Traveling Under the Rain | Perjalanan di Bawah Hujan |

in #fiction7 years ago





Perjalanan di Bawah Hujan

Cerpen @ayijufridar

“BAWA apa?” sebuah kepala menyebul di balik pintu kecil.

“TBS.”

“Apa itu?”

“Hmm.... kelapa sawit.”

“Seratus ribu!” sahutnya enteng.

Lelaki itu diam sejenak. Perjalanan masih panjang dan pos masih banyak ditemukan di sepanjang jalan. Kalau dia harus menyerahkan uang seratus ribu di pos ini, maka kemungkinan mereka akan kehabisan uang sebelum perjalanan selesai.

Hmm... Pak, maaf. Kalau seratus ribu kami tidak punya uang. Bagaimana kalau lima puluh ribu saja. Tadi di pos sebelumnya juga kami serahkan lima puluh ribu,” kata laki-laki itu dengan nada cemas.

"Apa?! Kamu melawan, ya? Kamu menantang? Aku bilang seratus ribu!”

“Maaf, Pak. Kami benar-benar tidak ada uang...”

“Dua ratus ribu!”

“Pak, kami...”

“Tiga ratus ribu!!”

“Kami...”

“Empat ratus ribu!!”

Lelaki itu terdiam dalam kesunyian yang panjang. Dipandanginya truk yang parkir di pinggir jalan, sekitar 20 meter di depan pos. Truk itu berdiri dengan gagah, menantang sinar matahari pagi yang mulai terasa hangat. Satu dua kendaraan penumpang melintas dengan mulus, tidak ada isyarat agar kendaraan itu berhenti seperti yang dialami lelaki itu bersama supirnya. Kendaraan itu membawa manusia, makhluk yang tidak berharga. Sedangkan mereka membawa tandan kelapa sawit yang akan diolah menjadi minyak goreng. Dalam kondisi seperti ini, kelapa sawit lebih berharga dari
nyawa manusia.

“Pak, saya tanyakan pada supirnya dulu, ya?”

“Heh, kamu mengganggu tugas kami, tahu! Seharusnya kami bisa mengerjakan yang lain. Tapi habis waktu untuk melayani kalian. Jumpai sana supirmu. Jangan kembali kalau tidak bawa uang lima ratus ribu!!”

Lelaki itu berjalan dengan langkah gontai. Menjumpai supirnya yang menunggu di belakang setir. Ia laporkan semua yang dialami, berikut jumlah nominal yang harus mereka bayar.

“Gila, lima ratus ribu? Dari mana kita dapat uang sebanyak itu? Ini namanya pemerasan. Biasanya kita bayar sesuka hati. Namanya saja uang rokok. Tidak membayar juga tidak apa-apa, tidak melanggar undang-undang. Justru mereka yang melanggar undang-undang karena memeras orang kecil seperti kita,” berondong supir. Urat lehernya sampai menonjol keluar menahan amarah. Namun dia tidak bergeser sesenti pun dari tempat duduknya.

“Jadi bagaimana sekarang?” tanya temannya yang menjadi kernek.

“Ayoo, kita hadapi sama-sama. Kalau dia tetap memaksa lima ratus ribu, bilang saja tidak ada uang. Kalau sampai dipukul, ya sudah, kita pasrah saja.”

Dua lelaki itu menuju pos yang terdapat di depan sebuah gudang bekas pabrik pengolahan kayu yang sudah tidak beroperasi sejak pecahnya konflik bersenjata. Sebagai supir dan kernek yang menghabiskan sebagian umur di jalanan, mereka sudah hafal betul jumlah pos polisi di sepanjang jalan dan pos mana saja yang memungut uang dalam jumlah besar. Ada pos yang tidak
meminta uang sama sekali, ada yang bisa kompromi mengenai jumlah uang yang disetor. Namun tidak sedikit yang meminta uang sesuka hati, seolah mereka sudah menanamkan sahamnya dalam perusahaan jasa angkutan barang. Dan pos di depan bekas pabrik pengolahan kayu dikenal sangat angker. Jumlah uang yang diminta tak jarang sejumlah dengan uang yang ada di dompet si supir.

“Pak...” suara supir tertelan oleh ketakutan yang menderanya. Ketegasan suaranya yang disampaikan dengan urat leher menonjol, hilang tak berbekas di depan pos yang dihuni sejumlah aparat keamanan.




"SUDAH ada uangnya?” masih petugas yang sama melayani mereka. Tiga anggota lainnya yang ada di dalam pos, bersikap seolah tak peduli.

“Kami tidak punya uang kalau sampai lima ratus ribu.”

“Kalau tidak punya uang, cari dulu. Parkir truknya di sini, kalian pergi cari uang!”

Supir dan kernek itu saling berpandangan dengan mata melotot dan mulut setengah terbuka. Di tengah hutan seperti ini, jangankan mencari uang lima ratus ribu, menjumpai manusia saja sudah sulit.




PULANGNYA, mereka memuat barang-barang hasil olahan industri seperti susu, mie instan, gula, dan aneka jenis makanan ringan. Untuk barang-barang seperti ini, tidak terlalu banyak uang yang harus disetor di pos-pos yang mereka temukan sepanjang jalan. Mereka hanya perlu mengawasi pergantian pasukan saja.

Biasanya, berganti kesatuan berganti karakter. Ada pasukan yang cukup dilemparkan saja dua atau lima ribu di pinggir jalan dan kemudian dipungut anak kecil suruhan mereka. Ada yang harus berhenti dan menyetorkan sejumlah uang, ada yang pura-pura menanyakan kelengkapan surat-surat tapi ujung-ujungnya minta sejumlah uang, bahkan ada yang menolak uang sama
sekali meskipun itu sangat jarang. Biasanya, setelah pejabat polisi mengamuk di koran dengan segala omelannya, pungutan itu berhenti sebentar. Dua atau tiga minggu para supir truk bisa meluncur seperti di jalan bebas hambatan. Namun setelah itu pungutan akan muncul kembali, seperti wabah yang tidak mudah untuk diobati.

Pergantian pasukan merupakan pelajaran baru. Supir itu pernah dipanggil dengan letusan senjata ke udara setelah melemparkan selembar lima ribuan di pinggir jalan. Dengan kaki gemetar karena ketakutan, ia menghampiri dua petugas yang berdiri di pinggir jalan dengan senjata lengkap.

“Kamu pikir kami ini anjing, main lempar saja. Sekarang ambil kembali uang itu!” bentak seorang di antara mereka yang mengecat rambutnya dengan warna perang seperti polisi di Eropa tetapi kulitnya kecoklatan.

Supir itu membungkuk sembari menjulurkan tangannya. Namun sebelum uang itu tersentuh, polisi itu sudah teriak kembali.

“Eps, eps! Jangan pakai tangan. Pakai mulut!”

Akhirnya supir itu berlaku seperti anjing yang sedang menggigit tulang. Dia pungut lembaran lima ribuan di atas aspal itu dengan mulutnya. Harga dirinya terasa terinjak-injak karena ditempatkan di tempat yang paling rendah. Namun dia tidak mampu berbuat apa-apa.

Saat itu ia masih bersyukur karena tidak dipukuli. Namun setelah uang itu diserahkan secara baik-baik dengan tangannya, dia mendapatkan balasan tamparan di pipi kanan. Tamparan dari seorang aparat keamanan yang sebenarnya bertugas mengamankan perjalanan masyarakat umum. Tamparan dari seorang pemuda yang usianya sepantaran dengan anaknya nomor dua. Tidakkah dia teringat dengan orang tuanya ketika melakukan itu?

Sejak kejadian itu, dia dan kerneknya tidak sembarangan melemparkan uang. Mereka akan berhenti dulu, mencoba mengukur sejauhmana petugas itu bisa diperlakukan dengan memancing percakapan. Kalau diizinkan main lempar, mereka tentu akan memilih melemparkan saja uang di pinggir jalan kendati pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.

Masalahnya ada puluhan pos di sepanjang jalan. Kalau di setiap pos harus berhenti dan bercakap-cakap, betapa banyak waktu yang terbuang percuma. Perjalanan yang normalnya ditempuh tujuh jam bisa membengkak menjadi 11 jam. Padahal mereka harus menghindari kemalaman di jalan karena risikonya bisa lebih tinggi lagi. Banyak kelompok bersenjata tak dikenal yang
kerap melakukan sweeping di tempat sunyi. Kalau terjerat oleh mereka, harus menyediakan uang puluhan juta sebagai tebusan kalau tidak ingin truknya
dibakar.

“Kabarnya ada pergantian anggota di beberapa pos,” lapor kernek ketika truk baru saja berjalan.

“Kita akan lansam setibanya di depan pos. Kalau terlihat orang baru, kita berhenti. Tapi kalau orang lama, ya, sesuai dengan kebiasaan selama ini.”

Kernek itu mengangguk maklum. Sejenak dipandanginya langit yang mendung. Gerimis mulai turun satu-satu, dan sebentar kemudian berubah menjadi hujan besar. Mereka terpaksa jalan perlahan-lahan karena jalanan menjadi licin. Tiga jam pertama tidak ada satu pun pos yang perlu diwaspadai karena masih terletak di kawasan bebas konflik bersenjata. Setelah itu, baru
terlihat pos di kiri atau kanan jalan dengan jarak yang tidak beraturan. Ada papan pengumuman kecil yang dipasang di pinggir jalan kira-kira 10 meter sebelum mencapai pos. Pengumuman itu mengingatkan para supir agar mengurangi kecepatan karena akan melintasi pos pengamanan.

Namun hari itu mereka menjumpai pemandangan berbeda.Tidak ada seorang polisi pun yang berdiri di depan pos dan mengisyaratkan supir untuk berhenti. Pos kecil yang kerap disebut pos monyet, masih berdiri dengan kaku dan angkuh. Pos-pos itu terlihat kedinginan di bawah hujan. Keangkerannya yang selama ini membuat ciut para supir, hari itu mencair disaput hujan.

Awalnya satu dua pos dilewati dengan hati-hati. Namun setelah tidak ada rintangan apa pun, tanpa ragu mereka melewati pos demi pos dengan kecepatan tinggi. Mereka yakin dan percaya bahwa di bawah siraman hujan, bukan saja panas yang diusir dari permukaan bumi, tetapi juga pungutan liar.***

Lhokseumawe, Pebruari 2005


Cerpen di atas sudah pernah dimuat di harian Analisa (Medan) pada tahun 2005.






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Sekarang juga kasus semacam pungutan liar masih sering terjadi, ya.

Btw, itu ending-nya twist banget. Tapi kan gak mungkin ya setiap mereka mau melakukan perjalanan, harus menunggu hujan yang seperti itu.

Sekarang sudah jarang @anggreklestari. Dulu sih sering di kawasan dekat-dekat Anggrek tinggal.

Very nice picture my friend 👌😎👍⚡♨️

Thank tou very much. You can getting free pictures in www.pixabay.com.

Thanks for that but I take all my pictures myself

Untunglah sekarang sudah sangat jarang terjadi seperti itu. Walaupun dibeberapa tempat, khususnya pos² perbatasan masih ada yang meminta sedekah seperti itu.

Perilaku memalukan dari oknum kepolisian @ojaatjeh. Seharusnya tidak ada pungli apa pun di sepanjang jalan. Di perbatasan memang selalu bermasalah sejak dulu. Mereka sangat diskriminatif, terutama kalau kita pakai mobil plat BL.

Sepertinya sudah menjadi sebuah tradisi turun temurun. Yang tua pensiun, tergantikan sama yang lain.

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.25
JST 0.034
BTC 95840.97
ETH 2689.81
SBD 0.68