Mural di Dinding Madrasah Adiwiyata
Assalamualaikum
Edited by Canva
The Diary Game
6 Desember 2024 Meski sudah sering masuk radar mata saya, namun belum sekalipun kamera bertindak. Setelah sekian purnama, Jumat kemarin saya membidiknya dengan kamera handphone. Tidak bagus untuk sebuah foto jurnalistik yang biasa saya ambil. Ini adalah foto pelengkap informasi yang saya sajikan saja. Lalu apanya yang menarik dari mural tersebut? Papan informasi dan edukasi. Itu saja sih.
6 Desember 2024
Kata Mural itu berasal dari Bahasa Latin. Murus, yang berarti dinding. Membuat mural di dinding sekolah saya pikir jauh lebih baik. Daripada membiarkan pagar sekolah berlumut atau penuh coretan tangan jahil. Mural sendiri butuh kreatifitas. Pesan yang disampaikan juga sesuai dengan pemilik murus. Tentu saja bukan di pagar rumah pribadi. Bangunan publik milik pemerintah, bisa dimuralkan dengan sedang fungsi bangunannya. Gedung pertanian, tentu pada dengan gambar petani yang menanam padi.
Begitu pula dengan di instansi lain. Untuk membuat mural bisa mengajak komunitas mural yang kian hilang piring ekspresi. Mereka nyaris tak punya lahan untuk membuang selera seninya di tempat-tempat terbuka. Semoga saja ada kans untuk mereka berekspresi secara terbuka.
| Foto @munaa
Mural di sekolah ini tentu saja harus penuh petuah. Buka seni semata-mata yang ditonjolkan. Tentu saja saya amat senang dengan mural yang satu ini. Setiap menatapnya, tentu ada pesan yang selalu saya inginkan kepada anak-anak yang saya antar.
Saya berharap, para siswa-siswi juga membaca dan tidak sekadar lewat. Dengan sering mereka tengok, tentu akan melekat di kepala. Sehingga pesan yang disampaikan pun masuk. Tak menguap seperti asap pabrik.
Pukul 10 pagi saya balik lagi menjemput anak pulang sekolah. Hari ini hanya ada satu mata ujian. Sehingga bisa pulang dengan cepat. "Di jemput tepat waktu yaa..," begitu titah di grup WhatsApp sekolah. Tentu saja, karena ada rencana hendak membeli selang mesin cuci. Maka saya pun menjemput sesuai jadwal.
| Foto @munaa
Belasan menit kemudian, kepadatan di gerbang sekolah menggila. Saya terpaksa naik ke tembok untuk melihat langsung ke halaman madrasah. Seketika, penjaga gerbang langsung teriak satu nama. Ghazi. Sejurus kemudian, semuanya beres. Setelah itu kami pun segera sebeng ke arah Seutui. Hanya di sini bahan-bahan kulkas, mesin cuci lengkap.
Selesai di sini, tugas jemputan lain sudah menanti. Agak terburu-buru. Menyesuaikan jadwal keluar sekolah adiknya di taman kanak-kanak. Dia keluarnya pukul 11 siang. Kami pun tiba sesuai dengan yang diharapkan. Saya pun masuk ke ruang kantor guna menyelesaikan urusan administrasi. Tuntas.
Kami pun pulang dan segera menuntaskan urusan rumah tangga. Sebelum jadwal shalat Jumat tiba, semua urusan perawatan kebun dituntaskan juga. Setelah itu baru istirahat dan persiapan ke masjid.
Pukul empat sore, saya baru keluar ke tempat biasa. Sekalian mengantar Duo G untuk belajar mengaji di masjid. Hujan turun lebat pukul 17.23 Wib. Perasaan menjadi tidak enak. Memikirkan jemputan keduanya pulang mengaji. Akhirnya, pukul enam sore, mamanya yang menjemput. Saya melanjutkan kegiatan.
Selepas magrib baru pulang ke rumah. Terima kasih sudah membaca postingan saya.
di banyak tempat, karena biaya pembuatan mural yang cuma bertahan beberapa tahun sebelum dimakan waktu sering kali digantikan dengan spanduk cetak yang barangkali lebih mudah dalam proses biding dan urusan adminitrasinya, belum lagi masalah dengan hasil akhir yang belum tentu sesuai selera penyokong dana.
Saya sempat ke Banda Aceh tahun 2023 dan senang melihat ada beberapa tempat masih memiliki mural yang bagus untuk dinikmati walaupun ada yang sudah tak begitu jelas bentuknya. setidaknya ada sedikit yang bsia dinikmati, tidak semua berisi coretan pylox berisi nama-nama atau genk yang tak jelas apa urusannya.
jadi macam mana kebun mangga??