FEODAL ACEH DAN KERUNTUHANNYA
Tulisan ini hanya coba menggambarkan secara umum sebab-sebab perkembangan feodal di aceh beserta watak kelasnya hingga penetrasi imperialis Belanda menjadi penentu keberlangsungan feodal di Aceh serta berbagai peristiwa lain yang mempengaruhinya pasca kolonial Belanda dan pendudukan Jepang.
1. Sekilas tentang Feodal Aceh
Pengertian Feodal secara sederhana dapat dijelaskan merupakan suatu yang berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh para aristokrat kerajaan. Artinya suatu pemerintahan yang berdiri di atas legitimasi seorang raja lengkap dengan hak-hak istimewanya yang melekat pada dirinya sejak ia lahir. Walaupun di berbagai dunia, feodalisme lahir bedasarkan waktu dan kebutuhan yang berbeda-beda, tetapi yang menyamakan feodal Aceh dengan feodal lainnya di dunia sebagai suatu kelas adalah pertama, kekuasaanya yang bersifat sentralistik yang biasanya ditegakkan bedasarkan garis keturunan yang dianggap bersifat superior sehingga memungkinkan mereka untuk menegakkan wibawa mereka di depan rakyat mereka yang tujuannya demi keberlangsungan dinasti mereka.
kedua penguasaan ekonomi terpusat. Pelabuhan kerajaan Aceh Darussallam merupakan pelabuhan yang penting di Selat Malaka selain letaknya strategis, pedagang-pedagang muslim lainnya enggan singgah ke Malaka setelah Malaka berhasil dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 karena tingginya cukai dan praktik dagang yang curang diterapkan oleh Portugis, letak strategis Aceh kemudian di dukung oleh komoditi unggulan Aceh yaitu lada dan hasil penjualan lada juga menjadi sumber pemasukan raja serta uleebalang-uleebalangnya, bahkan kerajaan Aceh Darussallam juga tidak segan-segan mengirimkan armada militernya untuk menaklukan-menaklukan wilayah yang kaya akan hasil alamnya atau wilayah yang strategis sebagai pendukung kegiatan perekonomiannya, seperti peperangan yang terjadi antara kerajaan Johor dan Aceh Darussallam dalam memperebutkan Aru yang dimulai sejak masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah Al Kahar, penaklukan-penaklukan wilayah atas semenanjung melayu terus terjadi hingga masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), penaklukan dan peperangan tersebut tetap disebabkan atas alasan yang paling rasional yaitu monopoli ekonomi. KetigaSultan dan Uleebalang sebagai tuan tanah, kekayaan sultan dan uleebalang ditentukan oleh besarnya hasil panen atas komoditi-komoditi unggulan yang sangat laku di pasar internasional, untuk mendapatkan keuntungan yang besar sultan dan uleebalang sangat perlu untuk meguasai tanah, maka terciptalah tuan-tuan tanah yang terdiri dari uleebalang-uleebalang dengan modal legitimasi kekuasaan dari sultan berupa cap sikureng, uleebalang dengan mudah mencari rakyat yang diharuskan untuk bekerja pada tanahnya, sehingga pada akhirnya hubungan antara sultan, uleebalang dan rakyat tidak lebih dari bersifat Patron dan Klien.
Sebenarnya dalam sistem feodalisme Aceh suatu pertentangan kelas telah terjadi yaitu kelas penguasa terdiri atas sultan dan para uleebalang yang menguasai tanah-tanah bedasarkan klaim historis dan hak-hak istimewa mereka dan kelas tertindas yang tidak memiliki apa-apa dan mereka hanya punya tenaga kerja yang disembahkan kepada para Uleebalang, tetapi ini tahap awal sebelum terbentuknya kelas proletar. Kerajaan Aceh tidak bernasib sama dengan kerajaan Perancis, dan Tsar Nicolas Rusia. Revolusi Perancis pada 1879 kelas borjuis Perancis berhasil mengubur Louis XVI beserta sistem feodal Perancis dan lahir lah Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen. Kemudian revolusi sosialis Rusia yang dipimpin oleh Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) 1917 yang berhasil memusnahkan feodal Tsar Nicholas. Namun transformasi struktur masyarakat feodal Aceh ke arah Proletariat tertunda karena tidak ada suatu gerakan demokratisasi yang menghancurkan feodal Aceh dan sebab lainnya adalah Belanda hendak menguasai Aceh, maka memasuki tahun 1873-1903 merupkan klimaks dari progresif feodal Aceh dalam melawan kolonialisme Belanda serta berakhir dengan penghancuran institusi kerajaan Aceh Darussallam dengan tertangkapnya Sultan Muhammad Daud Syah pada tahun 1903, akhirnya kerajaan Aceh tidak hancur oleh gerakan rakyat ke arah demokratisasi melainkan hancur ditangan Belanda. Dalam kurun waktu 1903-1914 Belanda menerapkan kebijakan pasifikasi kebijakan terhadap Aceh dan tetap mempertahankan para uleebalang sebagai penguasa de facto atas wilayah mereka lengkap dengan hak-hak istimewa mereka atas tanah tetapi yang berbeda adalah kali ini majikan mereka adalah imperialis Belanda, sehingga transformasi perubahan masyarakat Aceh untuk menjadi proletar dan perjuangan yang bedasarkan clash of class tidak terjadi, hal ini sangat berbeda di Pulau Jawa, besarnya modal asing dan berkembangnya industri perkebunan khususnya tebu, serta kebutuhan modrenisasi angkutan demi kelancaran sebuah produksi-distribusi melahirkan kelas proletar yang terhimpun dalam serikat buruh maupun petani-petani tertindas. Sehingga untuk perjuangan sosialisme Jawa telah memenuhi sedikitnya beberapa syarat. Sedangkan untuk Aceh para feodal yang sudah kalah menghadapi kolonialisme-imperialisme perlu untuk menghindari kehancuran total kelasnya bersekutu dengan imperialisme. akibat dari semua itu adalah tidak terbentuknya kelas borjuis maupun proletar yang memungkinkan menjadi basis kelas yang jelas untuk menghancurkan struktur feodal di Aceh. Transformasi struktur dan penghancuran sisa sisa feodal Aceh baru terjadi di awal tahun 1946 pasca peristiwa cumbok.
2.Corak Revolusi Sosial di Aceh
Memasuki masa kemerdekaan Republik Indonesia yang diplokamirkan pada 17 Agustus 1945, telah terjadi sebuah revolusi sosial di Aceh, dimulai dengan peristiwa Cumbok yang terjadi sekitar awal januari 1946. Peristiwa Cumbok merupakan pertentangan antara golongan agamawan terdiri dari ulama-ulama reformis dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dipimpin oleh Tgk. Daud Beureuh, Tgk. Abdul Wahab Seulimum dan uleebalang yang terpusat di Pidie dipimpin oleh Teuku Daud Cumbok penyebabnya lebih dikarenakan dendam antar golongan dan kebencian terhadap uleebalang yang terpendam sejak penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Setelah Daud Cumbok berhasil dikalahkan oleh PUSA maka dimulailah revolusi sosial yang merupakan suatu gerakan penghancuran sisa-sisa struktur feodal di Aceh yang pada masa sebelum kemerdekaan masih dipertahankan oleh Belanda dan Jepang untuk mendukung kebijakan kolonial mereka.
Pembersihan terhadap uleebalang tersebut dipimpin oleh organiasi kepemudaan PUSA yaitu Pemuda PUSA yang dipimpin oleh Husin Al-Mujahid, seseorang yang dikenal belakangan hari sebagai pembantai uleebalang-uleebalang di sebagian besar wilayah Aceh.
Namun revolusi sosial ini tidak menciptakan suatu tatanan masyarakat yang demokratis, setelah PUSA berhasil menumbangkan sisa-sisa kekuasaan feodal seluruh jabatan strategis pemerintahan jatuh ke tangan PUSA bahkan Teuku Nyak Arief juga tidak luput dari pengkudetaan oleh PUSA, tidak ada usaha dari PUSA untuk menerapkan kebijakan demokratisasi agraria (landreform) atas tanah-tanah yang ditinggalkan oleh uleebalang yang dibunuh kepada rakyat, justru seluruh tanah peninggalan uleebalang dikelola oleh Madjelis Penimbang yang tidak jelas.
Revolusi sosial di Aceh agak sedikit berbeda dengan revolusi sosial yang terjadi di Pekalongan, atau lebih dikenal dengan Peristiwa Tiga Daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) yang terjadi sekitar November 1945. Peristiwa Tiga Daerah dipimpin oleh gabungan beberapa golongan, seperti golongan Islam, Komunisme, dan Nasionalis. Pangreh praja sebagai kelas yang memimpin wilayah itu pada saat kolonial Belanda dan pendudukan Jepang sangat dibenci oleh rakyat, sehingga setelah proklamasi rakyat mulai menghakimi mereka. Keberhasilan revolusi sosialis di Tiga Daerah (Brebes, Pemalang, Tegal) dengan dibentuknya sebuah badan perjuangan GBP3D (Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah) sebagai badan perjuangan demokratis yang dipimpin oleh beberapa tokoh yang kita kenal seperti K. Mijaya dan Widarta. GBP3D memulai gerakannya dengan menurunkan setiap pangreh praja yang sangat dibenci rakyat kemudian menggantikannya dengan pemimpin yang dipilih oleh rakyat, puncaknya dengan digantikannya residen Pekalongan dari Pangreh Praja. Ketika GBP3D memulai revolusi sosialis gerakan tersebut berhasil dipatahkan oleh pemerintah Republik Indonesia yang tidak membenarkan revolusi sosial berlanjut ke tahap revolusi sosialis.
Perbedaan yang mencolok antara revolusi sosial yang dipelopori oleh PUSA dan GBP3D adalah kemampuan untuk menciptakan suatu gerakan demokratisasi setelah revolusi sosial itu terjadi. PUSA yang memang hanya ingin mengamankan jabatan strategis pemerintahan atas uleebalang karena uleebalang tetap menjadi klien yang baik diera Belanda dan Jepang, hal tersebut tidak akan dibiarkan oleh PUSA terjadi di era Republik, sehingga revolusi sosial PUSA lebih tepat dikatakan sebagai revolusi birokratik. Sedangakan GBP3D merupakan wadah perjuangan rakyat di Pekalongan yang menuntut agar terjadi demokartisasi terhadap jabatan Pangreh Praja yang menindas, dan pemilihan penggantinya tetap dipilih bedasarkan kemauan rakyat, dan ada usaha dari GBP3D untuk melalukan revolusi agraria tetapi GBP3D sudah berhasil dilumpuhkan pemerintah.
Kereen bung
Congratulations @anggaprasetiya! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of upvotes
Click on the badge to view your Board of Honor.
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Do not miss the last announcement from @steemitboard!