DONAT DONI |
Cerpen Difla Safriani
SUASANA Kota Bandung pagi ini begitu hangat. Sinar mentari di ufuk timur menerobos melalui sela dedaunan di sepanjang jalan. Memberi kehangatan bagi siapa pun, menambah indahnya suasana pagi. Lalu lalang kendaraan di jalan raya begitu sibuk seolah mereka sedang berada di sirkuit untuk mencapai finis. Teriakan klakson bersahutan memecah ketenangan. Pagi indah yang tiba-tiba berubah bising.
Dalam balutan kaos oblong dan rompi “kebangsaan”, aku mulai mengayuh sepeda memasuki komplek Perumahan Permata Hijau yang asri. Pepohonan yang rindang di kiri dan kanan jalan membuatku lebih nyaman mengayun sepeda.
“Donat…! Donat…!” aku berteriak nyaring sembari membunyikan klakson tradisional dari karet untuk memberi tanda kepada pelanggan. Suara klakson tersebut sudah aku modifikasi sedemikian rupa sehingga hanya dengan mendengarnya pelanggan sudah paham donat milikku yang masuk perumahan mereka. Beberapa pedagang donat buatan kami juga memiliki suara klakson khas. Begitulah salah satu strategi pemasaran yang aku rancang, selain tentunya dengan memproduksi donat yang lezat, sehat, dan higienis.
“Mas Doni…!”
Dari kejauhan aku melihat sesosok tubuh mungil melambaikan tangan. Ini dia Faza, salah seorang pelanggan setiaku. Bocah laki-laki itu masih duduk di kelas dua SD. Setiap pagi dia menunggu kedatangannya. Bila aku nggak datang sehari saja karena ada tugas lain, pasti besoknya dia bertanya meski ada penjaja donat lain yang masuk komplek. “Kalo bukan dengan Mas Doni, nggak enak,” begitu pengakuannya meski penjaja lain juga menjual donat yang sama.
“Faza keren banget pagi ini,” pujiku ketika melihat seragam olahraga yang dikenakannya.
“Ini seragam kami yang baru, Mas…”
“Bagus banget. Warna cocok buat Faza,” kataku jujur.
Ketika mengambil donat yang dibeli Faza, aku bisa melihat ada seseorang yang memantau kami dari balik kaca jendela. Meski wajahnya kelihatan samar, tapi aku mengenal orang itu. Dialah Eza, kakak Faza yang baru kuliah semester awal di sebuah perguruan tinggi swasta. Orangnya cakep. Aku pernah melihatnya dari dekat ketika ia membeli donat buat Faza. Kami juga pernah terlihat percakapan akrab. Dia bertanya tentang rumah dan orang tuaku. Sebagian kujawab dengan jujur dan sebagiannya lagi nggak. Aku jujur ketika mengatakan bapakku dulu juga penjual donat. Tetapi aku nggak jujur ketika menyebutkan alamat rumahku.
Entah kenapa sekarang dia tidak lagi ikutan membeli. Yang jelas pasti bukan karena aku nggak jujur saat menjawab pertanyaannya. Sebab, dia justru percaya dengan ketidakjujuranku dan nggak akan percaya dengan kejujuranku.
Setelah menyerahkan beberapa potong donat kepada Faza, aku langsung mengayuh sepeda menyusuri jalan di komplek perumahan.
Teriakanku memecah kesunyian di kawasan kompleks perumahan Permata Hijau. Seperti biasa, aku mulai mengayuh sepeda tua peninggalan Bapak untuk menjajakan berbagai jenis donat.
Sampai di sebuah tikungan, seseorang memanggilku. Aku memberhentikan sepeda meski tak yakin orang tersebut akan membeli donat.
“Masih betah jualan donat, Don?” tanya cowok itu.
“Masih, dan akan tetap. Apa salahnya menjadi penjual donat, yang penting kerjaan halal.”
“Sampai kapan?”
“Sampai Dian Sastro jadi kekasihku,” sahutku asal saja.
Cowok itu tertawa. Aku langsung melanjutkan perjalanan dan meninggalkan dia masih dalam tawanya sambil menggelengkan kepala. Cowok itu adalah Rudi, teman sekampusku. Dia nggak pernah membeli donatku. Mungkin menurutnya itu bukan makanan kelasnya. Dia mungkin menggemari donat buatan luar yang lebih bergengsi kendati harganya setara dengan pendapatan kotor yang aku peroleh setiap hari.
Orang seperti Rudi sering aku jumpai. Kadang sekelompok cewek di komplek ini saling berbisik; “Keren, sayangnya cuma jualan donat.”
Bisik-bisik seperti itu sering aku dengar. Salah satunya yang paling sering aku dengar dari mulutnya Tara, termasuk kawan Eza juga. Aku bahkan lebih dulu kenal dengan Tara daripada Eza. Bukan karena dia rajin membeli donatku (kalo itu sih malah nggak pernah sama sekali). Tapi karena aku pernah menemukan hape-nya yang jatuh di depan rumah. Saat kukembalikan, dia memberikan sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih. Tapi aku menolaknya sungguh-sungguh karena memang bukan itu yang aku harapkan.
Aku jadi teringat dengan percakapan dengan ibu tadi pagi. Ibu mengingatkan aku agar mengentikan hobiku berjualan donat. Ia minta aku mengurus toko donat kami saja. “Jangan sampai menganggu kuliahmu,” katanya mengingatkan.
“Saya bisa membagi waktu, Bu. Lagian, kita bisa seperti sekarang kan karena almarhum Bapak dulu jualan donat.”
Ibu tidak berkata-kata lagi. Mungkin dia juga mengakui bahwa kami bisa sukses seperti sekarang, mempunyai jaringan toko donat yang luas, karena kerja keras Bapak selama puluhan tahun. Tanpa itu, mustahil kami bisa sukses.
Setelah menjajakan donat hingga menjelang siang, aku masuk ke sekolah alternatif yang aku bangun sendiri. Di sekolah ini, statusku hanya sebagai pengajar saja. Itu pun paruh waktu. Kakak yang kuminta menjadi kepala sekolah. Hanya beberapa pengurus sekolah yang tahu bahwa akulah pendiri sekolah. Bagi kebanyakan orang seperti Rudi, seperti Tara, dan seperti Eza, aku lebih dikenal dengan panggilan Doni Donat. Panggilan itu ditabalkan untuk membedakan dengan Doni lain yang ada di kampus kami, misalnya saja ada Doni Band karena dia memang anak band.
Entah bagaimana, panggilan Doni Donat cukup populer.
“Nanti Mas Doni mau dijemput?” tanya Pak Sabri supir kami.
“Saya naik bis saja, Pak. Soalnya mau langsung ke kampus,” sahutku. Aku memang jarang mau diantar supir apalagi ke kampus. Hanya untuk kondisi tertentu saja aku minta diantar, misalnya karena mendadak atau nggak ada kendaraan lain ke tempat yang aku tuju. Sejauh masih ada pilihan kendati dengan menumpang ojek, maka aku akan tetap menggunakan semua sarana yang ada meski sangat sederhana dan jauh dari nyaman (Bagi orang lain, sih. Toh buatku nyaman-nyaman aja!).
Aku melihat mobil BMW 318i yang baru saja meninggalkan halaman sekolah alternatif yang bangun khusus untuk anak-anak tak mampu tersebut. Seadainya aku ke kampus dengan menggunakan BMW itu, mungkin aku nggak lagi sendiri seperti sekarang. Kalau aku nggak lagi jualan donat dengan sepeda, mungkin Tara atau Eza atau cewek-cewek lain yang ada di komplek sudah menjadi kekasihku.
“Bagaimana hari ini, Don?” tanya Mbak Ratih kakakku saat melihatku memasuki ruang kantornya.
“Belum ada perkembangan positif, Mbak,” sahutku sambil duduk di atas sofa.
"Bersabarlah,” kata Mbak Ratih menasehati. “Kita hidup di zaman materalistis seperti ini. Cara-cara yang kamu gunakan sama sekali nggak lazim. Entah sampai kapan kamu bisa bertahan.”
“Sampai Dian Sastro menjadi kekasihku,” sahutku teringat dengan jawabanku kepada Rudi tadi pagi. Meskipun kusampaikan dengan nada bercanda, tapi sesungguhnya ada kebenaran juga dalam jawaban tersebut. Hanya Mbak Ratih yang tahu bahwa aku akan tetap menjadi Doni penjual donat sebelum ada cewek yang benar-benar mau menjadi kekasihku.
Seandainya aku tampil sebagai Doni si pemilik jaringan donat luas yang pergi dan pulang kampus dengan mobil BMW, mungkin nggak sulit mendapatkan kekasih. Mungkin Tara nggak akan menolak. Mungkin Eza setiap pagi mengharapkan aku mengantarnya ke kampus. Bahkan mungkin Fica si kembang kampus kami pun mungkin nggak menolak kalo setiap malam Minggu aku mengapelinya.
Tapi dengan seragam kebangsaanku, dengan sepeda yang meliuk-liuk di beberapa komplek perumahan sembari menjajakan donat, cewek manakah yang mau menjadi pacarku?
Sejauh ini belum ada.[]
Difla Safriani adalah alumni Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh. Cerpen ini ditulis ketik Difla menjadi Ketua Komunitas Jurnalisme dan Sastra Prodi Ilmu Komunikasi dan sudah dimuat di majalah SAY.
Posting inspiratif dengan penulis yang inspiratif.
Kisah yang mengajak remaja dan atau kita yang hidup dalam belantara kapitalis untuk tetap menjaga kesadaran diri dan mencoba tidak terbawa arus.
Mugkin akan lebih hidup kalau komplikasinya dikeluarkan lebih eksplisit. Tapi saya yakin tulisan ini waktu masih awal dan mungkin saat ini sudah jauh melejit.
Berbahagia punya mentor dan pembimbing yang bukan hanya menuntun kepenulisan tapi juga bagaimana memperkenalkan pada dunia yang lebih luas. Saya merasa ada kedekatan penulis cerpen dengan sampean nggih pak.. Saya merasa kehangatan bapak kepada anak..
Salam dari klaten jawa tengah
Hello @ayijufridar, thank you for sharing this creative work! We just stopped by to say that you've been upvoted by the @creativecrypto magazine. The Creative Crypto is all about art on the blockchain and learning from creatives like you. Looking forward to crossing paths again soon. Steem on!
Kisah si penjual donat yang sangat menginspirasi, alur ceritanya juga bagus, semoga kelak doni donat bisa merid sama Dian Satro 😁
Cerpen yang sangat bagus, ingin sekali menulis seperti itu😊😊😊keren banget, ajarin saya pak☺☺☺