Mahar Kehidupan
Ketika akan menikah, pihak mempelai pria wajib menyerahkan mahar kepada pihak mempelai wanita, dan mahar adalah syarat sahnya sebuah pernikahan. Ketika akan membeli sesuatu benda, Anda pun harus menyerahkan mahar yang berupa sejumlah uang, sesuai dengan harganya. Dalam sebuah reaksi kimia, dua buah zat –atau lebih- harus terlebih dahulu memenuhi nilai energi aktivasinya, baru dapat membentuk produk. Jika nilai energi aktivasinya tidak terpenuhi, maka produk pun tidak dapat terbentuk. Lihatlah... ternyata mahar itu berlaku di berbagai bidang, tidak hanya untuk pernikahan saja, karena mahar adalah sebuah proses.
Ketika bayi, Anda belum mampu berjalan. Jangankan untuk berjalan, untuk minum dan makan pun harus dibantu. Semuanya harus dibantu. Setelah mencapai umur setahun –bisa lebih atau kurang, barulah Anda bisa berjalan. Itupun tak serta merta bisa, harus melewati berbagai tahap, mulai dari tengkurap, merangkak dan berjalan selangkah demi selangkah. Ada proses panjang yang harus dilewati sebelum akhirnya bisa. Pun begitu pula dengan hal-hal lainnya. Proses selalu saja ada. Mahar itu harus diserahkan.
Sebelum hujan, ada proses panjang yang harus dilewati: ada proses pemanasan dan penguapan air di lautan, ada proses penyerapan uap-uap airnya oleh awan, ada proses peniupan awan dengan bantuan angin dan selanjutnya, hujan pun terjadi jika awan telah terisi penuh oleh partikel air yang jumlahnya banyak, sangat banyak. Lihatlah! Sekali lagi tak ada kata instan dalam mendapatkan sesuatu. Bahkan, mie instan pun harus dimasak terlebih dahulu sebelum dimakan.
Dalam hal sekolah pun seperti itu juga. Terlebih dahulu memasuki jenjang TK, SD, SMP, SMA, baru bisa kuliah. Tak hanya itu, ada ujian-ujian yang harus dihadapi dan selesaikan saat akan naik kelas dan naik tingkat. Semuanya memerlukan pengujian, layak atau tidaknya. Dalam sekolah pun ternyata ada mahar yang harus dipenuhi.
Dalam kehidupan, ujian-ujian itu pun tetap ada. Tentu saja bentuk ujiannya berbeda dengan ujian saat sekolah, namun tujuannnya tetap sama: menguji apakah kita layak naik kelas atau tidak. Fase hidup pun ternyata berpasangan: ada suka dan duka, ada tawa dan tangis, ada terang dan gelap, ada hujan dan panas, ada musim semi dan musim gugur, dan ada-ada saja :D.
Kebanyakan dari Anda biasanya lebih senang jika mendapatkan fase kehidupan yang indah dan membahagiakan, dan akan kurang menyenangi jika mendapatkan fase hidup yang kurang indah. Pastinya akan lebih banyak yang menyenangi terang, daripada gelap yang bisa membuat takut. Pastinya akan lebih banyak memilih keadaan suka daripada duka. Pastinya akan lebih banyak yang menyukai musim semi yang bertumbuhan banyak bebungaan, daripada musim gugur yang merontokkan semua tanaman. Padahal, jika Anda mau lebih ‘membuka mata’, maka Anda akan mendapati bahwa: semua fase itu akan datang silih berganti, akan dipergilirkan tanpa jeda, akan tetap menghampiri diri kita, walaupun Anda menolaknya.
Gelap memang kadang menakutkan dan tak menyenangkan, padahal jika tidak ada gelap, terang itu kurang terasa indah, biasa saja. Duka memang tak menyenangkan, menguras air mata dan kesabaran, padahal jika tak pernah merasakan duka, pasti suka itu akan terasa biasa saja, tak terlalu indah. Musim gugur memang merontokkan tanaman dan mengotori lingkungan, suasananya kurang indah, padahal jika tak ada musim gugur, pasti musim semi itu tak akan muncul.
Apakah gelap akan selamanya ada? Tidak. Bukankah jika gelap sudah teramat gelap, itu menandakan bahwa akan segera datangnya terang. Apakah fase duka akan selamanya terasa? Tidak. Bukankah jika duka sudah terasa sangat berduka, itu menandakan bahwa akan segera datangnya suka. Apakah musim gugur akan selamanya terjadi? Tidak. Semuanya ada masanya, ada waktunya. Berapa lama? Sebentar saja. Hanya sekejap mata. Hal itu jika Anda tidak terlarut suasana. Tapi, jika Anda melarutkan diri, waktu yang singkat pun akan terasa lama, bahkan sangat lama.
Sejatinya, gelap adalah sebuah mahar untuk bisa merasakan terang. Duka adalah sebuah mahar untuk bisa merasakan suka. Musim gugur adalah sebuah mahar untuk bisa merasakan musim semi. Lihatlah, semuanya memerlukan mahar, memerlukan sebuah harga yang harus dibayarkan. Berapakah harga dari sebuah proses? Tergantung dari Sang Pemberi Prosesnya. Yang jelas, semuanya berpulang pada kadar kemampuan diri kita, yang hanya Dia-lah yang tahu.
Jadi, teruslah berjuang, teruslah berproses, dan teruslah berusaha mengumpulkan mahar-mahar kehidupan. Nanti, saat nilai mahar-maharnya telah terpenuhi, maka Anda akan mendapatkannya, akan menerimanya. Jadi... janganlah takut dan merasa lelah untuk terus berproses dan berjuang.
Sudah kami upvote..