The Diary Game (Minggu, 30 Mei 2021): Menembus Kota Pala Selama 18 Jam

Sekitar pukul 11.00 pagi Jumat itu, kami sekeluarga terdiri istri (Meutia), anak (Dek Zia), dan kakak (Wawa Dek Zia) berencana pergi atar linto baro (pengantin laki-laki) bernama Aulia, anak tetangga kami di Krueng Geukueh ke pesisir barat selatan Aceh. Tepatnya, Desa Sialang, Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan.

Kami bertiga bergabung dengan warga lainnya dalam bus warna biru, sedangkan sebagian lainnya dalam bus berwarna abu-abu. Sekira pukul 13.00 siang kami tiba di Kabupaten Pidie Jaya dan singgah di Rumah Makan Blang Dalam, sekitar 500 meter sebelah barat Ulee Glee.

Salah satu panorama alam di lokasi tapak raksasa di Tapaktuan

Selesai makan siang dan masih dalam waktu pelaksanaan shalat Jum’at, maka rencana awal untuk shalat jamak qashar taqdim kami undurkan menjadi shalat jamak qashar takhir. Shalat jamak qashar takhir kami tunaikan di Masjid Al-Fitrah, Keutapang, Banda Aceh, hampir pukul 17.00 sore.

Setelah shalat kami bergegas menuju pantai barat selatan, dalam gelap malam dan memecah kesunyian kami menembus terjalnya, Gunung Paro, Gunung Kulu, dan Gunung Geurutee di sisi Samudera Hindia itu.

Rumah makan persinggahan kami di kaki Gunung Geurutee di Lamno, Aceh Jaya

Bersamaan waktu shalat Magrib kami tiba di kaki Gunung Geureute sebelah barat, sekaligus makan malam di Rumah Makan Prambos, Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Tak lama di sana, kami bergegas lagi ke kota Naga--julukan kota Tapaktuan, ibu kota Kabupaten Aceh Selatan.

Dalam perjalan dari rumah makan Prambos, kami sempat mengisi kekosongan perut di Cafee Bombay, Kota Meulaboh, Aceh Barat sekitar pukul 00.00 WIB. Setelah itu berangkat lagi menyusuri jalan tergolong kecil dan berkelok . Buktinya, spion sebelah kiri bus rombongan kami terjatuh akibat terkena kayu kecil yang berjuntai di sisi jalan.

Sekitar pukul 04.00 WIB kurang sedikit, kami tiba di wisma Daeng, persis sebelah timur Masjid Agung Istiqamah Tapaktuan. Setelah istrihat dan shalat Shubuh, baru sekitar pukul 09.00 pagi kami menuju ke rumah dara baro (pengantin wanita) di Desa Sialang, sekitar 37 km lagi ke barat daya Tapaktuan atau 5 km dari pusat Kotafajar.

Keindahan artsitektur Masjid Agung Istiqamah Tapaktuan

Aulia menikah dengan gadis Sialang itu di Masjid Al-Kautsar pada hari Sabtu sekitar pukul 10.00 WIB. Baru bersamaan waktu azan Dhuhur kami baru dipersilakan untuk makan siang di rumah mampelai wanita. Setiba di sana, kami disambut dengan pantun dalam bahasa Aceh logat Minang oleh tetua di sana, untung saja tidak di bawah terik matahari, karena telah disediakan tenda di teras rumah.

Setelah prosesi adat pesta perkawinan di sana, sekitar pukul 15.00 sore, menuju kampung halaman dan sempat singgah sebentar di lokasi wisata bekas tapak raksasa di pinggir laut. Bahkan kami, sempatnya menaiki tangga sebanyak 124 tangga bersama anak dan istri. Konon katanya di pucak itu ada naga, tapi hasilnya nihil. Entah kami salah terima informasi, tapi yang jelas betis kami masih pegal sampai detik ini. Habis di sana, kami pulang dan sampai di rumah sekitar pukul 15.30 WIB tadi sore hari Minggu.

Dari perjalanan 18 jam itu, total kami arung sebanyak 10 kabupaten/kota dari titik nol Kab. Aceh Utara, yaitu Kab. Bireuen, Kab. Pidie Jaya, Kab. Pidie, Kab. Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Kab. Aceh Jaya, Kab. Aceh Barat, Kab. Nagan Raya, Kab. Aceh Barat Daya, dan Kab. Aceh Selatan.

Ikon sejarah di Aceh Selatan berupa tapak raksasa di pinggir laut Hindia