Menyambut Adiraja
Lantai singgasana tampak berserakan di penuhi puntung rokok, tisu-tisu, dan plastik kue. Banyak orang berlalu-lalang kesana-sini. Mulai dari wanita pengemis yang menggendong bayi, kakek-kakek, nenek-nenek, tukang becak, tukang sampah, kuli bangunan, hingga orang sinting pun padat memenuhi ruang bangunan yang katanya suci. Bak malapetaka terselubung, di tengah-tengah keceriaan, kebahagiaan, senda gurau. Ada rasa di balik rasa.
Aroma hidangan yang berserak di atas meja melayang-layang, bau badan tak sedap, di tambah kepulan padat asap rokok, mata menajdi perih, ruangan ini terasa begitu sesak. Sesak, sesesak-sesaknya. Walau haru, bukan air mata yang berlinang. Keringat, hanyalah keringat seasam cuka. Kursi-kursi terisi oleh para cendala. Dimana cendikiawan, intelektual, ahli domino, ahli catur, ahli kibul, ahli ngibus? Hilang batang hidungnya. Apa mereka najis pada pesta kemenangan adiraja kali ini? Sepertinya betul. Bukan seorang sarjana ahli yang menggenggam mahkota kemenangan.
Aku bersenderan pada tembok di sela-sela kesuntukan yang merenggut pikiran. Mengapa ada pesta semacam ini? Kuseka bulir-bulir keringat yang bercucuran di wajah. Haduh, aku berkeluh kesah, kepala tertekan oleh riuhnya keributan yang menonjok kuping. Semuanya begitu bahagia, mengingat seorang pemenang yang bukan sarjana ahli ini memberi kebebasan dengan tingkat sosial yang tinggi sekali. Walau ia memisahkan diri dari pesta ini. Ya, tak mengapalah. Toh orang-orang tetap bisa merasakan kebahagiaan yang sama dengan bahagianya setelah ia di sumpah sebagai pemegang takhta tertinggi kali ini.
Dalam pandang kosongku, ada seorang lelaki tua bertubuh mungil kurus beraksi di tengah keramaian. Lelaki tua itu berkacak pinggang dengan mata melotot. Ia mencak-mencak hingga urat-urat lehernya tegang menghambur keluar.
“Apa urusanmu, dia tak melarang-larang kok. Katanya ini pesta rakyat. Kamu tahu rakyat itu siapa?” Tubuh kurusnya menghadang diri di depan seorang penjaga. Berani betul ia. Sementara aku menerka-nerka apa kesalahan yang di perbuat oleh si lelaki tua itu.
“Memang kamu punya derajat lebih tinggi sedikit dariku. Sedikit, sedikit saja. Halah, palingan untuk memakai baju itu bapakmu merogoh kantong celana hingga kosong. Ya?” Aku tertawa geli ketika melihat ia tertawa cekikikan menutup manis orasi tunggalnya.
Giginya tak ada lagi, walau kumur-kumur, cukup pedas juga hardiknya. Sementara penjaga semakin memerah, tatapan yang di tujukan menusuk mata lelaki tua itu hingga tembus ke kulit belakang otaknya. Aku tahu penjaga itu menggertuk giginya hingga patah. Suara patahan itu terdengar jelas di tengah keheningan. Di regamnya lengan lelaki tua itu. Langsung di seret keluar tanpa banyak berkata-kata.
“Loh, aku kan cuman ingin menyapa, aku ingin tahu mereka berbuat apa di balik pintu itu…”
Suara lelaki tua pun hilang berlalu terbawa angin melewati beberapa orang yang sibuk merekam aksinya dengan Handphone. Entah apa yang akan di perbuat penjaga itu aku pun tak tahu. Seisi gedung terdiam, mereka saling berpandang-pandangan. Penasaran, dengan mulut yang tak berhenti mengunyah, mereka bertanya satu sama lainnya. Ada pula yang mengatakan bahwa lelaki tua itu sudah lama gila semenjak di tinggal istri keduanya. Ada yang berbisik, si lelaki tua itu cuma mencari perhatian saja. Beragam macam dakwaan tertuju padanya.
Sementara aku penasaran dengan pintu yang di maksut si lelaki tua tadi. Aku mencoba mengintip dari balik kaca, ketika kusingkap gorden, halaman yang terbentang luas tampak kosong. Tak tahu kemana larinya penjaga dan lelaki tua itu, padahal baru saja mereka keluar. Entahlah, mungkin saja mereka bersembunyi di balik tembok.
Sudah lama sekali aku terpaku kaku sendirian, baiknya aku segera mencari pintu yang di maksut oleh lelaki tua tadi. Lumayan, tubuh ini tak lagi kaku setelah mendapat celah menghirup angin segar. Berkat lelaki tua itu, si penjaga pun membuka pintu. Tentu saja kesempatan tak datang dua kali.
Memang, barangsiapa yang sudah masuk dalam gedung ini, tak boleh keluar dulu sebelum sang adiraja muncul. Aku mencoba untuk melangkah dengan pertanyaan yang terngiang-ngiang di dalam benak. Kepala ku semakin pusing menahan sikutan keras, sindiran bahu berotot, mengapa untuk menuju pintu yang di maksut lelaki tua itu begitu mainnya susah sekali.
Tak jauh aku melangkah setelah mendesak dalam keramaian. Tampak pintu bergagang dua di ujung sana. Begitu besar, begitu mempesona, terhiasi dengan pernak-pernik emas. Oh, ternyata itu pintu yang di maksut lelaki tua tadi. Kelam seketika terbalut dalam rasa. Ini bukan cinta melainkan sebuah petaka. Hati bergejolak berkata bahwa nafsu menggelinding cepat melangkahi amanah serta tanggungan beban.
Ketika aku ingin melangkah lebih dekat lagi, ada beberapa penjaga yang menyeru supaya aku menjauh dari pintu besar itu. Baiklah, kali ini aku mengerti, ternyata para cendikiawan, intelektual, ahli domino, ahli catur, ahli kibul, ahli ngibus, mereka ada di dalam sana. Aku bisa mendengar musik-musik keras yang di lantukan di ruangan itu, bunyi geplek, bunyi pion-pion catur yang di tertawakan. Oh, baiklah. Lebih baik aku mundur saja.
Setelah sekian lama bersenang-senang dalam ruangan pengap ini. Sang pemenang keluar. Dengan dress putih suci bak malaikat. Kulitnya legam kehitaman, ia memakai topi kebanggannya. Semua mata terpana, karena dia menyalurkan kebebasan bagi para kaum cendala. Kali ini aku berdiri pada barisan terdepan, Fokus ku berpaling ke balik pintu yang terbuka, tak peduli oleh pesona adiraja yang memancarkan cahayanya. Ku intip ke balik pintu itu. Sungguh gelap sekali, tak ada sedikit pun sinar dari dalam sana. Gelap pekat, hanya tampak gigi-gigi putih yang bersinar, begitu banyak berjejer nan rapi. Secepat kilat pintu besar itu terkatup rapat lagi, menyembunyikan mitos-mitos yang terdapat di dalamnya. Meninggalkan sebekas rasa penasaran dalam sukma. Aku semakin bingung, apakah mereka semua adalah hantu? Ah, biarlah. Pun sesosok nyata juga telah berdiri tegap tepat di hadapanku.
Adiraja ini terlalu wangi walau ia bukan seorang sarjana ahli. Tepuk tangan seketika bergemurah, siul-siulan berdenging memenuhi ruangan sesak. Sorak-sorai menandakan ini lah pertanda kemenangan yang hakiki. Semuanya mendambakan, semuanya penasaran, isak tangis tampak pada raut wajah sebagian orang. Kulihat pada sekeliling lantai, sampah yang berserak-serakan tadi sudah hilang, kemana larinya. Lantai-lantai telah mengkilap, memancarkan cahaya lampu-lampu pijar.
Ketika adiraja mendeham, seketika seluruh insan dalam ruangan terdiam dalam kehinangan. Hanya lampu pijar yang menyaksikan temu ramah orang-orang dengan sang pemenang kebanggaan-nya.
“Sedari tadi, saya masih menunggu kalian semua agar kebagian makanan, saya tahu bahwa semuanya belum kedapatan bagian. Maka saya tidak mau mengenyangkan diri sebelum terbagi rata segala santapan makanan, sampai detik ini, saya tak akan makan kalau perut kalian masih kosong!”
Sontak, semua orang tertawa bahagia melihat sebuah pertunjukkan konyol hari ini, yang belum kedapatan makanan pun cekikikan sambil ngerocos kesal berbalik pulang. Akupun tersadar ketika melihat sebutir nasi duduk manis di balik kumisnya itu. Ah apa-apaan ini.
Pada kenyataannya, semua orang telah melihat sebuah kebohongan besar itu. Memang tak seberapa, tapi cukuplah meninggalkan bekas luka di setiap perihnya. Ketika sadar mulai berteman setia dengan mereka. Hampalah segala kata kuasa. Sadarlah mereka para cendala yang berhati mulia, untuk tak mengadiraja yang semestinya adalah budak mereka.