Antara Teukoe Mansoer Leupeung dan Robinson Crusoe
Robinson Crusoe sebuah karya sastra apik dari Eropa yang hadir di Aceh dalam bentuk hikayat. Adalah Teukoe Mansoer Leupeung yang mengubahnya ke bahasa Aceh melalui bait-bait bernilai sastra tinggi. Robinson Crusoe juga sempat dihadirkan dalam bentuk layar lebar di industri film barat.
Tak banyak referensi –malah boleh dibilang hampir tidak ada—yang menulis tentang sosok Teukoe Mansoer Leupeung, pujangga yang juga seorang Uleebalang di Aceh Besar yang hidup pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda berkuasa di Aceh. Padahal karya-karyanya merupakan peletak dasar sastra Aceh beraksara latin, karena sebelumnya karya sastra Aceh ditulis dengan menggunakan aksara Arab.
Cover dalam hikayat Robinson Crusoe foto
Setidaknya ada tiga karya fenomenal dari Teukoe Mansoer Leupeung yang pernah diterbitkan dalam bentuk hikayat beraksara latin, yakni Hikayat Sanggamara yang merupakan buku penuntun tata krama hidup bermasyarakat, isinya mengupas tentang sopan santun dan kehalusan budi pekerti.
Yang kedua Bungong Rampoe merupakan sebuah karya sastra yang memuat zikir dan syair-syair perjuangan. Dan yang ketiga Robinson Crusoe berisi tentang kisah petualangan seorang pemuda Eropa bernama Robinson Crusoe yang diterjemahkan oleh Teukoe Mansoer Leupeung ke dalam hikayat berbahasa Aceh dari roman dengan judul yang sama.
Menariknya dalam Robinson Crusoe ini Teukoe Mansoer Leupeung tidak hanya mengambil alur cerita aslinya dalam roman asal Eropa tersebut, tapi juga kemudian dalam setiap hal yang dilalui Robinson Crusoe dalam petualangannya itu ditambah dengan nasehat-nasehat untuk pembaca melalui syair dan ungkapan hadihmaja yang merupakan falsafah hidup orang Aceh.
Teukoe Mansoer Leupeung di jendela rumahnya tahun 1919 foto
Lalu siapa sebenarnya Teukoe Mansoe Leupeung ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya kutip penjelasan Prof. Dr Hadji Aboebakar Atjeh yang ikut memberi pengantar dalam ketiga karya Teukoe Mansoer Leupeung itu. Beliau menjelaskan, bahwa Uleebalang Leupeung itu merupakan orang yang mempunyai pandangan yang jauh dan mengerti tentang pentingnya literasi bahasa Aceh untuk pendidikan anak-anak Aceh.
Teukoe Mansoer Leupeung seorang pujangga yang berbudi tinggi, karya-karyanya dimuat dalam majalah Tani (Landbow Maandblad) yang terbit secara berkala. Majalah ini dipimpin oleh Nya’ Oemar dari Djawatan Pertanian Aceh.
Uleebalang XVI Mukim Teuku Nyak Arif juga memujinya, sajak-sajak Teukoe Mansoer Leupeung tidak saja indah, tapi juga mengandung isi tentang adat istiadat yang dikupas secara mendalam dan baik, terutama dalam Hikayat Sanggamara.
Sementara Hikayat Robinson Crusoe yang disadur dari roman Robinson Crusoe ke dalam bahasa Aceh yang bersajak juga dinilai sangat bermutu untuk dijadikan bacaan di sekolah-sekolah, karena pada masa itu sangat jarang hikayat atau buku ajaran berbahasa Aceh yang ditulis dengan menggunakan aksara latin.
Untuk memenuhi kebutuhan buku ajaran berbahasa Aceh dengan ejaan latin di sekolah-sekolah di Aceh, Prof Dr Hadji Aboebakar Atjeh sendiri menulis beberapa buku, seperti Lhee Saboh Nang dan Meutia yang dijadikan buku ajaran di kelas IV, V dan VI sekolah dasar.
Teukoe Mansoer Leupeung Foto
Sementara Hikayat Robinson Crusoe karya Teukoe Mansoer Leupeung kemudian dijadikan sebagai buku bacaan pada sekolah-sekolah di Aceh dalam pelajaran sastra. Begitu juga dengan Hikayat Sanggamara yang bermakna menolak mara bahaya dijadikan sebagai buku ajaran tentang budi pekerti.
Selain tiga karya tadi, yakni Hikayat Sanggamara, Hikayat Robinson Crusoe, dan buku Bungong Rampoe yang dicetak dan beredar luas di sekolah-sekolah di Aceh pada masa revolusi kemerdekaan, Prof Dr Hadji Aboebakar Atjeh mengatakan masih banyak karya-karya Teukoe Mansoe Leupeung yang dimuat di berbagai media pada masa pemerintahan kolonial Belanda berkuasa, yang hingga kini belum sempat dibukukan. Terutama karya-karyanya yang dimuat dalam Verspreide Geschriten.
Begitu juga dengan kumpulan doa, zikir dan syair-syair karya Teukoe Mansoer Leupeung lainnya. Tapi sayangnya hingga kini kiprah Teukoe Mansoer Leupeung sebagai pujangga dan cendikiawan Aceh seolah sudah terlupakan.
Saya mendengar hikayat Teukou Mansoer Leupeung dari Nyak Kaoy @isnorman sekitar dua tahun lalu di sebuah postingan. Memang namanya kurang dikenal sebagai sastrawan Aceh masa lalu. Harusnya karya-karyanya diterbitkan kembali.
Ya Brader @ayijufridar langkah awal mungkin bisa dilakukan dengan menelusuri karya-karya beliau melalui Teuku Mansoer Foundation yang dulu berkantor di Jakarta dan Banda Aceh.
Berarti lebih mudah mencari jejaknya kalau ada lembaganya. Pasti banyak harta karun literasi di Teuku Mansoer Foundation.
Ya, masih ada ahli warisnya di Banda Aceh.
Ketokohannya juga menarik untuk dibukukan, termasuk menjadi sebuah karya fiksi.
Lebih dari menarik, karena beliau multitalenta, selain sebagai politisi (uleebalang) juga sebagai ulama dan sastrawan.
Nah, dia memang tokoh yang unik. Kalau ditulis fiksi bisa dalam beberapa sekuel saking banyak tema yang bisa diangkat.
omen.. keren that tulisan nyoe..
memang meuseu tulisan bang @isnorman. hana bosan teuh tabaca..
Nyan meunyoe ka neupeugah lagee nyan @m-yasir long pih hana bosan bak long tuleh he he he
Siap2 bang..memang meuseu tuleh menuleh awak roneuh bereh aju.. Loen bagian foto mantong.. Dan insya Allah untuk ukeu lon akan post stock foto di sino. Mungkin jeut neu pakek keu urueng roneuh sebagai pemanis tulesan urueng roneuh.. He he he..
Siap, sama-sama tameureunoe dan berbagi pengetahuan.
beutoi bang...
Luar biasa. Sangat terkesan tulisannya. Mungkin kalau ada link pdf buku2 yg disebutkan akan sangat menarik.
Belum dapat pdf-nya brader @irwandi dulu sempat jelajah webnya KITLV Leiden, gak dapat juga. Tapi kopian hikayat itu ada di Meuseum Ali Hasjmy.
Apakah masih ada. dulu pernah singgah beberapa kali ke meseum tsb cari hadis madja.
[WhereIn Android] (http://www.wherein.io)
Masih, saya pernah lihat dan baca Hikayat Robinson Cruso dan Hikayat Sanggamara karya Teuku Mansoer Leupeung di sana. Kemudian atas kebaikan hati pengelola Museum Ali Hasjmy saya dapat foto copy-nya.