Ini Candu Bukan Rindu
Siang itu tampak mentari begitu bersemangat menyinari bumi, beberapa orang terlihat duduk di bawah pohon yang tumbuh berjejer di lapangan kampus kami. Aku sendiri baru saja menyelesaikan jam kedua mata kuliah umum hari ini, setelah dzuhur nanti akan dilanjutkan dengan mata kuliah lainnya. Kususuri koridor panjang ini, sambil sepintas lalu kudengar beberapa dosen masih mengajar di kelas sebelah. Di kelas lainnya beberapa mahasiswa sedang berdebat mendiskusikan problema yang kini tengah hangat menjadi topik perbincangan di kampus kami, yakni "tiga tahun masa pemerintahan Jokowi - JK". Yang mana berkat 'memperingati' hari tersebut, belasan teman-teman kami sesama mahasiswa yang terhimpun dalam BEM seluruh Indonesia dan melakukan aksi menyuarakan suara mereka di depan gedung istana negara dibawa ke kantor polisi tanpa mereka ketahui apa salah mereka.
Dunia akan selalu seperti itu, menikam dan ditikam adalah lumrah, tinggal kita ingin berperan sebagai apa dan mengapa. Sebenarnya tak perlu penjelasan rumit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sederhana saja, jika kita ingin dicela maka menikamlah lebih dulu, namun jika kita ingin terlihat sebagai pahlawan maka ditikam adalah pilihannya sembari memasang wajah polos dan seperti dikhianati kepercayaan sendiri. Ahh, sejatinya kedua pilihan tersebut bukanlah pilihan mutlak. Jika kita sedikit lebih bijak, kita bisa memilih untuk berdamai dan bergandengan tangan membangun masa depan. Andai saja.
"Liwa!"
Seseorang menepuk pundakku, membuyarkan lamunan yang sedari tadi ingin kucukupkan. Kulihat Arga berdiri kokoh dihadapanku, dengan cengiran khasnya ia bertanya "Mau kemana?".
"Kantin", jawabku pelan.
"Heing? Kantin?" Ulangnya ragu.
"Iya, lo gak liat ini jam makan siang, bro?!" Sahutku ketus sembari menunjukkan jam tangan kesayanganku tepat di hadapannya.
"Sebentar, udah berapa hari lo gak makan?" Jawabnya selenge'an yang sudah menjadi ciri khasnya sendiri.
"Maksud…" Aku agak ragu menanggapi pertanyaannya. Kulihat sekeliling, tampak suasana kelas yang baru saja bubaran. Beberapa mahasiswi bercengkrama dengan temannya, ada yang sibuk mengikuti jejak dosennya sambil menggendong beberapa tumpuk berkas, ada yang sedang berbagi kasih dengan lawan jenis dan kekacauan lainnya. "Bentar, ini gue udah nyampe mana, Ga?" Tanyaku bingung.
Arga tertawa terbahak, sambil memegangi perutnya ia berkata "Haaah, lo udah sampe lupa, bro!" Sahutnya sambil cekikikan. "Sini, gue tunjukin kantin sama lo. Kalau perlu gue buatin peta kampus buat lo, biar lo makin bingung…" Arga terus berbicara sembari menarik lenganku untuk mengikuti arah kakinya. Aku persis seperti kerbau dicucuk hidungnya, ikut dengannya tanpa berkata apapun.
Sampailah kami di tempat tujuanku sebelumnya, aku memilih posisi duduk paling jauh dari rak makanan karena hanya beberapa bangku yang tersisa, dan posisi duduk inilah yang kurasa paling nyaman. Arga memesankan makanan untuk kami berdua, aku duduk sambil mengecek ponselku. Kulihat ada beberapa pesan dan chat dari beberapa orang, setelah kubalas beberapa chat penting kuletakkan kembali ponselku di atas meja.
Kulihat Arga berjalan sambil membawa dua gelas minuman ke arahku, "pasti dia nyolong start lagi" batinku. Bagaimana tidak, ketika kami memasuki kantin bangku kosong yang tersisa hanya beberapa dan itupun bangku paling jauh dari rak makanan. Lalu dapet dari mana dia minuman secepat itu, sedang beberapa meja lainnya yang sudah lebih dulu diisi oleh beberapa mahasiswi masih terlihat kosong, hanya beberapa buku dan tas make up yang ada di atasnya.
"Nih!" Katanya sambil menyodorkan segelas es jeruk. Aku mengambil gelas tersebut sambil berkata "Nepotisme!" Sembari menatap sinis Arga yang tersenyum manis, lalu menyeruput minumanku. Aku tak peduli pada tatapan sinis dari beberapa meja terhadap kami. Persetan, ini dosanya Arga pikirku. Aku menikmati istirahat siangku dengan Arga, teman karib yang membuatku terus mengingat banyak hal termasuk tentang dia. Wanita yang memilih pergi ketika inginnya tak sanggup kupenuhi.
Tak berapa lama makanan kami datang, Arga langsung melahap penuh nikmat. Kulirik jam tanganku, aku masih punya waktu satu jam lagi. Kunikmati makan siangku sembari sesekali aku putar pandanganku ke setiap sisi ruangan, beberapa mahasiswa lainnya tampak meninggalkan kantin secara buru-buru, mungkin jam kuliahnya sudah dimulai.
Arga telah menyelesaikan makannya, berdiri lalu melangkah pergi sambil melambaikan tangannya padaku, aku hanya memberinya senyum sekilas. Dan membiarkan dia pergi, lalu kunikmati kembali santapan siangku sendiri. Kantin makin terasa sepi, kulihat hanya tinggal dua meja yang berpenghuni, mejaku dan meja yang dekat dengan rak makanan di ujung sana. Lalu ponselku berbunyi, aku menghentikan aktifitas makanku sejenak. Kulihat chat yang baru masuk, pemberitahuan bahwasannya dosen selanjutnya tidak dapat mengisi kelas dan hanya memberikan tugas untuk diselesaikan pada pertemuan berikutnya. Aku menghela napas sejenak, lalu melanjutkan kembali makan.
Setelah sampai di kamar kosku, aku melempar tas ke arah lantai. Kurebahkan badan secara asal, akhir-akhir ini aku rasa semangatku berkurang. Kupejamkan mata sejenak, "Nanti kalau kamu sama aku udah selesai kuliah, kita langsung nikah atau gimana?" Tanya suara manja itu padaku.
"Kita pulang dulu donk, yank. Masak langsung nikah, nanti orang tua dan tetangga gak tau kalau kita udah nikah. Lagian… mmm mmm" Tangan mungilnya membekap mulutku, menyuruhku diam dan berhenti bercanda.
"Ihh, aku serius lhoo, yank. Kan gak mungkin kita gini-gini terus. Masak kita pacaran aja sampe kakek nenek, sedangkan orang-orang udah pada selesai kredit motor, mobil, rumah bahkan sudah kawin dua deh." Sahutnya setengah kesal. Aku bergeming, menatap matanya dalam, kucubit pipinya tanda geram. Dia hanya mengelak pelan.
"Aku mau ke kelas." Katanya sembari berdiri lalu menyandang tas dan beranjak pergi dari hadapanku.
Aku terjaga dari tidurku, kulihat jam di kamarku menunjukkan pukul 15.30 wib. Aku sudah tertidur satu jam ternyata. "Yank, jalan yuk." Suara manja itu terngiang-ngiang. Kuusap wajah sampai kepalaku dengan gusar, "eeiisshh!" Geramku.
Aku menghubungi Arga, mengajaknya keluar untuk mencari angin atau sekedar hiburan malam. Dan katanya ia akan tiba dua jam lagi, setelah kencannya dengan kenalan barunya selesai. Aku sedikit kesal terhadapnya, ia selalu mendahulukan wanitanya dari pada aku, sahabatnya.
Aku duduk sendiri di kamar, ku scroll ponselku mencari nomor telpon seseorang yang bisa kuajak nongkrong sekarang. Lalu tanganku berhenti pada nama 'X', kulihat nomornya dan aku masih sanggup menghafalnya. Kusentuh tombol 'panggil' keluar pilihan 'SIM 1' dan 'SIM 2', tapi aku lebih memilih membatalkannya. Aku teringat kejadian setahun lalu, jika saja dia tidak memburuku untuk menikahinya atau memberikan kejelasan kapan hubungan ini akan diseriusi mungkin saat ini kami masih bersama. Lalu kusentuh lama pada nama tersebut dan kupilih hapus lalu oke.
Bukannya aku tak mampu menikahinya saat itu. Namun saat itu usiaku belum genap 20 tahun, aku masih ingin membahagiakan orang tuaku lebih dulu. Meringankan beban mereka dengan cara bekerja di perusahaan bergengsi setelah selesai kuliah nanti. Bukan pula itu artinya menomor sekiankan dia sebagai kekasihku, tapi memang sudah seharusnya begitu. Berbakti kepada orang tua adalah prioritas utama, selebihnya hanya selingan pengisi hari dan pelipur lara pikirku. Itu artinya aku belum siap menyeriusi hubunganku dengan Nia kala itu, jikapun aku paksakan mungkin saat ini kami sudah menyandang status duda atau janda pada diri masing-masing. Demi kemaslahatan umat, aku ikhlaskan Nia pergi mencari bahagianya sendiri.
"Aku mau kita putus, orang tuaku sudah menjodohkanku dengan duda muda dan punya anak satu. Aku minta maaf jika pernah memaksamu menikahiku."
Kalimat Nia masih jelas terngiang, itulah saat terakhir aku berbicara langsung dengannya. Aku memilih melepasnya dalam diam. Pasca kepergiannya, sesekali rindu menyapa namun masih mampu kualihkan pada banyak hal. Namun saat ini berbeda, aku ingin sekali Nia ada disini, didekatku. Menceritakan banyak hal tentang siang, malam, berbagi rindu dan sesekalu bertukar cumbu.
Aku bangkit dari tempat tidurku, berdiri sejenak di depan cermin merapikan rambutku dan mengusap pelan wajahku. Lalu kuambil kunci motor di atas meja belajar dan keluar mencari angin malam.
Aku berhenti di sebuah taman, kucari bangku kosong dan kurebahkan bokongku di atasnya. Kunikmati udara malam sepuasnya, mumpung gratis pikirku. Tak berapa lama ponselku berbunyi, panggilan dari Arga. Aku membiarkannya, kubiarkan mataku memutari pemandangan sekitar. Di sekeliling taman terlihat beberapa pasangan dan anak-anak, ada yang berlarian dan ada yang merengek minta pulang saat orang tuanya tengah menikmati suasana. Padanganku terpaku pada dua insan di ujung sana, tepat di depan bangku yang kududuki ini. Kulihat dia, Nia wanita yang dulu selalu bersama denganku kini kulihat dia dengan pria yang kuperkirakan usianya 5 atau 7 tahun di atasku. Mereka duduk sejajar dan pandangan matanya jatuh pada seorang bocah kecil yang tengah berlarian di taman. Gadis mungil dengan wajah manis berlari kecil ke arah mereka.
"Papa… Mamaa…" teriaknya ke arah mereka berdua, dan mereka menyambutnya dengan pelukan hangat dan tertawa satu sama lain.
Aku terpaku sendiri, terdiam dan mencoba mengingat kenangan silam. Itu dulu mimpi kami dan sekarang mimpi itu sudah kau realisasikan dengan lelaki pilihanmu. Aku turut bahagia, Nia. Semoga pilihanmu tepat. Aku ingat betul rencana manismu untuk keluarga kecil kita, tapi dulu umur kita masih belasan. Bahkan pasca putus denganmu aku mencoba beberapa kali memintamu untuk kembali, tapi yang kamu mau hanya dinikahi. Aku berhenti dan berdamai dengan diri sendiri, mungkin dulu melepasmu adalah memberi ruang untukku terus memantapkan diri mencapai tujuan utamaku yaitu membahagiakan orang tua. Dan kamu juga demikian, mencari seseorang yang siap menikahi dan hidup bahagia bersama denganmu selamanya.
Saat ini aku ingin berada di posisi lelaki itu, menggenggam tanganmu dan sesekali memelukmu dengan hangat. Aku mungkin lelaki bodoh yang melepas gadis sebaikmu dulu, tapi aku tau jika dulu aku tak melepasmu mungkin kita tidak akan baik-baik saja saat ini. Aku merelakanmu, meski terkadang rindu. Aku mengelabui waktu, tak kukatakan aku rindu, aku hanya akan dirimu.
Ini candu, bukan rindu. Terbukti kini aku hanya menginginkanmu disini sama seperti dulu, saat aku masih denganmu.
![image](https://img.esteem.ws/es6zr62kqc.jpg)