" Rintihan Anak Terakhir "
Rintihan Anak Terakhir
Cerita pilu dari kerasnya hidup..
Tiga bersaudara dari Ayah dan Ibuku, Aku terlahir anak paling buncit, dari ketiga bersaudara. Kakak pertamaku bernama Sari, dan yang kedua Basir. Merekapun sudah berkeluarga, sedangkan aku masih mengenyam pendidikan dan baru menginjak kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ibuku sudah lama meninggal sejak aku umur 4 tahun. Keadaan Ayahku sekarang sungguh menguras hati dan pikiran karena sakitnya yang tak kunjung sembuh, 60 tahun usia beliau, telah banyak makan asam garam dengan kerasnya kehidupan.
Sepulang sekolah aku gunakan waktu berharga ini dengan berdagang kue basah serta kue kering itu pun bukan milik sendiri melainkan milik tetangga. Selebihnya uang yang aku dapat dari hasil berjualan dari si pemilik kue saya tabungkan dirumah untuk membayar biaya sekolah.
Fisik ayah yang sudah tidak muda lagi, membuat Aku berpikir dan harus belajar survive walau anak seusia saya masih dibilang belum cukup umur bisa meng gantikan peran orang dewasa untuk bisa membanting tulang.
Semangat Gifhi tidak pernah surut juga pudar, meskipun terkadang suka meneteskan air mata ketika mengingat sosok Ibunya. Melihat seorang ayah dengan kondisi yang tidak memungkin kan, ditambah penderitaan kehilangan ibu. Semangat Gifhi untuk terus bertahan termotivasi dari Pak Ustadz Herul dikala ia belajar mengaji Al-Qur'an di sebuah musholla dekat rumahnya.
Pak Ustadz yang selalu mengarahkan dan bimbingan kebaikan hidup kepada Gifhi. Dari itu Gifhi selalu berusaha untuk menata serta meniti masa depannya. Selain rajin berdagang, peringkat satu adalah hasil yang selalu didapat Gifhi di sekolahnya.
Gifhi berharap ada kabar dari kedua kakaknya yang selalu sibuk mengurusi rumah tangga maupun pekerjaannya.
Tak selembar kertas coretan hitam pun sampai ke rumah Gifhi, sebab tidak ada alat komunikasi di rumahnya. Gifhi yang selalu memohon petunjuk kepada Allah SWT, menginginkan supaya kedua saudaranya terbuka hati dan pikirannya untuk bisa menengok atau singgah sebentar dengan keadaan pilu yang aku dan Ayah alami.
Menginjak kelas tiga SMP, Gifhi pun menangis histeris. Seolah air matanya tertumpah ruah membasahi seisi rumah. Ayah Gifhi memejamkan mata untuk selama-lamanya, meninggalkan segala kenangan yang tak mungkin dilupakan.
dengan mendengar kabar dari tetangga rumah melalui alat komunikasi saudaranya pun pulang ke rumah Gifhi. Dari kedua kakak Gifhi ikut menangis melihat bapaknya meninggal.
Penyesalan menghantui kedua kakaknya yang tak pernah menengok keadaan adik dan bapak.
Dalam kebersamaan adalah salah satu kebahagiaan.
Brebes, 12 juli 2018
@totobungsu15
Tetap semangat yaa gifhi..
He he iya bang
Akhirnya tayang juga nh postingan..
Hihihiyyy
Iya nih, bikin yang baru lagi ah..he he
Sipppp...😀😀
Bagus nih ceritanya. Buat lagi ya dan tingkatkan terus jumlah katanya
Biasa lagi belajar.. dikit-dikit he he