Kerdil di Tengah Lautan Ilmu: Iktibarku sebagai Narasumber Diseminasi Nasional

Kamis, 20 Juni 2024, pukul 08.30 pagi, aku mendapatkan pengalaman monumental yang lagi-lagi menyadarkanku betapa kerdilnya diri ini di tengah lautan ilmu pengetahuan yang luas. Beberapa pekan yang silam, teleponku berdering diiringi suara dosen yang mengutarakan permintaan yang membuat jantungku berdebar bak kendang.

Ia memintaku untuk berkenan menjadi narasumber dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Padjadjaran. Judulnya menggugah rasa ingin tahu: “Analisis Masalah Sosial berbasis Problem Cause Effect Analysis”. Sebuah diseminasi yang mengundang para mahasisiwa sosiologi dari berbagai penjuru Indonesia, termasuk dari almamaterku, Universitas Syiah Kuala (USK).

Kala itu, keraguan menjalar dalam diri. Rasa tak percaya diri menggelayut. Bagaimana tidak? Tanggung jawab menjadi perwakilan mahasiswa sosiologi USK dalam forum nasional adalah beban yang tidak ringan. Kekhawatiran mencengkeram: mampukah aku menyampaikan paparan yang cadas dan memenuhi ekspektasi hadirin?

Oleh sebab itu, aku meminta waktu kepada dosenku untuk berembuk dengan keluarga terlebih dahulu. Setelah perundingan alot, keluargaku memberikan suntikan semangat yang menggugah. Mereka menyakinkan bahwa aku mampu, bahkan lebih dari itu.

Setelah mengonfirmasi kepada ketua program studi dan mendapatkan surat tugas, aku memasuki fase persiapan. Persiapan ini tak begitu berat sebetulnya, hanya meliputi pengumpulan publikasi, buku, dan jurnal-jurnal yang relevan dengan tema yang akan kupresentasikan nanti. Tiga tema utama yang harus kudalami adalah kemiskinan (poverty), kesetaraan gender (gender equality), dan etnis (ethnicity). Ketiga isu ini akan kusajikan menggunakan metode analisis problem cause effect dengan pisau analisis fishbone diagram atau yang lebih populer disebut diagram Ishikawa.

Hari yang dinantikan pun tiba. Kamis, 20 Juni 2024, seminar berlangsung tanpa hambatan berarti. Acara diselenggarakan secara daring melalui Zoom, dimulai tepat pukul 08.00 pagi hingga tengah hari. Pembukaan dilakukan oleh ketua departemen sosiologi Unpad, Prof. Nunung Nurwati, diikuti dengan pemaparan dari keynote speaker. Di antara para peserta, terlihat beberapa nama yang familiar di slide participant, para dosen prodi sosiologi USK serta teman-teman kampusku yang turut hadir dalam ruangan virtual tersebut.

Selama proses persiapan, kuselami lautan literatur. Kubaca setiap buku, publikasi dan jurnal dengan dasar motivasi konyol: aku butuh sertifikat narasumber. Bagai seorang petualang, aku menelusuri jejak-jejak pemikiran kritis yang tersembunyi di balik tumpukan kertas maya.

Di hadapan peserta seminar, aku berusaha menyampaikan materi dengan gaya yang memikat, meski kemungkinan besar audiens akan melihatku sebagai seorang freak yang sok asik sendiri.

Salah satu momen yang paling berkesan adalah saat diskusi interaktif dengan para peserta. Di sinilah aku melihat seberapa jauh kami, di USK, ketinggalan dibandingkan teman-teman dari kampus lain. Cara mereka menyusun pertanyaan diiringi dengan kerangka pemikiran yang sangat rapi cukup membuatku terkesan. “Pertarungan” pemikiran yang dibuat mereka membuatku merasa seolah berada di tengah-tengah arena gladiator, tetapi bukan untuk bertarung, melainkan untuk saling berbagi pengetahuan. Begitu apik.

Tidak hanya itu, kehadiran para dosen dan teman-teman dari USK membawa dukungan moral yang tak sepele bagiku. Setelah semua sesi presentasi dan diskusi selesai, acara ditutup dengan sesi pembagian sertifikat yang tentu saja dilaksanakan secara daring. Meski dilakukan melalui layar kaca, makna yang kudapatkan dari momen itu tak ubah seperti di dunia nyata.