Pandemi Covid 19; Jalan Paksaan ‘Uzlah’ yang Seharusnya Berbuah Manis
Ramadan ke ramadan dengan tahun yang terus silih berganti. Ada yang mulai tak percaya, namun tak sedikit juga yang masih parno dengan pandemi yang tak kunjung berhenti. Sebagian awam merasa ini buatan manusia, senjata pemusnah masal sebagai model yang akan digunakan di masa depan untuk berperang. Namun tentu ada yang menyerahkan segalanya kepada keadaan, bahwa ini sebenarnya cobaan Tuhan; yang bermakna bahwa bumi telah renta dan tak ingin lagi bertahan.
Jika berbicara tentang virus Corona (Covid-19), terlalu banyak skenario yang terjadi tentang asal-usul virus tersebut. WHO, China dan Amerika seakan silih berganti dengan tudingan. Yang satu mengatakan ini hasil kegagalan dari sebuah Laboratorium di Wuhan, yang lain malah menyebutkan ini adalah bagian dari kelelawar yang salah dikonsumsi oleh manusia; ia menyebar menjadi ragam dari evolusi SARS-Cov-2 yang diperkirakan hilang beberapa dekade, kemudian bermutasi menjadi sebuah virus mematikan.
Kalau dilihat dengan skema berita dunia, efek dari virus ini sangatlah cepat.Dan tentu tak main-main. Bayangkan, ia mampu men-Down-kan semua sistem tata kehidupan manusia hanya dalam beberapa bulan saja. Wuhan, kota di China tempat Covid-19 pertama kali terdeteksi, muncul dari pertengahan Januari hingga pertengahan Februari 2020. Namun di bulan Maret hampir semua kota di seluruh dunia mulai kalang kabut tak terkendali.
Imbasnya sendiri sangat-sangat terasa bagi negara-negara konsumen yang bercorak Social Muslim Culture seperti Indonesia. Walaupun Negara kaya dengan rumput yang seharusnya mampu dijual untuk bangsa luar. Indonesia yang masih terikat dengan dunia luar, kesulitan dalam menghadapi Covid yang berbuah Pandemi dengan akhir yang tak ada ujungnya. Pengusaha besar dan kecil kolaps, TKI terkekang di luar negeri tak bisa pulang, sekolah tak lagi bertatap muka, dan parahnya lagi kaum emak-emak yang mulai latah menyebarkan infomasi WA dengan mem-broadcast informasi hoaks yang malah menambah runyam dunia kegabutan pandemi.
Kampanye ‘#DirumahSaja’ Oleh Pemerintah Dunia selama pandemi terjadi, semua kegiatan di luar rumah mulai dilarang oleh dunia melalui tangan pemerintah daerah negara masing-masing. Dengan aparaturnya yang lengkap, tentu tidak sulit bagi mereka mengkampanyekan ini. Walimah, nongkrong di café, sekolah tatap muka, dan berjualan di pasar pun mulai menjadi sebuah larangan wajib.
Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah ketika di awal pandemi. Semua orang bahu membahu kompak menyukseskan kampanye dunia. Kampung di tutup, penjagaan dikuatkan, push-up pun menjadi hukuman bagi mereka yang keluar di malam hari. Namun, sangat berbeda halnya saat anggaran keluarga mulai menipis dan masuknya bulan ramadhan. Tak ada pencaharian tetap, PHK sana sini, bantuan dari pemerintah pun dilahap oleh oknum jahat dan tak sampai ke tangan rakyat negara berkembang. Kebutuan konsumsi masyarakat di ramadhan seolah mulai tak sejalur dengan kepatuhan mereka untuk ikut kampanye #DirumahSaja dari pemerintah. Trus adakah solusinya?
Membumikan Konsep ‘’Uzlah’ saat Pandemi
dalam siklus konsumsi yang menjadikan manusia sebagai konsumen. Kita berada di bagian Omnivora, yaitu makhluk yang mengkonsumsi segalanya. Bukan hanya makanan. Namun, wujud manusia di era sekarang ini malah menjadi Super Omnivora (Mengkonsumi dengan tak terkontrol); ia mengkonsumi teman, mengambil hak orang, menggunjing dengan menyedot semua informasi tak valid di dunia maya dan kemudian dimuntahkan kembali menjadi sebuah penyakit di tengah café bersama kolega yang sesama ide.
Imam Al-Ghazali seorang Syaikhul Islam yang lahir pada tahun 450 H, memunculkan sebuah konsep hidup mini yang memudahkan segalanya. Konsep ini ia terapkan selama 120 sampai mendapat Kasyaf dari Allah setelah menulis kitab Ihya Ulumuddin. Konsep di mana seseorang menjauhkan diri dari keramaian, sedikit berbicara dan mengkosumsi makanan secukupnya yang bertujuan untuk focus beribadah kepada Allah swt. Konsep ini disebut dengan ‘Uzlah. Adapun kejadian ‘Uzlah-nya ini ditulis secara detail dalam al-Munqidz min al-Dhalal dalam Bab Thuruq al-Shufiyah.
Kampanye #DirumahSaja sebenarnya adalah jalan paksa untuk ber’Uzlah. Percaya tidak percaya ini adalah jalan terbaik untuk meperbaiki diri daripada meratapi nasib. Tidak ada perjumpaan yang membawaki kepada gosip, tak ada biaya untuk menkonsumsi makanan berlebih dan tentu tak keramaian yang membuat kita gaduh untuk lupa beribadah kepada Allah.
Walau tidak sedetail sebagaimana yang diutarakan oleh Imam Al-Ghazali dalam ber’Uzlah. Minimal di Ramadhan kali ini kita menjadi makhluk yang lebih bertaqwa. Dan walaupun tak mencapai kepada derjat Kasyaf, minimal kita menjadi makhluk Omnivora yang mulia. Boleh jadi Pandemi ini menjadi paksaan untuk menjauhi keramaian bagi sebagian orang, namun bagi kita adalah buah manis sebagai Uzlah kelajalan yang baik di sisi Allah.
Ingatlah sebagaimana firman Allah swt : إن مع العرس يسر; Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan. Percayalah!