The Diary Game Season 3: Sepenggal Kisah Mengenang Gempa Dan Tsunami Aceh, 26 Desember 2004
Cuaca Minggu pagi itu lumayan cerah ditandai dengan sinar mentari yang mulai terlihat di balik celah rerimbunan pohon tanjung yang tumbuh berjejer di depan kantor PEMA Unsyiah, Kopelma Darussalam.
Rencananya, pagi itu saya ingin mengunjungi kakak saya, Indri dan Nyak Dah, adik perempuan saya di kos-kosan mereka di Merduati untuk mengantarkan beras yang dititipkan mamak kami saat saya pulang kampung sehari sebelumnya.
Sebelum itu, saya terlebih dulu menelpon kak Indri untuk memastikan agar mereka jangan pergi kemana-mana dulu, karena saya ingin ke tempat mereka. Saya sempat berbicara tidak lama dengan Nyak Dah, adik saya. Saya tanya dia mau saya belikan apa, “Abang hadiahkan saja Mushaf Al Qur’an satu untuk Adek, karena Adek lupa bawa Qur’an dari kampung.” Jawab Nyak Dah mantap.
Selesai menutup pembicaraan dengan Kak Indri dan Nyak Dah lewat ponsel, saya duduk di beranda kantor PEMA bersama dengan beberapa orang teman sesama pengurus yang kebetulan juga menginap di kantor pada malamnya.
Waktu itu saya belum punya motor sendiri, jadinya untuk bisa pergi ke Merduati saya harus meminjam motor milik Presma Zulfikar yang kebetulan saat itu sedang menuju PEMA setelah mengantarkan bundelan majalah Sabili di kios-kios loper koran di Kampung Baru—saat itu selain menjabat sebagai Presiden Mahasiswa, Zulfikar punya bisnis sampingan sebagai agen majalah Sabili.
Tidak berselang lama kemudian, Zulfikar muncul dibonceng oleh Rahmatul Fitriadi. Rahmat, kala itu juga merupakan pengurus PEMA yang menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Mahasiswa, dan saya adalah anggota Departemen-nya Rahmat.
Kedatangan Presma Zulfikar, tak lantas membuat segera pergi ke Merduati. Di Beranda PEMA, saya, Zulfikar, Rahmat, dan beberapa teman lain asyik mengobrol. Rencananya, pukul 11 siang nanti kami akan menghadiri undangan pesta perkawinan anaknya Pak Rektor Unsyiah, Prof. Abdi Abduh Wahab, di Gedung AAC. Dayan Dawood.
Sedang asyik-asyiknya kami mengobrol, tiba-tiba kursi tempat duduk saya bergoyang. Saya berpikir Rahmat yang saat itu berdiri di belakang saya yang iseng menarik-narik kursi saya. Tapi lama kelamaan goncangannnya semakin kuat. “Gempaaa!!!”, teriak salah seorang di antara kami.
Karena panik, seketika itu kami berhamburan ke halaman kantor Pema dan duduk di tanah seraya berzikir. Bumi bergoncang hebat, terlihat tiang-tiang listrik, pohon-pohon tanjung, bergoyang sama hebatnya. Mobil-mobil yang lewat di depan PEMA berhenti, pemiliknya keluar dan tiarap di pinggir jalan.
Saat itu ada yang berteriak, “Ya Allah, jangan dulu Engkau timpakan kiamat karena kami belum siap!.” Saya pun mengira bahwa saat itu dunia mau kiamat. Itu adalah gempa terdahsyat yang pernah saya alami seumur hidup.
Kurang lebih selama sepuluh menit goncangan keras akhirnya itu reda. Kami serentak berucap, “Alhamdulillah”. Kami kembali lagi ke beranda PEMA. Saat itu juga saya segera teringat dengan Kak Indri dan Nyakdah. Seketika itu juga saya hubungi mereka dengan ponsel, tapi tidak bisa tersambung karena jaringan terputus. Saya coba hubungi dengan telepon Pema juga sia-sia karena jaringan telepon juga terputus.
Tidak berapa lama kemudian, kami mendapat kabar Swalayan Pante Pirak di Simpang Lima, ambruk ke tanah karena gempa tadi. “Bang, yok kita lihat! Sambilan antar beras ke Merduati, tempat kakak saya.” Saya ajak rahmat. Dia mengiyakan, kami berdua lansung berangkat.
Belum juga sampai di jembatan Lamnyong, kami melihat orang-orang berlari dengan panik dari arah jembatan. Yang mengendarai motor dan mobil kompak membunyikan klakson. “Balik…balik! Air udah naik..air laut naik!” Teriak oran-orang yang berpapasan dengan kami.
Dan benar saja, terlihat air bah yang bergulung-gulung di bawah jembatan Lamnyong seperti banjir bandang. Tidak mau mengambil resiko, Rahmat memutar arah untuk balik ke Darussalam.
Orang-orang yang berada di pertokoan sepanjang jalan T. Nyak Arif mulai berhaburan keluar menyelamatkan diri. Jalanan menjadi sesak dipenuhi oleh mobil, motor dan orang-orang yang berlarian karena panik.
Minggu pagi itu, tepatnya 26 Desember 2004, gempa dahsyat berkekuatan 9,3 SR yang kemudian disusul oleh Tsunami telah meluluh-lantakkan sepertiga wilayah Aceh, dan beberapa bagian negara-negara yang berada di kawasan Samudera Hindia.
Gempa dan Tsunami itu pula yang telah merenggut nyawa dua kakak dan adik kandung perempuan saya bersama dengan ratusan ribu jiwa lainnya. Sampai saat ini, saya dan keluarga tidak tahu dimana jasad duak kakak dan adik saya dikuburkan. Hanya untaian doa yang senantiasa dapat kami kirimkan untuk mereka.
Begitu banyak kenangan pada 26 Desember 2004 dan sesudahnya yang ingin saya tulis. Tapi saya tak sanggup menulis banyak, tangan saya terlalu gemetaran untuk mencatat ingatan pilu itu.
Biarlah itu terkubur bersama dua kakak dan adik kandung saya, sahabat-sahabat, dan orang-orang dekat yang saya kenal, yang telah menjadi syuhada kala itu. Al-Fatihah!
Lhokseumawe, 26 Desember 2020.
Hai @akukamaruzzaman, selamat bergabung di Diary Game.
Saya di Lhokseumawe saat kejadian Tsunami baru besoknya saya ke Banda Aceh untuk menjemput istri yang terbawa arus Tsunami di kawasan Lhoknga. Beruntung ia bersama adiknya berhasil selamat tersangkut di puncak Menara Masjid Lhoknga.
@radjasalman Alhamdulillah Bang. Keponakan saya (anak kakak saya yang tinggal di Lampaseh) juga selamat, saat itu dia sedang nginap di Lhoknga di tempat Mak Bit saya.
Postingan ini telah dihargai oleh @steemcurator08 dengan dukungan dari Proyek Kurasi Komunitas Steem.
Ikuti @steemitblog untuk mendapatkan info tentang Steemit dan kontes.
Anroja