Adat pernikahan Aceh
Pernikahan hakikatnya hanyalah sebuah “lembaga” yang melegalkan hubungan sepasang manusia yang tadinya haram menjadi halal. Dari aspek beragama Islam, pernikahan merupakan anjuran (sunnah) dari Rasulullah SAW, karena pernikahan membuat garis keturunan seseorang menjadi jelas serta dapat menghindarkan manusia dari perbuatan zina yang sangat dilarang oleh agama karena banyak membawa kemudharatan bagi manusia itu sendiri.
Karena Islam tidak memberatkan pemeluknya untuk menjalankan syariah, sehingga semua umat bisa melaksanakannya, termasuk dalam ususan pernikahan. Menurut ajaran Islam, sebuah pernikahan dianggap sah jika memenuhi 3 syarat utama yaitu ada wali, ada saksi dan ada mahar atau mas kawin. Sedangkan dari segi pemerintahan, ditambah dengan satu syarat lagi, yaitu tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama.
Yang kemudian membuat sebuah pernikahan menjadi “berat”, jusru karena hampir semua penduduk di negeri kita masih terikat erat dengan adat dan budaya setempat, karena pernak-pernik adat dalam acara pernikahan itulah yang kemudian membuat sebuah acara pernikahan menjadi sangat ribet dan merepotkan.
Ritual dan prosesi adat yang mengiringi sebuah pernikahan itulah yang membuat di banyak daerah di Indonesia, seakan menjadi “beban” bagi calon pengantin dan keluarganya. Meski secara agama dan pemerintahan, sebuah pernikahan yang sudah terlaksana sesuai syariat dan tercatat pada instansi yang mengususi pernikahan, namun masih banyak kalangan yang menganggap pernikahan itu belum “sempurna” jika tidak disertai dengan menggelar acara adat di daerah tersebut.
Ritual dan prosesi adat itu juga yang kemudian membedakan adat pernikahan satu daerah dengan daerah lainnya, apalagi kita tau bahwa Indonesia memiliki ratusan suku/etnis yang memiliki keragaman dalam adat pernikahan. Keterikatan masyarakat terhadap adat daerahnya, terkadang membuat sebuah acara pernikahan yang mestinya dapat dilaksanakan secara sederhana, kemudian berubah menjadi high cost dan bagi sebagian masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi akan jadi beban yang begitu berat.
Memang bagi sebagian masyarakat kita, terlaksananya acara pernikahan secara adat, merupakan simbol harga diri keluarga, dan wujud kepatuhan terhadap adat setempat, karena bagaimanapun, setiap orang akan merasa tersinggung jika dikatakan “tidak tahu adat”.
Salah satu daerah yang dikenal degan adat pernikahan yang cukup “mahal” adalah Aceh, khususnya di wilayah pesisir yang dominan menjadi domisili warga etnis Aceh. Seperti prosesi yang belum lama ini aku juga terlibat di dalamnya, karena yang menikah kepetulan adalah adik iparku sendiri. Kabupaten Pidie Jaya, dimana keluarga mertuaku bertempat tinggal, merupakan salah satu daerah di Aceh yang masih sangat kental memegang adat perkawinan. Namun sebagai konsekwensi dari keluarga yang tinggal di lingkungan yang masih kokoh memegang adat, mau tidak mau, semau ritual dan prosesi pernikahan itu harus kami ikuti, meski bagi keluarga “biasa” seperti kami, itu lumayan memberatkan dan menyita energi serta dana tentunya.
Dimulai dengan acara meminang atau melamar beberapa bulan yang lalu, sesuai dengan adat setempat, maka segala pernik untuk melamar pun harus kami siapkan, untungnya sekarang sudah banyak penyedia jasa perlengkapan meminang tersebut, tinggal menyerahkan sejumlah uang, kemudian event organizer itulah yang mengurus seuanya, pihak keluarga tingga membawa segala pernik itu ke rumah calon mempelai perempuan untuk melaksanakan prosesi lamaran secara adat, untuk tingkat melamar ini saja, lebih dari 5 jutaan dana yang harus disiapkan keluarga.
Setelah lamaran resmi diterima oleh pihak perempuan, akan dilanjutkan dengan “transaksi” mahar yang harus dipenuhi oleh pihak pria, umumnya dalam bentuk perhiasan emas. Untuk ukuran keluarga “biasa” seperti keluarga mertuaku, pihak perempuan “mematok“ mahar senilai 15 mayam (setara 45 gram) emas, untuk keluarga menengah ke atas, jumlah mahar yang diminta juga bisa berlipat dari jumlah itu.
Bayangkan, untuk mahar saja, pihak keluarga pria harus merogoh kocek lebih dari 20 juta rupiah, karena harga emas saat ini berkisar 450 ribu rupiah. Namun karena itu “tuntutan” adat, ya apa boleh buat, meski terasa berat, kami dari keluarga calon mempelai pria harus menerimanya, apalagi kedua calon mempelai sudah merasa saling cocok dan sepertinya tidak mungkin dipisahkan lagi.
Sebulan setelah acara lamaran, dan sudah ada “deal” antara kedua belah pihak tentang besaran mahar, maka acara berlanjut kepada “legal formal” yaitu akad nikah di Kantor Urusan Agama setempat. Usai akad nikah, sebenarnya kedia mempelai sudah sah menjadi suami istri, baik secara agama maupun pemerintahan. Namun karena ritual adat belum dilaksanakan, maka pernikahan itu seperti masih “tergantung”.
[caption caption="Gambar 2, "Hantaran" Mempelai pria yang nilainya bisa belasan juta rupiah (Doc. FMT)"]
[/caption][caption caption="Gambar 2, "Hantaran" Mempelai pria yang nilainya bisa belasan juta rupiah (Doc. FMT)"]