerdaskan wartawannya. Bukan malah menghalang-halangi karena ada friksi di perusahaan media.

Jurnalisme reaktif yang kian membudaya bisa dikikis bila ada satu saja media cetak di Aceh menurunkan lebih sering liputan investigasi. Ini akan memberikan efek domino karena media yang tampil dengan laporan hasil investigasi pasti akan dilirik pembaca. Kalau pembaca sudah memilih, pada akhirnya semua media harus mengakui bahwa masyarakatlah tuannya, bukan penguasa apalagi pemilik media.[]




Logo Jadi.jpg

Sort:  

Dewasa ini kita harus berterima kasih kepada media sosial, bukan media konvensional atau mainstream. Meski media sosial tidak bisa menjadi sandaran dan acuan, tapi, medsos "berani" menjadi watchdog dalam menjaga agar masyarakat mendapat informasi kritis, --imho

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.16
JST 0.029
BTC 62382.95
ETH 2427.50
USDT 1.00
SBD 2.58