IJA KAFAN JUGA LAYAR BIOSKOP
Tak asing bagi kita ketika meudungoe (mendengar) kain kafan, yang teringat dan terbayang seorang hamba Allah yang akan memasuki alam kubur dengan berbekal kain kafan di tubuhnya. Se-dep na le pakaian tanyoe di alam yang legenyoe, tetap ija kafan keu peunungui tubuh wate ta meujak woe bak poe tallah.
Tak ada yang harus kita buang waktu untuk memikirkan itu dan membicarakan secara jauh, pada hakikatnya kain kafan juga sebagai salah satu media (pakaian) untuk kita berpisah dari alam ini menuju alam selanjutnya.
Kita tidak sedang membaca film yang sedang di kafani untuk menuju alam punah, karena produk film tak akan punah di alam asbab ini karena bukan makhluk hidup...hehehe
Setelah Gempa dan SMONG 2004 silam, era gedung bioskop di Aceh juga ikut tenggelam bersamanya. Walaupun sebagian ada yang berspekulasi karena keluarnya Undang-Undang Tentang syariat Islam di Aceh (maaf lupa, no dan tahun Undang2-nya) klau tidak salah tahun 2001. Klau gara-gara undang2 juga tidak mungkin, karena sampai tahun 2003-2004(sebelum SMONG) masih ada film yang harus di tonton oleh manusia manusia di Banda Aceh. Dan begitu juga dengan spekulasi2 yang lain, seperti mulai sebanya pungutan liar oleh oknum2 terhadap pemilik bioskop karena kondisi Aceh juga dalam dentuman irama perang. Semua itu bisa iya dan bisa tidak, bisa juga karena industri percetakan kaset telah melahirkan manusia untuk berprofesi jadi tukang Bajak, walau undang2 melarang, tapi tidak bisa juga di bendung...tapi...minimal berkuranglah tukang bajak.
Beberapa anak-anak muda Aceh yang rata-masih mahasiswa mulai bersentuhan dengan kamera atau dunia audio visual mulai melahirkan karya produksi film sendiri. Saat proses rehap-rekon,ruang apresiasi film juga mulai muncul, Aceh memasuki babak baru dalam dunia film. Kalau dulu orang Aceh yang ingin bermain film harus ke jakarta, maka sekarang cukup di Aceh...hehe
Proses itu semua tak perlu membuat para film maker Aceh harus menyembah para pemilik bioskop untuk berinvestasi di Aceh. Karena pada intinya juga bioskop hanya sebuah ruang untuk bisa menonton film. Kalau keinginan kita film yang di produksi oleh sineas aceh bisa di tonton secara luas, maka ruang untuk itu cukup banyak, katankanlah Gampong Film yang di gagas oleh Aceh Film Festival itu sebuah bentuk apresiasi dan exsebisi film ke masyarakat, dan ruang warkop yang pernah di gagas oleh kawan-kawan himakasi Unsyiah pada 2012, memutarkan film serta menghadirkan sang sutradara di hadapan penonton dan ruang apresiasi seperti itu juga di gagas oleh Aceh Documentary melalui program Aceh Dokumentary Forum dan masih bertahan sampai sekarang, walau penontonnya sangat sedikit yang hadir.
Yang menolak bioskop untuk hadir di Aceh juga bukan solusi untuk perkembangan film di Aceh. Lagian juga aturan main dari kebijakan pemerintah tidak melarang adanya bioskop disini. Walaupun ada sebagian dari kita beranggapan bahwa bioskop akan menghancurkan nilai-nilai syariat Islam di Aceh itu juga tidak masuk akal, karena para investor-pun tak mau pusing dengan ada dan tidaknya syariat islam di Aceh, mereka hanya memikirkan untung-rugi dan keamanan investisanya nanti. Oh...persoalan biar laki2 dan perempuan tidak bercampur, tinggal dipisah aja, sebagaimana yang di lakukan oleh kawan2 Aceh Documentari yang memutarkan film2 dokumenter produksi sendiri dan folm fiksi nasional di Aceh.
Masalah ruang apresiasi di Aceh bukanlah layar itu harus beruang dan tak beruang,,,(semoga pembaca juga tidak sedang minum susu beruang). Aceh tak memiliki bioskop bukanlah sesuatu yang harus disesali, lagian dunia streaming begitu bebas menyediakan film-film yang kadang2 sedang tayang di bioskop (terlepas itu bermoral atau tidak). Kemungkinan-kemungkinan ketika bioskop hadir kembali di Aceh, akan ada perlawanan-perlawanan dari sineas lokal vs industri, secara teknis mungkin kemampuan sineas Aceh bisa bersaing, tapi secara kemampuan kapital akan tersisihkan, seperti sineas-sineas nasional yang yang harus berjuang mati-matian untuk bisa mendapat tempat yang layak di bioskop, kadang2 ada yang gulung tikar setelah masuk bioskop alias tak balik modal. Tapi lambat laun Bioskop akan hadir di kehidupan, tinggal menunggu waktu aja.
Mungkin sekarang sineas Aceh secara teknis hampir sama seperti gerakan New Wave di prancis, dimana produksi film masih meminjam alat produksi dari kawan ke kawan begitu juga pendanaanya, akan tetapi produksi itu apakah hanya untuk sebatas berkarya dan mendapatkan APLuS dari festival dan lain2? Atau sebatas menyambut era, bahwa ini era digital, era audio visual?, kalau kita demikian berarti kita akan menguburkan film (ruhnya) dengan kain kafan yang di tancapkan pada halaman mushalla dan dilapangan gampong2.
Sederhananya saya ingin mengata-ngatakan lewat tulisan ini, bahwa film sama seperti steemit yang membantu tenaga seseorang untuk mengotak-atik kata di dalamnya, tetapi tidak juga demikian, kenapa tidak! Jangan sampai juga kita menggantungkan tenaga padanya. Tapi ini untuk mengatakan sesuatu yang tak terkatakan. Begitu juga film karya sineas Aceh, buatlah film untuk ditonton oleh masyarakatnya biar mereka bisa menonton, bukan memberikan tontonan tampa pilihan.
Long hna ku peugah sapu ku kalen manteng jeut.
Salem manteng ngen do'a keu peunonton
Bek tuwe neu teg long
selain untuk membungkus mayat. ternyata juga bisa membungkus film agar bisa di tonton. postingan hebat tengku ayi
Bungkoh!
hahahhahaha
Tancapkan kain kafannya...hehe
Vote back me @mizwar
Klo nonton layar tancap brarti nonton kain kafan ya bang hehe
Kain kafan akan memberikan tontonan yang jauh lebih manarik dari layar ruangan...karena kita jarang melihatnya...hehe
Saya yakin @tehnosia akan berusaha selfi di depan layar itu...hehe
Kain kafan akan memberikan tontonan yang jauh lebih manarik dari layar ruangan...karena kita jarang melihatnya...hehe
Saya yakin @tehnosia akan berusaha selfi di depan layar itu
Mantaap! Mantap bang Ayie, yg peunteng ide bek habeh-habeh
Meunyoe ija kafan ka geusube lam kubu...kabeh ide...
Ukeu akan na pocong film sang... Hahahaha