SANG ULAMA, PAHLAWAN PERANG SABIL DARI PANTE KULU YANG TERLUPAKAN
Abu Chiek Pante Kulu, Nama lengkap beliau adalah Teungku Chik Haji Muhammad Pante Kulu. Lahir pada tahun 1251 H (1836 M) di desa Pante Kulu, Titeue, Kab. Aceh Pidie. Itulah sebabnya dia digelari sebagai Teungku Chiek Pantee Kulu. Titeu sendiri nama sebuah kecamatan pemekaran dari Kecamatan Keumala.
Secara geografis, titeu berbatasan dengan Kecamatan induknya Keumala di bagian selatan, Kecamatan Lamlo atau disebut juga Kecamatan Sakti di bagian utara dan barat,dan Kecamatan Tiro di bagian timur. Sebagai catatan titeu juga dikenal karena berasnya yang enak dan air yang bersih. Di usia dini Tgk Chiek Pantee Kulu pernah mengecap pendidikan dari ulama Tiro sperti Tgk Haji Chik Muhammad Amin Dayah Cut.
Dasar literatur Melayu Jawi yang pernah dipelajari Muhammad Pantee Kulu di lingkungannya sangat membantu dalam mempercepat proses pendidikannya didayah Tiro (dayah adalah sebutan pesantren dalam bahasa aceh). Konon Teungku Chiek Pantee Kulu pernah mengecap pendidikan di Mekkah. Hal ini bisa dilihat dari dua karya besarnya; Pasukan Gajah dan Sa’id Salmy. Malah disebutkan bahwa hikayat prang sabi dikarang oleh beliau ketika beliau sedang menempuh pelayaran menuju tanah suci di Hijaz. Versi lain menyebutkan bahwa hikayat prang sabi tersebut beliau tulis atas permintaan Teungku Tanoh Abee (Teungku Wahab Tanoh Abee).
Manuskrip asli Hikayat Perang Sabil Secara editorial,Hikayat Perang Sabil sendiri terdiri dari 4 bagian antara lain :
Bagian pertama Hikayat Ainul Mardhiyah,
Bagian kedua hikayat Pasukan Gajah, hikayat Sa’id Salmi, dan yang terakhir hikayat Muhammad Amin (budak yang sudah menjelma hidup kembali).
Zentgraf dalam bukunya “Aceh” (1983) menulis bahwa; pengaruh hikayat perang sabil Teungku Chiek Pantee Kulu sedemikian besar sehingga banyak pemuda dan bahkan pemudi aceh yang melangkah tanpa ragu kemedan tempur melawan melawan Belanda.
Menurut Zentgraf, hikayat perang sabil menjadi momok yang sangat ditakuti oleh Balanda, sehingga siapa saja yang diketahui menyimpan apalagi membaca hikayat perang sabil mereka akan mendapatkan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda, apakah itu berupa pengasingan ke wilayah terpencil atau bentuk hukuman-hukuman yang lain.
Zentgraf membandingkan hikayat perang sabil Teungku Chiek Pantee Kulu dengan karya-karya sastrawan Perancis La Marseillaise dalam masa Revolusi Perancis, dan karya Common Sense dalam masa perang kemerdekaan Amerika. Bedanya, kedua karya sastra itu tidak mampu mempengaruhi massa sebesar pengaruh hikayat perang sabil karya Teungku Chiek Muhammad Pente Kulu.
Ali Hasyimi tokoh intelektual Aceh menilai, hikayat perang sabil karya Chik Pente Kulu dapat disamakan dengan illias dan Odyssea dalam kesusastraan epos karya pujangga Homerus di zaman “Epic Era” Yunani sekitar tahun 700-900 sebelum Masehi. Tidak mengherankan jika kemudian penyair nasional Taufik Ismail mengabadikan legenda hikayat perang sabil karya Tgk. Chik Pante Kulu ini dalam sebuah syair panjangnya berjudul : “Teringat Hamba Pada Syuhada Kita Dihari Kemerdekaan,Musim Haji 1406 H”