Cerita Pendek: Puisi Diam-Diam Di Steemit
Senja
Senja dan Hujan kerap kali disebut-sebut orang yang sedang jatuh Cinta. Jika ada yang mengaku tidak pernah, mungkin dia lupa, jauh di dalam hati kecilnya, dia pernah menyebutnya.
Aku tidak mau menjadi orang yang munafik. Dulu sekali, Aku pernah jatuh cinta. Dan sekarang sedang berjuang mendapatkan balas senyum dari seorang wanita yang baru-baru ini aku kagumi. Hanya senyum!. Layaknya laki-laki 'dikasihani' sejati di luar sana. Jujur, aku pernah menyebutkan Senja dan Hujan dalam persoalan Cinta, bahkan sering. Dan selalu kubawa saat ingin merayunya.
Kemarin, sepulang berbuka puasa bersama teman-teman di hadapan senja yang begitu indah .Tepatnya di Gampong Jawa, Banda Aceh. Memoriku berputar kembali, ke masa lalu. Nun jauh di sana, diapit perbukitan, di desa Paloh, aku pernah menulis sebuah puisi dari Senja.
quoteTak akan pernah habis
orang jatuh cinta
Mengeja Senja;
Seperti aku tak pernah usai
Mengeja pikiranmu, luas dan dalam.
Puisi ini hadir lantaran patah hatiku, sebab dikhianati seorang perempuan. Saat itu, dimana aku sama seperti anak-anak yang sedang pubertas, pura-pura mengerti Cinta. Seakan-akan, kami adalah senior dalam percintaan. Maka yang malas membaca terpaksa harus ke perpustakaan mencari kata-kata bijak. Kemudian dihadiahinya kepada orang yang dicinta. Saat itu, lima tahun yang lalu, di desa Paloh.
Sore itu, aku termenung, memerhatikan senja perlahan ditutup bukit. Jika sudah begitu, hanya terlihat pantulannya ke pemandian umum. Tapi tetap saja indah. Tiba-tiba aku merasa agak melankolis saat Senja perlahan terbenam. Mungkin ini juga dirasakan sebagian orang jatuh cinta. Saat itulah, pikiranku berputar dan aku menulis puisi itu.
Kepada siapa harus kuhadiahkan puisi ini?. Cintaku dikhianati, layaknya kaca pecah berkeping-keping. Tak bisa kembali utuh. Setelah berdiskusi dengan hati, hati kecil dan patah hatiku. Maka puisi itu kutempel di mading kelas.
Persoalannya saat itu, aku lupa menulis namaku. Esok paginya, teman-temanku telah bahagia menjiplaknya, lalu mereka kirim ke sebarang. Untuk yang dicintai. Aduh!, tapi ya sudahlah. Jika kutulis namaku di kertas itu, mereka tidak berani menjiplaknya. Sebab, mereka yakin, aku juga pasti mengirimnya ke bagian Jurnalis pondok. Dan jika ketahuan menjiplak dengan pujaan mereka, pasti malu. Tapi kali ini, aku tidak mengirimnya. Aku sedang tidak ingin merayu.
Maka bersenang ria Adek kandung ku yang setia. Dan saat itu, aku juga ikut bahagia.
Sebulan berlalu. Dan puisi itu sudah basi, layak sebuah film yang lama bagi mereka. Selama itu pun, aku tak pernah menulis puisi. Pasti kau tau sebabnya.
Pagi. Di bulanJuli, yang kudengar, adalah bulan romantis. Aku tertidur di kelas, sudah sejam guru tak kunjung datang. Suara riuh kekhawatiran teman-temanku. Hari itu, pemeriksaan lemari, seluruh pondok.
Aku sama sekali tidak khawatir. Sebab tak ada barang aneh-aneh di lemariku. Mungkin teman-temanku khawatir lantaran ada barang yang dilarang bawa. Aku sama sekali tidak peduli mereka, mungkin karena ngantuk.
Sejam setelah pemeriksaan. Aku dan teman-teman ke dapur untuk makan siang. Aku kaget, ketika kami sekelas dipanggil dari pengeras suara, untuk berkumpul di depan kantor. Ada apa ini?. Aku yang pertama tiba di sana, lalu teman-temanku nyusul, dan kami berkumpul semua. Diam tak suara. Menakutkan.
"Siapa yang menulis puisi ini. Kenapa ada di setiap surat," kata guru. Aduh!, mati aku. Ternyata surat-surat yang dikirim teman-temanku ke seberang didapati di lemari pujaan mereka saat pemeriksaan lemari. Kenapa guru curiga dari kelasku puisi itu lahir, karena semua nama di surat-surat itu teman sekelasku.
Kami semua diam. Beberapa kali guru membentak. Akhirnya, dengan tarikan nafas panjang aku mengakuinya. Teman-teman pada kaget. Dengan begitu, aku juga diberi sanksi. Apa salahku, hanya menulis puisi, bisa kenak sanksi. Kau tau, aku sangat malu. Sepanjang tiga tahun sudah aku disini, baru kali ini aku kenak hukuman. Kau tau hukumannya, kawan; yakni berdiri di lapangan bersama-sama teman-teman sekelasku yang menulis surat kepada bajinganya, juga diikuti serta bajingan-bajingan itu. Dan aku berdiri di atas meja, di tengah mereka. "Kau bosnya harus lebih tinggi dari mereka , ambil meja dan berdiri di atasnya," kata guru.
Ah, malangnya nasibku. Apakah menulis puisi di mading kelas sedosa ini? Kenapa aku ada di sini, apa salahku? Aku tidak menulis surat untuk seberang? Aku tidak jatuh cinta sekarang, guru!. Itu adalah tanda tanya dan seru yang bermunculan di kepelaku. Sementara matahari begitu panas siang itu, aku belum makan. Kami berdiri hingga senja memuncak. Ah!
Hujan
Dua tahun kemudian, setelah aku dilepas dari sana. Dan memulai pertualangan baru ke Kuta Raja.
Gerimis pagi itu tiba-tiba menjelma menjadi hujan deras. Membuat kambing ketakutan. Orang-orang menjadi malas dan manja di kamar. Termasuk aku. Padahal ada kelas pagi itu.
Setelah bosan tidur, aku keluar dan duduk di depan teras kosan. Aku menikmati hujan pagi itu. Ah, kurang kopi saja!. Tiba-tiba aku merasa melankolis. Pikiranku terputar kembali pada sebuah puisi yang mengakibatkanku harus menanggung rasa malu.
Aku membatin; "Lama juga tak menulis puisi". Langsung kubuka note di Handphoneku, yang sudah seminggu lebih tak kusapa. Kemudian kutulis:
Hujan, bolehkah aku melibatkanmu
Dalam jatuh cintaku?
Untuk kata-kata yang kemudian
Dihadiahkan kepadanya
Yang harum, seperti Mawar yang
Kau basahi pagi ini.
Aku tersenyum setelah puisi ini lahir. Percikan air hujan dari genteng ke tanah telah membangun semangat untuk jatuh cinta, kembali. Maka kusimpan baik-baik puisi itu.
Credit: instagram/ @rahmimaulida
Sebenarnya tak ada yang tau, hanya tuhan, aku jatuh cinta kembali. Betapa teman kelasku, telah membuatku takut jatuh cinta. Ohya, namanya Dinda. Senyumnya yang sedang kuperjuangkan. Hanya senyum!, karena aku tau di mana aku berada. Tapi Dinda, kekuatan cinta akan mengalahkan tampangku ini.
Esoknya, cerah, tak ada hujan. Kicauan burung nan Indah. Semerbak harum embun pagi berhasil membuatku melankolis. Teringat Dinda, senyumnya. Saat itu pun aku teringat, ada janji bertemu dengan temanku di kampus seberang. Aku senang. Kau tau, Dinda juga di sana, di kampus itu.
Di kantin yang berwarna biru itu aku duduk bersama temanku, membahas pelajaran. Namanya Rey. Dia diberi lakop 'paleh' oleh teman-teman kampusnya. Paleh adalah bahasa Aceh artinya jahat. "Leh.. Leh". Begitu teman-teman memanggilnya. Aku tidak mau tau soal kenapa dia dipanggil begitu. Toh, dia baik-baik aja samaku.
Dari ujung sana, Kulihat Dinda berjalan. Lalu duduk bersama temannya. Ah, begitu cantik.
"Hey kau suka menulis puisikan? Boleh kuminta puisimu satu. Aku sedang merayu wanita," ujar Rey kepadaku, dan menghentikan pandanganku ke Dinda.
Awalnya aku ragu tapi karena dia terus memaksaku. Dan aku teringat perbuatan baiknya padaku. Ini bukan sekolah, ini perkuliahan. Tak mungkin masalah puisi aku diberdirikan di depan orang banyak. Tidak mungkin.
Esoknya. Aku pun berjanji lagi untuk bertemu Rey di kantin itu. Aku ingin melihat Dinda. Senyumnya, aku ingin dia tersenyum kepadaku.
Aku tidak ingat lagi perkara puisi itu. Tapi Rey memberiku kabar tentang puisi itu; "Makasih ya, berhasil". Aku melajukan sepeda motorku ke kantin itu. Setiba di sana, betapa patah hatinya hatiku. Ketika kulihat Dinda bersama Rey, begitu mesra. Mereka duduk berpapasan. Seperti sepasang kekasih yang sedang nyaman-nyamannya.
Ah, betapa hancur hatiku. Aku ingin kembali saja. Tapi sebelum aku urungkan niatku untuk menyapa mereka. Rey duluan melihatku, dan aku terpaksa duduk di sana.
Rey memperkenalkanku dengan Dinda. Dan saat itu pun aku melihat senyumnya. Senyumnya bukan milikku. Hilang sudah harapanku.
Dari situlah aku baru sadar. Kenapa Rey dilakopi 'paleh' sama teman-temannya. Padahal dia baik dan pintar. Dan dia begitu baik padaku. Aku teringat puisi itu, puisiku yang dipinjamkan Rey untuk merayu. Merayu Dinda. Ah!
Ini salahku. Bukan Rey. Aku yang salah jatuh cinta diam-diam. Dari awal aku juga hanya ingin melihat senyumnya. Hanya senyumnya.