Perspektif Sejarah: Kinerja Sektor dan Ketahanan di Aceh

1.1 Analisis Kinerja dan Ketahanan Sektor Jangka Panjang
Provinsi Aceh terletak di ujung utara Sumatera, dengan Samudra Hindia di barat, seluas lebih dari 57.000 km2 dengan populasi sekitar 4 juta orang. Pulau Sumatera, khususnya Aceh, sangat rawan gempa. Provinsi ini telah diberikan berbagai derajat otonomi oleh Pemerintah Pusat sejak tahun 1949. Peristiwa penting yang berpotensi mempengaruhi kinerja sektor pendidikan adalah gerakan separatis yang telah lama berjalan, yang dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama periode 1976/2005, karena adanya klaim atas sumber daya alam provinsi dan kemiskinan yang persisten. Permusuhan mencapai puncaknya pada 1989/91 dan 2001/2003. Peristiwa penting lainnya adalah Tsunami pada bulan Desember 2004, yang mengambil 170.000 jiwa dan menelantarkan 500.000 orang dari rumah mereka, dengan kerusakan fisik dan kerugian diperkirakan sekitar US $ 4,9 miliar.1 Organisasi pendidikan di Aceh konsisten dengan pendidikan nasional Indonesia sistem. Organisasi ini terdiri dari anak usia dini, sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan menengah atas, universitas dan ketentuan pendidikan non-formal yang paralel. Pendidikan direncanakan dan dikelola melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). Dalam kasus Aceh, sektor swasta dalam pendidikan relatif kecil. Skala dan jangkauan sistem menuntut kerangka legislatif dan pengaturan yang komprehensif, terutama dalam konteks desentralisasi yang signifikan. Hukum Syariah adalah dasar bagi sistem administrasi Aceh. Saat ini, Aceh terdiri dari 18 kotamadya (kabupatens) dan 4 kota (kotas).
Terlepas dari sumber-sumber potensi kerapuhan ini, kinerja sektor pendidikan Aceh telah tangguh. Saat ini, sebagian besar indikator akses pendidikan dekat dengan, atau di atas rata-rata nasional (lihat gambar 1).

Pemeriksaan kinerja juga dekat dengan rata-rata nasional. Telah ada peningkatan konsisten dalam indikator-indikator ini dalam beberapa tahun terakhir. Selama tahun 2001/2005, anak usia dini APK naik dari 7% menjadi 15%, meningkat menjadi 82% pada tahun 2008. Pendidikan dasar APK tetap konstan antara 111% -115%, dengan APK SMP meningkat dari 75% menjadi 91% dibandingkan tahun 2001 / 2005, mencapai 95% pada tahun 2008. GER sekunder menengah meningkat dari 45% menjadi 68% dibandingkan tahun 2001/2005, mencapai 72% pada tahun 2008.
Pertumbuhan dalam penyediaan layanan ini terjadi meskipun diperkenalkan kembali darurat militer pada tahun 2003, dengan sekitar 510 sekolah dibakar dan sekitar 900 sekolah harus menutup pintu mereka untuk sementara waktu. Dilaporkan bahwa sekolah dibuka kembali dengan cepat karena upaya nasional / provinsi dan masyarakat, dengan sedikit murid dan guru yang pindah ke tempat lain, selain dari staf dan mahasiswa universitas. Tsunami juga hanya berdampak sementara pada layanan pendidikan, meskipun kehilangan puluhan ribu siswa dan sekitar 2500 guru. Dalam 12 bulan, 95% siswa sekolah dasar dan menengah pertama kembali sekolah dan kecelakaan guru telah digantikan.2 Kinerja pendidikan di kabupaten yang lebih terkena dampak konflik (misalnya Aceh Besar, Pidie, Birieuen, Aceh Timur) juga terbukti tangguh. Di empat kabupaten ini, GER primer berkisar antara 117% -131% pada tahun 2008, dibandingkan dengan rata-rata provinsi sebesar 111%. Untuk APK SMP, kisarannya adalah 93% - 116% dibandingkan dengan rata-rata provinsi sebesar 111%. Selain Aceh Timur, tiga kabupaten lain yang terkena dampak konflik juga bekerja di atas rata-rata provinsi dalam ujian sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.