Jembatan hitam semoga tak hanya menjadi kenangan
Pariwasata seperti menjadi andalan negara saat ini dalam meningkatkan BUMdes guna meningkatkan pundi-pundi uang yang katanya berguna untuk kesejahteraan rakyatnya.
Terlepas dari polemik itu memang benar dan tak heran jika kita sudah berasa lelah hati dan pikiran sebagai manusia yang normal membutuhkan refreshing.
Libur telah tiba, saatnya yang merantau kembali ke kampung halaman. Tentunya banyak perubahan yang terjadi ketika saya berada di perantauan. Hanya dalam jangka waktu enam bulan berselang-selang saya melihat perkembangan pariwisata di daerah kampung halaman saya takengen berkembang pesat.
Tak lepas dari icon pertama kota takengen ini yaitu Danau Laut Tawarnya.
Ketika para pengunjung hendak masuk melalui jalur sebelah kanan maka tak jauh dari sana terdapat spot baru untuk berfoto yang oleh masyarakat setempat disebut jembatan hitam
Keberadaannya tepat di Kampung Dedalu Kecamatan Lut Tawar.
Dengan harga tiket Rp 5000 per orang sepertinya sangat terjangkau uang semua golongan sosial untuk menikmati indahnya pesona alam yang satu ini
Awalnya saya terobsesi dari snapchat teman-teman di medsos. Akhirnya saya dapat juga mengunjunginya dan melihat secara langsung bagaimana keadaan wisata yang satu ini.
Itu adalah poto hasil dari observasi langsung saya pada saat itu. Bersama seorang rekan saya, karena tidak tau harus memarkirkan kendaraan dimana kami memutuskan memarkirkannya di Pinggiran jalan utama.
Ketika hendak mau masuk menuruni beberapa anak tangga kami dihampiri pria dengan sigapnya ia mengatakan " tiketnya dek? "
Setelah membayar langsung uang tiket masuknya kami mulailah menuruni satu persatu anak tangga.
Di selang beberapa anak tangga terdapat kursi pelastik yang dibalut memakai kain lapisan kursi untuk orang pesta-pesta pernikahan dan sunatan yang berwarna kuning, merah, dan hijau yang menyala-nyala.
Sambil melebarkan sedikit kedua sisi bibir saya, saya menikmati jalan ini. Dalam hati saya bertanya-tanya untuk apa ya fungsi kursi itu sehingga ditempatkan disana?
Dipertengahan jalan jalur tangga ini juga terdapat sepasang kuda ukiran.
Tapi pas di ending penurunan tangga terakhir ternyata perjalanan wisata juga tak semudah perjalanan hidup.
Dengan jarak sekitar satu meter jalannya yg terbuat dari papan yang di tempeli tiang kecil dengan kemiringan yang lumayan membuat kaki saya gemeteran. Karena pada saat itu saya memakai sepatu yang memiliki high hills walaupun tidak terlalu sulit untuk sebagian orang dewasa apalagi laki-laki jalur ini lumayan beban bagi kaum perempuan dan anak-anak.
Ketika sampai di bawah diseputaran lapangan yang tidak terlalu luas itu terdapat rumah-rumah kecil. Dengan adanya kolam bulat pada awalnya. Saya dan rekan saya menyadari bahwa ada jalan lain yang bisa di akses untuk bisa turun langsung ke tempat utama tanpa harus menuruni anak tangga satu-persatu.
Sayangnya hal ini tidak di sarankan tukang penjaga tiket masuk di atas ketika kami hendak parkir.
Dibawah juga kami diminta oleh seorang pemuda untuk menunjukan tiket yang telah kami bayar di atas.
Jembatan hitam mulai saya jajaki, yang dibangun di atas rawa-rawa yang samping kanan dan kirinya terdapat semak belukar mengingat kan saya pada sebuah film mandarin yang pernah saya tonton semasa SMA.
Kebanyakan pengunjung yang datang adalah orang yang berasal dari luar daerah, sayangnya mereka hanya menikmati spot poto saja. Di tempat tersebut hanya ada penjual coffe cup saja. Sehingga tak ada yang bisa mempertahankan mereka untuk tetap disana dalam waktu yang lama.
Ini lah yang menjadi tugas buat kita semua penduduk pribumi ketika hendak memutuskan untuk mengubah daerah menjadi objek wisata keramah tamahan sangatlah di utamakan, mari tebarkan senyuman.
Disisi lain para pembangun sarana dan prasarana pariwisata harus memperhatikan fungsi-fungsi icon yang di tampilkan, dan bukan hanya sebagai pajangan semata. Sehingga wisata ini hanya viral begitu saja.
Dan akhirnya lambat laun akan tenggelam dengan adanya ide-ide baru dalam pembangunan model-model pariwisata.
Sepertinya perlu diberikan kapsul sadar untuk pengelola dinda.
Banyak hal yang perlu diperhatikan di sana, Saya melihat tidak hanya dari tempat yang memang perlu di benahi, akan tetapi pelayanan tukang pakir yang memang terkadang mengerutkan dahi. #sabar
Mungkin strategi pendekatan terhadap kebutuhan apa yang di perlukan masyarakat kurang di pahami, jadi ya begitu lah.
Semoga ini menjadi titik tolak untuk menciptakan wisata yang lebih baik lagi
Berwisata sambil menulis sangat mnyenangkan,
Top..
Hahaha Tentu, saya harap banyak orang dapat melakukan hal yang sama ya bang
Jiwa antropologist mulai muncul ni
Iya dek.. Dan smakin banyak yg mengekspos daerah priwisata di tmpat kita..
Follow back dek 😀
Iya bg
Takengon selalu memiliki pesona dan daya tarik dari keindahan alamnya
#maju renye takingenku
Keren, bermain seraya menulis
Alhamdulillah, ketika sumber daya alam memadai maunya di ikutsertakan dengan sumber daya manusianya.
Sehingga tidak terjadi ketimpangan
Gere ke beta dek
Nice post! I will follow you from now on. +UP