Menerka Bahaya di Mata Cinta
Dari dermaga tepian muara, cinta bangkit berjalan, ia tak peduli deras hujan menerpa wajahnya. Aku mengikuti, sesekali ia menoleh, ada rona merah di matanya. Kini aku benar-benar tak bisa membedakan mana air mata, mata butiran hujan.
Jalanan benar-benar sepi, cinta terus berjalan, kami akhirnya sampai ke bukit di sisi selatan. Cinta berdiri memandangi kota di utara, wajahnya kini sedikit ceria, ia mulai tersenyum. “Lihatlah kota itu, harapan yang menenggelamkan mimpi-mimpi.”
Aku ikut tersenyum, “Bukankah dengan harapan itu kita bisa bertahan hidup?” tanyaku. “Sungguh harapan itu indah, segala yang menyertainya indah. Tapi hasrat para pendosa telah membuyarkan harapan itu. Jika kita ikuti hasrat itu, maka kita juga akan menjadi budak malam kelam seperti mereka.”
Mendengar kata Cinta itu, aku tak lagi banyak berkata. Diamku cukup untuk sekedar menemani kegetirannya. Aku tidak ingin meninggalkan Cinta sendirian di puncak bukit itu. Ia sudah bertahun-tahun mengejar harapan, yang ternyata kemudian membuatnya terpuruk dalam nestapa.
“Kalau bukan karena kerinduan, tak mungkin kubertahan di kota ini,” kata Cinta lagi sambil jongkok kemudian duduk di batu. “Tapi nestapa lebih besar dari rindu itu. Bagaimana sekarang engkau memandangku?” tanyanya.
Pertanyaan itu bagai anak busur yang meluncur dari panah asmara, lalu menghantam ulu hati. Bagaimana aku menjawabnya. Berkata jujur akan membuatnya tambah terluka, tapi memendam kenyataan juga akan membuat Cinta semakin terlena. Kedengkian penduduk kota itu telah membuyarkan segala harapan.
Cinta kembali mengulangi pertanyaanya. Kutarik nafas panjang, kemudian menghembus pelan dalam rintik hujan yang masih menerpa. Kukatakan padanya, “Mata penduduk kota boleh saja sinis padamu, tapi pikiranku akan selalu bersamamu. Aku tak memandangmu dengan mata, tapi dengan pikiran.”
Dengan jawaban diplomatis itu kuharap cinta bisa tegar. Ia tahu aku tak mau jujur dengan kenyataan, tapi setidaknya aku tidak menambah luka di atas luka yang dideranya. Tapi bagaimana ia akan mempercayai kata-kataku?
Cinta kemudian tertawa, sementara aku masih duduk mematung melihat perubahan sikapnya. “Jangan bohongi dirimu hanya karena kasihan padaku.” Kalimat itu bagai anak panah kedua yang ditembak Cinta dari busurnya, tepat menembus rongga dadaku. Mungkinkah dia mengetahui apa yang sedang kupikirkan tentangnya?.
Kami kemudian menuruni bukit. Hujan benar-benar telah reda, tapi bulir bening yang jatuh dari sudut mata Cinta itu belum juga hilang. Aku tahu hatinya masih meronta. Kini ia benar-benar tak bisa lagi menyembunyikan air matanya padaku. Kusaksikan ada bahaya di matanya. Tapi aku tak mampu menerka, kemana ia akan tumpahkan gejolak hatinya itu. Ia diam, tapi matanya mulai berbinar.[]
Ilustrasi mata hanya sebagai pelengkap foto
Mata adalah jendela hati. Orang bisa berbohong dengan lidah, tapi tidak dengan mata. Begitu kata orang bijak. Tapi benarkah?
Ya mata jendela hati, tapi mata yang memata-matai hati itu yang gawat
Makanya jangan memata-matai mata, apalagi mata hati...
di kakinya pun ada mata yang menuntut cinta kembali
Kala mata cinta berbicara beginilah kisahnya, ujung-ujungnya hanya ada kebahagiaan dan kesedihan.
Cinta yang terlalu larut talam tawa adalah cinta yang sama yang harus rela berderai air mata. Cinta bukanlah cinta jika hanya mampu tersenyum.
cinta berbanding lurus dengan luka.
Bahas cinta nih bang 😂
Laku luka dalam lika liku laku cinta. Ada perilaku yang membunuh cinta
aneuk teuh
Bahaya that mata cintanyan lagoe pak @isnorman, man peujeut mata ureueng Inong yang simbol bahaya, nyan Han tatem pak
Bek that neupike, nyang cuma goresan fatamorgana cinta
Bereh pak, lawet Nyoe semakin meluas wilayah keurajeun Lagoe pak
Itanyoe dumpeu jeut tatuleh hai bu @marianimuhain asai na ide tuleh laju.
👍👍
Saya pernah menulis cerpen berjudul Mata Mirtha yang dimuat di majalah Kartini. Kisah berlatar tsunami di Aceh. Saya ingin posting cerpen itu di sini.
Ditunggu brader @ayijufridar jadi penasaran sama isi cerpennya.
Steem Literacy, Komunitas orang orang hebat, @cmdd / Cek Mad boleh masuk disini, paling tidak ada yang koreksi. Salam
Boleh Cek Mad, silahkan join dalam group
Terimakasih
What a wise words, Bg @isnorman !
Salah satu prinsip dasar ini yang selalu melekat kemana-mana dari belakang hari
Cerpen cinta tentang Cinta & nestapa serta bertahan karena kerinduan di sebuah kota.
Cerpen yang cantik, Bang ☺️
Nikmati saja lika-likunya @asiahaiss saya sedang mencoba kebiasaan lama menulis hal-hal demikian, setelah sekian lama "terkurung" dalam dokumen sejarah.
Geut Bg @isnorman 😄
Semangat terus untuk menulis & menyajikan karya indahnya Bang 🎉💪🏻
Have a wonderful day, Bang Isnorman ☺️
Terimakasih banyak, begitu juga hendaknya bagi @asiahhaiss
Geut, sama-sama Bang 😄