#Lasenas, Ketika Indonesia Kembali ke Pelukan Ayahanda (Bagian 1)
Hari Pertama Lasenas 2018
*)Registrasi Peserta
Hari itu jumat, tepatnya tanggal 27 April 2018. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang diwarnai gerimis dan hujan, hari itu cuaca sangat cerah. Saya dan beberapa awak komunitas telah membuat janji sejak pagi. Kami akan bertemu di Asrama Haji untuk melakukan registrasi sebagai peserta acara Lasenas (Lawatan Sejarah Nasional) 2018. Sebenarnya registrasi dimulai siang nanti, namun kami datang lebih awal untuk melihat-lihat keadaan agar tak awam.
Sambil berjalan-jalan melihat-lihat lokasi acara, saya memperhatikan bahwa beberapa peserta Lasenas dari siswa dan guru juga sudah tiba. Berbagai rupa perasaan hati tercermin dari raut wajah mereka. Ada yang tampak girang bersemangat, ada yang khawatir dan gugup, ada yang cemberut karena lelah, bahkan ada yang datar saja seakan sibuk sendiri dengan imajinasinya. Iya, semuanya ada.
Merasa khawatir dan gugup saat mengikuti sebuah acara merupakan sebuah kewajaran. Apalagi jika acara tersebut bersifat nasional yang pesertanya berasal dari seluruh Indonesia. Bahkan bagi mereka yang sudah terbiasa ikut acara nasional pun bisa tetap merasa gugup. Bisa jadi karena teman baru, suasana baru, tempat kunjungan baru atau bahkan karena tantangan baru.
Sejurus kemudian, terdengar suara bacaan al-quran bersahut-sahutan dari pengeras suara masjid sekitar. Pertanda bahwa waktu untuk melaksanakan salat jum'at akan segera tiba. Kami pun memutuskan untuk pulang dan kembali untuk melakukan registrasi selepas zuhur nanti.
Setelah melakukan salat zuhur, makan dan mengemasi barang-barang, saya pun berangkat kembali menuju Asrama Haji. Namun tiba-tiba gawai saya mengeluarkan suara, bipbip-bipbip, pertanda ada yang menelepon dari WA. Sebuah miscall dari @yellsaints24, salah seorang awak komunitas yang ikut berpartisipasi. Lalu saya pun membaca chat yang masuk. Dia mengabari bahwa para peserta Lasenas dari pihak komunitas panik. Saya bertanya ada apa? Dia berkata bahwa panitia pusat hanya menerima registrasi peserta yang memiliki surat undangan dan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas). Saya bergeming bingung, bukannya seluruh peserta mendapatkan undangan dan SPPD? Saya bergumam dalam hati. Untuk memperjelas semuanya, saya pun segera berangkat menuju tempat acara.
Tiba di sana, saya memperhatikan raut-raut wajah gelisah dan lelah. Teman-teman komunitas harus bolak-balik mengurus surat. Muh dan Yelli sedang memperbanyak foto kopi undangan. Sedangkan kak Wanti dan Yus sedang menjemput stempel dan tanda tangan dari ketua komunitas mereka. Saya merasa sedih melihat kawan-kawan yang kelabakan bahkan di hari pertama acara. Saya bahkan tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi. Soalnya saya dan bang Yudi, perwakilan blogger, sudah mendapatkan surat tersebut sejak awal. Jadi saya pun merasa heran, mengapa dibedakan-bedakan.
Kembali ke cerita registrasi peserta. Saat mengantre, seketika saya merasa ngeri dengan ekspresi dingin panitia di meja registrasi. Seakan saya sedang mengantre penerimaan buku amal yang memutuskan saya akan diantar ke surga atau didepak ke neraka. Namun, sedetik kemudian saya mencoba berpikir positif dan menghibur diri, mungkin panitia lelah, kilah sang hati. Benar saja, seorang panitia tiba-tiba berubah ramah kepada seorang peserta yang mengantre tepat di depan saya. Sepertinya mereka saling mengenal, kemudian sejenak bercanda riang. Namun ternyata kehangatan itu hanya bertahan sebentar. Tiba giliran saya, panitia tersebut kembali ke mode awal. Sudahlah, mungkin saya yang lelah.
Setelah berkas registrasi diterima, saya pun mendapatkan paket tas yang berisi rompi, topi, buku, pena, dan pin. Lalu mendapatkan buku panduan dan buku destinasi di meja lainnya. Sedangkan name tag dengan nama peserta dibagikan pada sore hari. Seperti biasa, nama saya kehilangan koma atasnya lagi. Baiklah, ini Indonesia bukan Arab atau Rusia. Walau tulisan Aceh juga punya stok abjad aneh tapi tak berlaku untuk alfabet negara kita.
Oh iya, ada satu hal lagi yang tampaknya luput dari pantauan panitia. Pemberian tumbler (botol air) untuk peserta Lasenas 2018. Seperti yang kita ketahui bersama, lawatan merupakan kegiatan belajar sambil jalan-jalan. Otomatis, kita membutuhkan asupan air yang banyak agar tidak dehidrasi dan kepanasan. Apalagi di Aceh, panas coy, PANAS!!! Seriusan gak perlu bawa air dalam botol?
Selepas menyelesaikan registrasi beserta pernak-perniknya. Kami pun menuju kamar masing-masing. Saya, Kak Wanti dan Yus mendapatkan kamar di gedung Madinatul Hujjaj. Sedangkan kamar peserta Lasenas lainnya tersebar di beberapa gedung lain, masih dalam komplek Asrama Haji kota Banda Aceh. Kunci kamar dimasukkan, ceklik, pintu kamar pun terbuka. Terlihat isi kamar yang berupa 3 tempat tidur double bed, 2 handuk, sebuah tong sampah, cermin, AC dan kamar mandi. Fasilitas yang layak namun cukup sederhana untuk acara setingkat nasional.
Bagi saya pribadi, fasilitas kamar bukanlah suatu masalah, toh lawatan sejarah pasti lebih padat jadwal jalan-jalannya. Namun, terdapat satu hal yang menurut saya cukup mengganggu saat itu yakni fasilitas air kamar mandi. Airnya berbau dan tidak bening. Terlepas dari mana sumber air berasal, menurut saya air tersebut tidak layak pakai, baik untuk wudu atau pun mandi. Saya tidak tahu apakah peserta dari kamar lain merasakan masalah yang sama atau tidak. Ini menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh panitia dan pihak Asrama Haji. Jika memang setelah dicek sumber air di suatu tempat penginapan tidak bagus, sebaiknya panitia mencari tempat lain, demi kesehatan dan kenyamanan peserta.
Selepas sejenak beristirahat dan menunaikan salat Asar, saya dan teman-teman komunitas bergerak untuk mengikuti agenda acara Lasenas selanjutnya. Karena tidak adanya instruksi khusus terkait penempatan awak komunitas, maka kami bersepakat untuk berpencar menjadi dua kubu. Pasalnya, acara dipisah menjadi dua agenda kegiatan yakni perkenalan peserta dan pelatihan pembuatan video bagi para guru.
*)Perkenalan Peserta dan Ice-Breaking
Saat memasuki Aula Arafah, saya melihat para peserta sudah duduk membentuk lingkaran. Kang Cepi dan Kang Asep yang mengomandoi acara tersebut. Sekilas menyapu pandang, tampaknya belum semua peserta hadir. Asumsi saya, mungkin delay di bandara. Aceh adalah salah satu provinsi terujung Indonesia, saya membayangkan bagaimana perjuangan para peserta untuk sampai ke Serambi Makkah ini. Apalagi peserta yang harus berangkat dari provinsi terujung Indonesia yang satunya lagi. Semoga semua peserta yang masih di dalam perjalanan, dapat tiba di Aceh dalam keadaan sehat dan selamat, celetuk saya dalam hati.
Kembali ke acara Ice-breaking, saya tidak dapat memungkiri bahwa banyak dari peserta yang terlihat lelah dan lesu. Bisa jadi karena energi mereka telah terkuras selama perjalanan. Namun kegiatan senam otak cukup dan beberapa aktivitas lainnya terlihat menghibur. Walau pun terdapat satu dua suasana krik-krik syalalala a.k.a kobong, mungkin yang menghandle cuma dua orang sedangkan peserta jumlahnya ramai, tapi tampaknya kegiatan itu cukup menghibur kok.
*)Pelatihan Para Guru
Sementara itu, di ruang Aziziah, para guru menerima pelatihan pembuatan video tentang sejarah. Materinya terdengar cukup bagus namun sayangnya, para guru tidak mempraktikkan langsung materi tersebut. Pasalnya tak ada satu pun guru yang membawa serta laptop saat mengikuti pelatihan. Apa karena tidak perlu atau karena tidak tahu? Entahlah. Kemudian saat mendengarkan pemaparan dari sang pemateri, saya menyadari satu hal yakni tampaknya sang Bapak paham betul terkait ilmu yang disampaikan namun kurang ahli dalam menyampaikan materi pelatihan dengan cara yang asyik. Alhasil, suasana ruang pelatihan terasa monoton dan membosankan.
Nah, pelatihan selesai pada pukul 18.30 WIB. Sebelum bubar, kami mendapatkan kabar bahwa seluruh peserta diminta segera bersiap-siap untuk menggunakan pakaian daerah sebagai dress code acara pembukaan dan jamuan di Anjong Mon Mata Pendopo Gubernur Aceh. Hal uniknya adalah keberangkatan peserta direncanakan pada pukul 19.00 WIB. Tahukah kamu uniknya di mana? Yap, di Aceh pukul 19.00 alias 7 malam itu azan magrib baru saja berkumandang. Jadi, gak ada rencana salat nih?
*) Sambutan dan Jamuan Makan Malam
Di tengah kebimbangan akan ditinggal rombongan, saya dan teman-teman memutuskan untuk salat magrib terlebih dahulu. Apa yang terjadi terjadilah, soal kewajiban salat tak boleh dinomorduakan tentunya. Selepas salat dan berpakaian kami turun menuju lobi, ternyata peserta belum bergerak sama sekali. Syukurlah, jika jadwal keberangkatan diundur. Soalnya panitia sempat dengan tegas mengingatkan agar tidak terlambat dan berkumpul sesuai jadwal. Oh iya, terkait jadwal acara. Saya memperhatikan bahwa tidak setiap waktu salat disediakan jeda pada agenda. Terkadang hanya di Zuhur saja, terkadang Asar dan Magrib saja bahkan terkadang tiada.
Baiklah, kembali ke acara penyambutan. Akhirnya, kami berangkat pada pukul nyaris 08.00 WIB. Saat tiba di Anjong Mon Mata, saya dikejutkan oleh lautan manusia yang sudah berada di ruangan. Apa karena jamuan Lasenas dan Inti Bangsa digabung menjadi satu atau karena ramainya undangan lainnya? Tak ada jawaban, saya sedang kesambet malas bertanya. Setelah menunggu dalam bungkam sekitar 30 menit lebih, akhirnya para peserta pun dipersilakan mengambil makan malam. Masalahnya adalah hanya terdapat dua titik tempat untuk mengambil makanan (nasi dan kawan-kawannya). Satu untuk pria dan satunya lagi untuk wanita. Lantas apa yang terjadi? Mengularlah antrean para tamu undangan. Saya perhatikan bahkan hampir di menit ke-20 pasca dimulainya antrean, masih ada peserta Lasenas yang mengantre. Bahkan tanpa sengaja saya sempat mendengar celetuk salah seorang siswa, "Kalau antreannya gini, jadi gak lapar lagi."
Setelah lebih setengah jam menyantap berbagai hidangan makanan, dari makanan berat hingga beragam jenis air dan kudapan, akhirnya para peserta kembali duduk manis di tempat masing-masing. Acara pun dimulai. Jam telah menunjukkan pukul sembilan lewat. Seperti acara pembukaan di Aceh kebanyakan. Di mulai dengan pembacaan ayat suci Al-quran, disambung dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dibosankan dengan beragam kata sambutan, dihiasi tari-tarian, dimeriahkan dengan paduan suara, nasihat singkat oleh Alumni, pembacaan puisi oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan ditutup dengan sesi foto bersama. Namun sayangnya, hampir keseluruhan tampilan acara tidak bisa saya nikmati. Bukan karena tampilannya buruk namun ...
Saya suka dengan Postingan kamu @betterperson
saya telah upvote
cek juga postingan saya, follow, upvote atau resteem !
Saling membantu dan berbagi informasi !
Keren ah pelajaran hidupmya, saya bisanya nulis segitu saja panjangnya
Hehehe... yg penting qualitas kakak. Gak masalah walau singkat. 😉