Ujian Simpati Makhluk Termulia Di Semesta
Setelah sekian lama menanti, akhirnya ujian internasional diselenggarakan kembali. Seluruh manusia di bumi tanpa disadari masuk ke dalam database universitas alam semesta. Di universitas ini, lagi-lagi manusia tidak sadar mengikuti mata kuliah simpati. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah wajib yang harus diselesaikan manusia. Jelas tersirat di dalam kita suci bahwa manusia lebih unggul dari makhluk lainnya, tentunya kalau memang lebih unggul pastinya manusia harus memiliki jiwa yang mulia dibanding makhluk lainnya, karena sesungguhnya tidak ada manusia yang unggul kalau mereka tidak memiliki kemuliaan sedangkan kemuliaan adalah hasil dari penempaan kasih sayang.
Namun pada realitanya, fenomena kasih sayang yang diklaim ada di setiap manusia sangatlah sulit dirasakan bagi dirinya sendiri apalagi bagi sesuatu hal yang ada di sekitarnya. Maka dari itu kasih sayang tersebut akan dapat diperoleh apabila manusia paham bagaamana mengaktifkan rasa kasih sayang tersebut. Untuk itulah maka manusia yang sebelumnya dianalogikan mahasiswa di universitas alam semesta perlu ditempa dengan mata kuliah simpati, oleh karena itu, mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib serta menjadi indikator untuk syarat lulus seorang manusia menjadi manusia unggul.
Simpati merupakan mata kuliah yang paling kompleks. Tujuan mata kuliah ini yaitu agar setiap manusia memahami bagaimana caranya mengontrol kebahagiaan dan juga kesedihan. Selain itu mata kuliah simpati juga bertujuan untuk menempa manusia agar paham makna dari rasa cinta dan kasih sayang, sehingga dapat meletakan dengan tepat kasih sayang tersebut. Mata kuliah simpati, berisi bab pertama cinta, dilanjutkan kerelaan, penderitaan dan kebahagiaan.
Ujian kali ini menggunakan media pembelajaran melalui COVID-19. Terlepas dari semua teori konspirasi tentang COVID 19. Disini saya menekankan pada bagian bagaimana manusia merespon kejadian COVID-19 sehingga memicu para manusia untuk saling bersimpati antar satu sama lain.
Masyarakat dunia serentak melakukan karantina bahkan isolasi diri sebagai upaya memutus virus covid19. Ini merupakan ujian pertama yang menguji pemahaman manusia tentang simpati terutama tentang cinta. Isolasi diri bertujuan untuk melakukan kegiatan preventif dalam pemutusan rantai penyebaran COVID-19 dengan tidak melakukan aktifitas di luar rumah dan mengurangi interaksi sosial. Disini jelas yang diisolasi hanya ragawi bukanlah rohani. Rohani manusia salah satunya terdiri dari rasa simpati itu sendiri. Manusia yang disiplin menjalankan isolasi akan diuji oleh manusia yang tidak disiplin menjalankan isolasi ini. Begitu juga dengan manusia yang tidak disiplin dalam menjalankan anjuran preventif COVID-19 juga akan diuji oleh yang disiplin melakukan aktifitas preventif.
Rohani manusia yang terdiri dari akal, pikiran dan hati akan diuji keandalannya. semua komponen rohani tersebut apabila diseimbangkan oleh cinta maka lancarlah usaha untuk lulus dari ujian ini. Sebaliknya apabila unsur rohani dikendalikan oleh nafsu angkara maka sulitlah untuk lulus dari ujian ini.
Manusia yang lulus ujian ini harus mampu menalar fenomena pandemi ini, Hal ini untuk menempa manusia agar tidak pragmatis dalam menyimpulkan sesuatu, seperti yang disiplin protokol itu mulia dan yang tidak disiplin protokol itu tidak mulia. Nalar ini harus disusun dengan cermat, tepat dan kritis untuk memahami apa alasan seseorang itu disiplin dan memahami mengapa seseorang tersebut tidak disiplin. Begitu juga untuk mengamati fenomena lain yang terkait pandemi ini. Tentunya diperlukan kesabaran dalam berpikir dari apa yang telah ditangkap inderawi kita. Mengingat manusia memiliki pola pemahaman yang berbeda. Sehingga dalam menyikapi perbedan tersebut manusia perlu mendahulukan cinta daripada prasangka buruk agar mau bersabar untuk berpikir secara tepat dan seimbang.
Cinta adalah alat yang dapat mengendalikan sifat hewani yang bersemayam di tubuh manusia. Besar kecilnya kuasa nafsu hewani pada diri manusia, tergantung pada seberapa sering manusia memberikan makan nafsu hewani tersebut. Nafsu ini perlu di reduksi agar keberadaannya agar tidak mampu memperdaya nalar, sikap mengendalikan diri ketika merespon sebuah fenomena. Nafsu hewani memperdaya manusia dengan terus menerus untuk berpikir pragmatis, sempit dan berprasangka buruk. Apabila prasangka buruk yang diutamakan maka premis yang muncul hanya ketakutan berlebihan yang memicu pada sifat bodo amat, bukan urusan gue. Fenomena yang rumit seperti di masa pandemi saat ini, apabila tidak hati-hati dan tenang dalam menyikapi situasi rumit ini, maka bukan hanya akan memicu masalah kesehatan namun akan merembet ke masalah krusial lainnya.
Untuk itu diperlukan cinta yang mana merupakan bahan bakar utama kasih sayang yang dapat menghasilkan premis-premis prasangka baik ketika mengobservasi/justifikasi fenomena pandemi ini. Maka dari itu sebelum kita justifikasi seseorang ataupun situasi diperlukan cara berpikir yang seimbang.
Bagi pribadi yang disiplin menjalani protokol. Seyogyanya sebelum menghakimi pribadi yang acuh dengan protokol kesehatan, utamakanlah untuk berpikir kritis dalam memahami kenapa alasan seseorang tersebut tidak disiplin, cobalah untuk mencari dan bertanya kepada diri sendiri serta memilah jawaban yang dihasilkan dari penalaran yang dilakukan, Apa alasannya, apakah karena kebutuhan yang mendesak atau tidak mendesak. Contohnya bagaimana pasar sampai sekarang mengapa masih ramai, hal ini tentu dikarenakan hal yang kompleks, salah satunya yaitu karena pelaku pasar terikat nafkahnya dari aktivitas jual beli. Serta primernya fungsi pasar sebagai roda perekonomian yang berujung kepada keberlangsungan hidup individu manusia hingga sebuah komunal.
Sedangkan bagi pribadi yang tidak disiplin terhadap protokol alasan, pahami, bagaimana fungsi protokoler tersebut di lingkungan setempat. Apakah penerapan protokol kesehatan tersebut membuat situasi di lingkungan kondusif atau tidak. Jangan pula merasa dihakimi ketika dihimbau untuk mengikuti protokol kesehatan apalagi melakukan tindakan penolakan secara gamblang bahkan secara ekstrem membantahnya,
Sintesis yang dirumuskan sebagai upaya pemutusan rantai penyebaran pandemi ini. Manusia juga diberikan mata kuliah tentang kerelaan. Apakah manusia rela untuk bertindak untuk kepentingan bersama atau malah mengambil kesempatan ini untuk meraup pundi-pundi harta yang berujung kepada penindasan dengan melakukan monopoli. Faktanya ternyata banyak manusia yang tidak lolos di ujian ini. Sisi humanisme mereka kesampingkan demi keuntungan finansal yang bersifat sementara dan logikanya apabila hal ini terus dipertahankan akan menambah masalah semakin parah dan akhirnya harta yang diperoleh tidak lagi bernilai lagi. Parahnya lagi alat preventif ini yang merupakan ujung tombak bagi tenaga kesehatan dalam mengatasi COVID-19 tidak tersedia dengan cukup, Hal ini terjadi seragama di setiap negara dibelahan dunia, baik itu dinegara maju maupun negara yang keterbelakangan, semua mengalami krisis alat preventif akibat tidak adanya sifat kerelaan.
Kemudian masuk ke ujian penderitaan. Manusia yang memiliki kecukupan dalam hidupnya. Ada penderitaan yang terwujud dengan sendirinya dan adapula penderitaan yang diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Penderitaan yang terwujud sendirinya dominan dialami oleh pelaku kerja dibidang swasta mereka dipaksa untuk menderita demi mempertahankan karyawannya agar terus dikontrak, walaupun ditengah gelombang resesi ekonomi. Sedangkan penderitaan yang terwujud dikarenakan manusia itu sendiri yaitu, para pekerja pemerintahan yang gajinya dijamin negara tiap bulannya untuk bersimpati dengan orang-orang sekitarnya yang memerlukan bantuan dari gaji yang dia dapatkan. Baik itu pelaku kerja swasta dan pemerintahan semua memerlukan ujian penderitaan untuk lulus di ujian ini. Sebenarnya penderitaan tersebut tidaklah fatal hanya diminta untuk bersimpati dengan mencintai sesama manusia untuk mencambuk nafsu hedonisme manusia agar rela membantu sesama dengan memberikan bantuan terbaiknya dalam merespon COVID-19.
Lalu masuk ke ujian kebahagiaan. Kebahagiaan yang selama ini diperoleh baik itu bersifat ragawi dan rohani akan diuji apakah sanggup manusia itu melepaskannya. Kebahagiaan ragawi dibentuk unsur materialistis seperti pendapatan, pemenuhan kebutuhan primer hingga tersier. Mereka yang memiliki kelebihan akan diuji untuk rela tidak bahagia dulu dengan cara tidak memborong kebutuhan pangan, menyisihkan gaji, membatalkan rencana-rencana kesenangan untuk bersimpati dengan manusia lainnya yang tidak bahagia dalam menghadapi COVID-19. Lalu kebahagiaan rohani dimana manusia sekarang diminta untuk tidak melakukan ritual di tempat ibadah, hal ini tentu akan membuat manusia yang bahagia melakukan ritual di tempat ibadah tidak merasakan lagi nikmatnya ibadah di tempat ibadah. Selain itu juga bagi perantau diminta puasa untuk tidak pulang kampung untuk berkumpul dengan keluarga.
Manusia merupakan makhluk paling mulia, begitulah agama menjelaskan. Masa COVID-19 meunjukkan bahwa tidak semua manusia yang mulia. Dominan orang-orang melakukan preventif dengan paradigma agar tidak terinfeksi COVID-19 bukan paradigma agar tidak menyebarkan COVID-19. Disinilah muncul ego dan rasa benci kepada satu sama lain. Kecurigaan telah melunturkan personal branding manusia sebagai makhluk mulia. Manusia ternyata bersifat memikirkan diri sendiri, keselamatan sendiri tanpa memikirkan keselamatan manusia lainnya, tentunya tidak semua manusia namun dominasi manusia terbukti sangat egoisme.
Mari bersama kita pupuk sifat dasar manusia yaitu simpati. Dengan simpati maka kita akan mampu melewati masa panceklik ini dengan baik. Kita berpuasa untuk kemahsalatan bersama. Berpikirlah yang jernih dalam mersepon masa panceklik ini. Dahulukan mengkritik diri sendiri, prasangka baik lah dengan sesama. Bukan berarti yang terinfeksi COVID-19 orang yang celaka dan belum tentu pula yang tidak terinfeksi merupakan manusia yang mulia. Jadikan ini sebagai wahana untuk kita memperbaiki diri dan mengevaluasi tatanan sosial dan tatanan ekonomi saat ini. Bukankah dengan adanya COVID-19 ini kita dapat melihat jelas bahwa kesehatan lebih utama dibanding kemewahan, lalu bukankah kebutuhan pangan lebih utama dari kemewahan. Renungkanlah, agar kita dapat mendapatkan makna kemuliaan dibalik kejadian COVID-19 ini. Mari respon dengan cinta dan kasih sayang. Bersimpatilah dengan segala yang ada di sekitar tangkapan indrawi. Simpatilah yang akan menjadi alat bagi manusia untuk melanjutkan keberadaannya.