Ruang
(Sumber gambar: https://www.dreamstime.com/)
Aku ingin bercerita tentang ruang. Aku mulai dengan sebuah pertanyaan, apa ruang itu? Sebuah pertanyaan yang seharusnya tidak perlu kau jawab lagi. Aku teringat dengan seorang teman. Tidak! Dia bukan seorang teman, dia sudah satu level di atas teman, tapi masih belum sampai pada batas sahabat.
Aku teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Aih, itulah masa di mana Jogja masih punya kendali untuk terus aku kagumi detak becak di Malioboro, degub bass di trotoar, suara gitar di perempatan. Aku ingat, ketika itu dia pernah menawarkan beberapa tesis tentang makna sahabat, aku masih belum bisa menerima tesis semacam itu.
Bagiku sahabat adalah kata yang tak perlu kita ucapkan, seperti halnya cintalah, barangkali. Untuk mencintai orang tak perlulah banyak membual kata-kata cinta itu sendiri, cukup mencintai saja, itu sudah lebih dari cinta. Tapi perlu aku kabarkan padamu, mencintai dalam diam itu sungguh pedih, Jendral!
Pertanyaanya adalah, apakah kita mampu mencitai dengan pola diam seperti itu? Aih, ini zaman serba sulit, Komandan! Bahkan urusan cinta yang amat privat saja seolah-olah menjadi tidak sah kalau kita belum mengumbar sepaket bentuk kemesraan itu di media sosial.
Temanku bercerita padaku, tentang pemuda yang sedang ling-lung oleh angin asmara. Entah, umur sudah setua itu, aku kira sebutan asmara agak lucu, meski asmara tidak mengenal batas umur, barangkali. Entah apa pula yang mampu aku tangkap dari ceritanya itu, tapi setelah kutatap mata cekungnya, kudengar suara seraknya. Jelas, aku harus berada dalam dirinya.
Ia memintaku membuat puisi, bahkan kasarnya ia menyogokku dengan uang seharga sebungkus tembakau Amerika. Aih, sebenarnya dia tak perlulah melakukan itu. Ya, tapi tetap saja sogokan itu aku terima. Inilah yang dulu sempat ramai mengihiasi kesusastraan nasional. Kuharap kau masih ingat tentang ribut-ribut puisi prabayar, singkatnya semacam inilah proses transaksi puisi prabayar itu.
“Oke” Jawabku, “Tapi, aku sedang tidak suka membuat puisi” Lanjutku. Dia tampaknya mengerti maksudku. “Baiklah, terserah kamu saja. Kau bisa buat puisi yang tidak untuk dimengerti. Carilah diksi yang paling sulit!” Dia menyarankan padaku. Dalam hati aku mengangguk saja. “Kenapa kau memilih puisi?” Aku bertanya. Nanti akan aku beritahu jawabannya.
Perlu aku beritahu padamu, para pembaca, para cangkirkopiku. Temanku itu adalah seorang pemusik, ia amat lihai memainkan gitar, telinganya peka dengan nada, bahkan kalau boleh aku hiperbolis, dia bisa menagkap nada hatimu lalu memainkannya dengan nada yang tak ada celanya. Pesanku, jangan pernah memain-mainkan nada biola cinta yang dalam hatimu itu untuknya. Kau perlu total untuknya, sampai kau memejamkan mata, musik itu tetap naik turun di anak tangga nadanya.
Singkatnya, mungkin begitulah. Aku rasa dia telah menemukan sesorang yang memainkan gitar di dalam hati, lalu agar nada itu tidak sendirian, temanku itu beniat mengiringi. Aih, tapi ini masalah tidak sesederhana manggung di kafe-kafe, ini lebih pelik, Komandan. Nantilah aku ceritakan. Sekarang aku akan bercerita sedikit tetang ceritaku pula, cerita yang menjadi jawaban dari cerita temanku itu.
Aku memiliki teman, dia seorang perempuan, tidak perlu aku gambarkan kecantikannya, pokoknya manusia itu cukup—sampai sangat—baiklah. Aku rasa, sekian hari saja kau berteman dengannya kau akan jatuh cinta, syukurlah kalau-kalau kau masih bisa bangkit, kalau tidak? Itu tandanya aku yang akan sangat menderita. Aku mencitainya dengan segala ketololanku. Kau catat itu.
“Dulu, sebelum kau bertolak ke Jogja. Aku pernah menulis semacam prosa. Aku memimpikan suatu ketika, akan ada orang yang duduk di sini, di bawah lampu jalan, bercerita tanpa ada apapun lagi yang disembunyikan. Persis seperi lampu jalan ini, tidak peduli apakah ia akan menerangi pencopet, pasangan kekasih, atau tukang parkir, tugas lampu jalan adalah menerangi. Sudah begitu saja. Tanggung jawab PLN-lah kalau ada merampas waktu untuk mengecup kuping (seharusnya kening) kekasihnya ketika lampu itu padam lima detik saja. Hahaha” Kataku pada perempuan itu, di alun-alun utara, di depan kraton, di timur beringin kembar.
“Ya, inilah tololnya aku. Bukan tidak bisa aku mengajakmu bercerita di warung kopi, di kafe, tapi dalam tulisanku itu aku sudah terlanjur menulis di sini. Aku mencoba mewujudkan itu saja” Lanjutku. Lalu kami bercerita, sampai rasanya segala kucing dalam tubuh berhenti mencakar-cakar. Namun, tetap saja aku tidak mengatakan padanya “Aku mencintamu” kecuali dalam sebuah perandaian saja. Cinta macam apa itu, Komandan?
“Hanya masalah waktu saja. Nanti kau akan berani. Yakinlah” Ujarnya padaku. Mungkin ada dua puluh kali kalimat itu diulanginya. Sampai aku benar-benar menunggu kapan keberanian itu datang padaku, pada waktu yang tepat. Huss, aku membayangkan; aku mengatakan pada perempuan yang cukup kukagumi itu, “Aku ingin mencintaimu” Duh, aku rasa dia akan menjawab begini “Bagaimana dengan si ini dan si itu?” Aiiis, betapa tololnya. Khhhh.
Singkatnya, ruang imajinasiku telah aku wujudkan satu episode. Entahlah, mungkin aku akan membuat kejutan untuk “Nun” yang sering kusembunyikan dalam puisiku itu, di dalam episode yang lain pula. Aih, aku belum bisa membayangkan kalau dia akan menerimaku. Hanya ada jawaban; diam lalu dia meruntuhkan ruang percakapan. Aiis, aku kasihan pada diriku sendiri, aku sudah menebak mesti perempuan itu akan .... Ya, berakhir seperti cerita ini. Berakhir tanpa sebuah kejelasan, apa yang sedang aku maksud sebagai ruang.
Seingatku, aku pernah menulis puisi begini: siapapun yang telah masuk dalam lingkaranku// tanpa sepengatahuannya// dia akan terus hidup di sana// dengan segala kemolekan// dan segala sikap yang aku sukai// segala sesuatu yang aku benci// segenggam cinta dan dendam// secungkil demam dan resah// sekecup risau//
Baiklah, aku rasa tulisan ini sudah cukup memuakkan. Aku ingin mengakhiri secepatnya. Eh, tapi tiba-tiba aku teringat dengan post-kekasihku, seorang yang cantik, tapi aku tidak mencintainya.
Aku ingat ketika ia bertanya “Apa yang membuatmu mencintaiku. Jujur!” “Memang apa lain, aku suka saja melihat fotomu. Kau cantik. Kita tidak pernah mengenal sikap-sifat-kepribadiankan? Bagaimana kita bisa mencintai?” Jawabku (sepaket dengan pertanyaan), santai. “Bajingan akan tetap bajingan meski di mars, venus, markurius, jupiter” Ia kesal. Pesanku, jangan terlalu jujurlah. Haha.
Tapi begini, sebelumnya aku memang sudah membuat kontrak dengannya, kalau kami tidak akan mencintai dengan kemesraan yang pasaran. Tapi, aku sampai hari ini tidak tahu bagaimana kemesraan yang autentik itu. Mungkin itu pula yang membuat aku diputuskan oleh dia, haha. Aku tidak sedih. Aku malah suka. Berarti jelas sudah, dia tidak bisa mencintaiku setolol aku menyukainya. Haha.
Dulu dia pernah berkata padaku tetang dramaturgi, mungkin sebuah teori. Ya, aku baru tahu—setelah kami tidak lagi bersama dalam satu ikatan, sebuatlah pacaran—itu sebuah teori dari Erving Goffman.
Syukurlah, tidak sia-sia. Ia tidak mengenalku, ia hanya tahu sepercik dialogku di panggung. Bukan, bukan panggung seperti panggung teater. Tapi agak mirip, dalam hidup, dalam berteman, kadang aku suka menghadirkan ruang panggung. Sekiranya di atas panggung aku disuruh memerankan tokoh yang humoris, oke, tidak masalah, maka aku terkesan sebagai seorang humoris. Tapi, kan mereka jarang tahu berapa bedak aku persiapkan di belakang panggung. Singkatnya, begitulah yang aku tanggkap dari dramaturgi yang ia tuturkan itu.
Persis. Tulisan ini adalah panggung. Kau kan tidak pernah tahu kejadian, tragedi apa yang aku terpaksa aku sembunyikan lalu menambalnya dengan berbagai make up sebelum tulisanku ini kau baca. Itulah ruang, singkatnya.
Jangan mengeluh, kalau kau tak punya cukup teman untuk bercerita karena kau tidak cukup pandai membuat citra ceritamu. Aku sedari awal adalah teman untuk diriku sendiri. Aku tidak mengajakmu untuk anti-sosial. Catat itu.
Kau hanya perlu mengerti tantang ruang. Lalu meraung-raunglah kalau kau sudah menemukan ruang yang tepat. Saranku agar jangan kau cari saja melainkan kau minta pada Tuhan untuk menciptakan ruang yang cocok untukmu. Sudah ya? []
NB. Sedikit bocoran, mungkin dalam beberapa waktu ke depan saya coba analis beberapa status Whatsapp, Instagram, Facebook menggunakan teori dramaturgi. Terimakasih mantan, telah menginspirasiku untuk terus berdramaturgi. Aduh, tapi aku takut munafik. Pertanyaanya adalah apakah dramaturgi adalah teori kemunafikan yang ilmiah? Kokokayam. Eh.
Yi Lawe.
Yogyakarta, Ramadhan 2018.
Waaaw keren Muyi 👍🏻