Collective Thoughts of Jun Imaginer #1 : The Beginning
Hai...
Tidak ku ucapkan salam dibibir dari balik layar monitor, hanya membatin dalam hati agar kalian tidak berkewajiban untuk membalasnya.
26 hari yang lalu semenjak tulisan terakhirku terpampang menjadi jejak digital di beranda Post. Dua Puluh Enam, angka yang sama yang tercoret di dinding depan bangunan 6x6, satu dari titik-titik asrama yang lurus berjenjang lurus 2 baris. Dua jenjang studi dalam kurun waktu enam tahun lamanya. Kebetulan yang sama yang seolah masih dapat ku ecap di ujung bibir, manisnya kecupan perdana setanggal yang sama hari ulang tahun mantan pacar pertamaku.
Sebelum kaki makin tenggelam terjerat dalam pasir isap masa lalu, sengaja dengan sadar ku alihkan pembicaraan ini ke arah yang lain agar tulisan ini mengalir mulus dalam satu tarikan nafas sebelum ku seruput lagi setengah kopi susu sisa sebagai jeda transisi.
Photo by Silviu Zidaru on Unsplash
Tulisan ini kububuhi judul Collective Thoughts of Jun Imaginer: anggap saja sebagai sekumpulan buah pikir alam bawah sadar seorang Jun Imaginer. Aku analogikan rentetan kejadian silam yang hampir genap empat pekan berlalu sudah seperti saluran pipa pembuangan yang mampet akibat jumlah debit air yang membesar dan potongan-potongan sampah serta limbah kotoran menumpuk.
Menulis adalah salah satu cara menormalkan alur saluran pembuangan ini. Tema menulisnya bermacam-macam; riset, pengalaman, kisah fiktif, jurnal harian, dan sebagainya. Kesempatan kali ini aku mencoba tema kumpulan buah pikir, yang otentik dan pure orisinil dari ledakan partikel atom sel syarat otak Jun Imaginer.
Pernah di satu waktu, pemicu dan bahan bakar untukku menulis adalah luapan amarah. Seandainya Jun Imaginer adalah seorang shinobi yang jalan ninja nya menjadi seorang Hokage, menulis dengan jeritan batin api kemarahan adalah metode terlarang. Mengapa tidak, metode ini terbukti efektif dan efisien, namun efek sampingnya bagaikan kanker yang menggerogoti satu demi satu organ inang dari dalam hingga tak mampu berkutik lagi, dalam hal ini bukan jurus genjutsu, tapi hanya sekedar menulis. Kata "sekedar" terdengar remeh, kuganti saja dengan seberat menulis.
Photo by Joao Tzanno on Unsplash
Pekan pertama, aku dihantui riyuh suara isi kepala yang menghantui kekhawatiran yang sebenarnya belum terjadi. Hingga sampai dihari keputusan tiba, malam itu aku duduk di atas bangku bulat plastik ringkih yang tak ada senderannya dikelilingi oleh orang-orang yang lebih layak kupanggil orangtua ketimbang sebaya. Budaya orang kita yang basa-basinya berbelit-belit hingga bokong panas seperti sembelit. Enak-ga-enak masuk ke pokok musyawarah dengan mulus, ku observasi satu persatu mereka yang bergantian mengambil giliran bersuara, mengutarakan sudut pandang yang memaksa. Hingga tiba giliranku mengutarakan suara. Bukan hanya bersuara saja sih, giliranku langsung dihadapkan dengan harapan akulah yang mengambil keputusan final kemana arah musyawarah ini bermuara dan dibawa kemana. Disaat itu pula rasanya tubuhku menciut, disudutkan oleh tatapan tajam sinis bayangan hitam makhluk buas raksasa mencuat dari belakang punggung dan senyum datar mereka.
Keputusan memang sudah kuambil walau tanpa ketukan palu kayu diatas meja mimbar mahogani. Kebijaksaan dalam pengambilan keputusan memang harus dibayar dengan pengorbanan, waktu yang diulur sebagai pembuktian dan rasa tulus ikhlas yang sering membisikkan niat-niat jahat yang menitik noktah-noktah hitam dosa yang berkarat jika dibiarkan mengidap di hati bak buah yang masak diujung tangkai yang menua dan layu.
Dalam kali pikiran mu bg, sedalam lautan India. 😋
Manis
Lepaskan jun lepaskan.. Lepaskan....
f0r3pl4y tipis-tipis dulu lah @lord-geraldi