22 Tahun Tenggelamnya KMP Gurita
"19 Januari 1996 - 19 Januari 2018".
Setiap tragedi tak ubahnya lembaran catatan yang peristiwanya silih berganti dibaca ulang. Tragedi tenggelamnya KMP Gurita di antara dua selangkangan Malahayati dan Balohan Sabang menjadi sejarah kelam bagi masyarakat Aceh, istimewa Sabang. Tragedi tenggelamnya KMP Gurita menjadi tinta hitam dalam lembaran dunia pelayaran kita.
Beberapa catatan para analis maupun penulis yang mengulas mengenai tragedi tersebut hampir semuanya sepakat, bahwa selain ihwal naas, tragedi Gurita terjadi akibat kecerobohan para pengelola pelabuhan, awak kapal atau para pemangku kepentingan di dunia tersebut.
Dari beberapa data yang ada, kabarnya KMP Gurita kelebihan muatan. Jumlah penumpang kala itu, lebih kurang 400 orang, ada yang menyebutkan secara spesifik 370 penumpang. Ditambah lagi 50 ton beban angkutan. Saat itu, angkutan semen mendominasi muatan.
Tragedi tenggelamnya KMP Gurita adalah museum ingatan untuk kita bersama. Bahwa, kedisiplinan dan tata kelola merupakan keniscayaan. Keselamatan seluruh penumpang, awak kapal, dan sebagainya menjadi harga yang tak bisa ditawar.
Sebab, lagi-lagi, acap kali kebiasaan "tidak-ennakan" yang terlanjur tertancap dalam benak masyarakat kita harus dimenej, agar tidak ada bluder di lain waktu. Semua orang ingin cepat, memang. Semua orang ingin sampai ke tujuan, pasti. Tapi, di atas segalanya, semua orang ingin dan (harus) selamat!
Tragedi KMP Gurita yang saban tahun diperingati idealnya tidak hanya sebatas seremonial belaka. Tetapi, menjadi acuan refleksi untuk berbenah menuju perbaikan yang lebih baik. Ketika Sabang terus saja dikampanyekan sebagai destinasi wisata bertaraf internasional, sudah menjadi keharusan segala hal yang berbau sarana dan prasarana penunjang terus diupayakan lengkap, dikelola baik, dengan SDM yang mempuni jua. Tanpa itu, Sabang hanya glamor dari sisi gembar-gembor, tapi lesu dari sisi kesiapan dan kemantapan.
Hari ini, tepat 22 tahun sudah tragedi kelam itu tercatat dalam tinta sejarah. Lembaran kelam sejarah ini bukanlah sebentuk mengungkit luka lama. Namun, lebih kepada semangat mengenang dengan harapan perbaikan dan terus belajar dari segenap peristiwa, baik yang telah terjadi, atau, apa-apa saja kemungkinan buruk yang akan terulang kembali, bila kecerobohan terus terulang.
Kita memang tidak pernah tahu kapan musibah datang, tapi sebagai manusia yang berakal kita wajib berikhtiar dengan meminimalisir segala kemungkinan buruk. Semoga kita semua terhindar dari segala marabahaya. Amin
Ada lagunya tentang Gurita ini. Loen hana teringat lee siapa penyanyinya. Lagu Aceh. Ihsan na tingat?
Sama kak, Ichsan juga lupa lagunya.
Musiknya gak remix kan ai? Karena biasanya lagu kita begitu, kisahnya tragedi ara kundo tp musiknya ampon dj
Maka berjoget lah pendengar yang budiman dalam duka.
Hahaha.. Nggak remix, Kak. Malah sendu-melow gitu. Memang bikin haru kita dengarnya.
Syukurlah, kalau remix, emm.. goyang dumang kita -_-