Benteng Inong Balee Jejak Perjuangan Wanita Aceh
Sudut Benteng Inong Balee di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)
Iring-iringan sepeda motor membelah perbukitan Lamreh, tepat pada Hari Pahlawan, Minggu, 10 November 2019. Perjalanan menuju lokasi wisata sejarah Benteng Inong Balee di Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh.
Akses jalan yang dipenuhi bebatuan membuat pengendara lebih berhati-hati. Sebagian di antara yang dibonceng memilih turun. Berjalan kaki menembus hutan belantara.
Saat matahari tegak di atas kepala, dari sudut warung kopi di Kota Banda Aceh, Tagar bergerak menggunakan roda dua. Jarak ke lokasi sekitar 35 kilometer dari pusat ibu kota provinsi Aceh atau memakan waktu sekitar 45 menit.
Tiba di lokasi, sisa-sisa reruntuhan benteng terdapat di beberapa titik. Reruntuhan itu berasal dari tembok memanjang sekitar 60 x 40 meter. Sepanjang pondasi, terdapat empat lubang ukuran 90 cm dan 160 cm menghadap arah laut Selat Malaka.
Selain memiliki nilai sejarah, di lokasi ini pengunjung juga bisa menikmati indahnya pemandangan hamparan Selat Malaka. Di sini, wisatawan dengan mudah menyaksikan kapal-kapal nelayan mencari ikan, warga memancing serta wisatawan yang berenang.
Asal muasal nama Inong Balee diambil dari bahasa Aceh. Inong berarti wanita, sedangkan Balee adalah janda. Dulu, di benteng tersebut seorang yang disebut-sebut laksamana laut perempuan pertama di dunia berhasil melatih para janda menjadi prajurit Kerajaan Aceh yang tangguh. Laksamana laut itu bernama Malayahati, ia ditinggal seorang diri setelah suaminya meninggal dalam sebuah pertempuran laut.
Sejarah mencatat pada zaman Sultan Alaidin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil yang memerintah Kerajaan Aceh pada 997 hingga 1011 H (1589-1604), dibentuk satu armada. Sebagian prajuritnya terdiri atas para janda yang disebut Armada Inong Balee. Armada tersebut dibentuk atas permintaan Laksamana Malahayati dan dipimpin langsung olehnya.
Laksamana Malahayati bersama 2000 prajurit wanita yang gagah dan tangkas berulang kali terlibat dalam pertempuran. Tidak hanya di Selat Malaka, tetapi juga di daerah pantai timur Sumatera dan Malaya. Selain memiliki benteng, Armada Inong Balee juga memiliki pangkalan militer di Teluk Lamreh Krueng Raya.
Anugerah Gelar Pahlawan Nasional
Atas kiprahnya sebagai tokoh sejarah bangsa Indonesia dan laksamana laut wanita pertama di dunia, akhirnya Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada sosok tersebut. Penganugerahan diberikan Presiden Joko Widodo pada Kamis 9 November 2017 di Jakarta.
Pengangkatan Laksamana Malahayati sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Penganugerahan tersebut juga bertepatan peringatan Hari Pahlawan Nasional.
Plakat gelar kepahlawanan itu diterima ahli waris Laksamana Malahayati, Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nuralam, yang saat ini sudah menetap di Nusa Tenggara Barat bersama anaknya, Pocut Meurah Neneng Mahmidatul Hasanah.
Selain Laksamana Malahayati, penganugerahan juga diterima tiga tokoh lain yaitu Zainuddin Abdul Madjid dari NTB, Mahmud Riayat Syah dari Kepri, dan pendiri HMI Lafran Pane dari Yogyakarta.
Diabadikan Menjadi Nama Pelabuhan
Malahayati telah menginspirasi penduduk bumi di belahan dunia mana pun, termasuk Indonesia khususnya Aceh. Untuk mengenang semangat dan heroisme perjuangannya, nama Malahayati kini ditabalkan pada sejumlah tempat seperti pelabuhan, kapal perang TNI Angkatan Laut, jalan, rumah sakit, dan lembaga pendidikan.
Salah satunya adalah Pelabuhan Malahayati. Pelabuhan ini berada di Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Pelabuhan Malahayati іnі sebelumnya dikenal ѕеbаgаі pelabuhan penyeberangan kapal-kapal besar. Namun, saat іnі ѕudаh jarang sekali tеrlіhаt kapal-kapal besar уаng berlabuh dі pelabuhan ini.
Pelabuhan Malahayati merupakan ѕеbuаh pelabuhan yang dibangun sejak zaman Sultan Iskandar Muda. Sebelumnya, pelabuhan іnі ѕеrіng disebut Lamwuli. Hal іtu karena Malahayati digunakan ѕеbаgаі pelabuhan untuk tempat singgah para pedagang China.
Saat ini, pelabuhan Malahayati kerap digunakan sebagai tempat bongkar muat barang dalam peti kemas milik sejumlah perusahaan. Pelabuhan ini memiliki dermaga dengan panjang 384 meter dan dapat menampung tiga kapal ukuran 100 meter dengan muatan 300 TEUS peti kemas sekaligus.
Diabadikan Menjadi Nama Kampus
Semangat perjuangan Laksamana Malahayati juga diabadikan menjadi nama sebuah kampus di Aceh, yaitu Balai Pendidikan dan Latihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Malahayati. Kampus tersebut berada di Desa Durung, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Kini, kampus tersebut berubah nama dari BP2IP menjadi Politeknik Pelayaran (Poltekpel) Malahayati Aceh
Kampus tersebut mulai dibangun pada 2010 dengan semangat untuk bangkit memulai kehidupan baru dengan masa depan yang lebih bagi generasi muda Aceh pascabencana tsunami 2004 yang menghancurkan sebagian pesisir pantai barat dan utara provinsi tersebut.
Kampus tersebut diresmikan Menteri Perhubungan RI, EE Mangindaan pada Jumat, 23 November 2012. Saat itu Mangindaan menyebutkan pihaknya memilih Aceh sebagai tempat pembangunan Balai Pendidikan dan Latihan Ilmu Pelayaran, karena sejarah dan letak daerah itu sangat strategis pada lintasan perairan dunia.
"BP2IP di Aceh Besar merupakan yang pertama di Sumatera. Karena itu, saya berharap Pemerintah Aceh dan masyarakat memeliharanya dengan baik sebagai tempat pengembangan berbagai ilmu pelayaran dunia," kata dia.
Peresmian juga dihadiri Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar, Gubernur Zaini Abdullah, Ketua DPRA Hasbi Abdullah, anggota Muspida Aceh, Bupati Aceh Besar, Mukhlis Basyah, Pimpinan dan anggota DPRK, Aceh Besar dan undangan lainnya.
Terkesan Dibiarkan
Kondisi Benteng Inong Balee saat ini memprihatinkan. Benteng tersebut hanya tersisa reruntuhan saja. Dinding sisi barat benteng yang berbatasan langsung dengan jurang rawan mengalami longsor karena abrasi.
Selain itu, hampir seluruh benteng juga ditumbuhi pepohonan. Ombak di lautan juga sering kali mengempaskan batuan penyusun benteng. Kondisi ini terkesan dibiarkan begitu saja.
Di sisi lain, pungutan liar juga kerap terjadi. Warga setempat mengutip biaya Rp 5000 setiap sepeda motor pengunjung yang memasuki kawasan itu. Alasannya, lokasi Benteng Inong Balee itu berada di tanah milik mereka.
Marzatil Husna, seorang pengunjung mengatakan lokasi itu seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Sebab, situs-situs sejarah menunjukkan jati diri sebuah bangsa.
Marzatil datang ke lokasi itu bersama teman-temannya sesama lulusan Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry. Meski sudah lulus, ia tetap tertarik mengunjungi objek-objek sejarah di sejumlah lokasi di Aceh, salah satunya Benteng Inong Balee.
Menurut Marzatil, jika kondisi itu tidak diperhatikan pemerintah, dikhawatirkan batuan penyusun benteng akan habis seiring berjalan waktu.
Seharusnya, kata Marzatil, pemerintah melalui dinas terkait memugar lokasi itu. Bila perlu, adanya sebuah bangunan yang di dalamnya menjelaskan tentang sejarah benteng tersebut. Dengan demikian, maka setiap pengunjung akan tahu asal-muasal objek dimaksud.
“Masyarakat tidak mungkin memugar ini, walaupun mungkin hanya seadanya, makanya pemerintah harus menangani langsung,” kata Marzatil.
Marzatil mengaku sudah beberapa kali mengunjungi kawasan tersebut. Kondisinya tidak ada perubahan. Bahkan, pungutan liar pun kerap terjadi. Hal itu diperparah kondisi akses yang cukup sulit. Bebatuan besar berserakan di jalan dapat mengancam keselamatan pengendara.
“Sangat disayangkan, padahal banyak tempat bersejarah di Aceh yang bisa menjadi daya tarik untuk mendatangkan wisatawan,” tutur Marzatil. Source