Makan Garam dan Minum Laut
(sumber gambar: rebanas.com)
Kata Abang saya, Yus, kerbau itu lahir dari keringat. Saya membantahlah, tapi tidak sempat bersuara, padahal mulut saya sudah terbuka, dia sudah melanjutkan; untuk berkeringat pula, katanya. Entah kenapa demikian, saya tidak tahu. Sebagaimana layaknya kanak-kanak, maka tidak boleh membantah meski bisa, sayalah yang harus percaya pada kata dia. Sekiranyalah saya bantah di depannya waktu itu juga, jelaslah tersungkur martabat pemuda itu.
“Lahmak, kan duluan saya makan garam dari kamu” katanya, kalau-kalau saya membantah apa yang ia katakan. Sambil mengigit pangkal tembakau gulung lalu menghembuskan ke udara, bertambahlah sudah wibawanya, semakin memantapkan pula apa yang ia katakan. Memang, beberapa teman-teman saya percaya itu hembusan; dengan asap yang bisa melipat dari mulut ke lubang hidung sebelum menabrak awang-awang, sudah disepakati masyarakat kampung setempat sebagai tanda seseorang sudah boleh membual cerita di depan kanak-kanak seperti saya. Itu terdapat dalam buku aturan desa, pada bagian terakhir sebagai sesuatu yang tidak tercatat tapi dianggap ada.
Suatu hari, Ayah saya membawa saya ke kota. “Di sana banyak laut” Kata Ayah saya. Dan memang, sudah lama Ayah saya menjanjikan pada saya, akan membawa saya untuk melihat laut. Itu artinya saya bisa minum airnya sepuas saya, jika sudah minum air laut barang satu gayung saja, tentu saya sudah bisa berdebat dengan Bang Yus. “Kau kan baru makan garam, saya sudah minum air laut, sumber segala garam yang kau makan” Saya ingin katakan itu pada Bang Yus. Tentulah akan tertutup mulut pemuda itu, kelu lidahnya, kaku badannya. Memang dia bisa membatah apa lagi?
Suatu pagi di hari minggu, saya berangkat ke rumah Bang Yus. Seperti minggu-minggu biasanya, untuk mendengar cerita-cerita konyolnya itu. Tapi kali ini saya sudah mantap, saya sudah bisalah. Ketika saya pergi dengan Ayah ke kota kemarin, saya sudah puas minum air laut, meski sangat asin, tapi demi bisa berdebat dengan Bang Yus, saya rela minum satu gayung, tanpa sepengetahuan Ayah saya tapi. Dengan bergegas, bersemangat, saya hampir sampai di rumah Bang Yus. Saya sudah bisa mencium aroma satu cangkir kopi dan satu cangkir air gula.
Sebenarnya saya mau minta kopi saja, tapi kata Bang Yus, anak-anak tidak boleh minum kopi. Begitulah Bang Yus, katanya juga itu tanda yang lain kalau seseorang sudah dewasa. Maka alasan inilah yang sulit nantinya, semoga dia tidak ingat, dan tidak pula menyinggung kalau-kalau saya masih tahap minum air gula, sehingga posisi saya selalu tidak boleh bercerita, selain mendengarkan cerita-cerita konyolnya itu saja.
“Eh, panglima sudah datang” kata Bang Yus, ketika melihat saya tepat di depan pagar rumahnya. “Masuk panglima” lanjutnya. Saya dipanggilnya panglima karena kakek saya memanggil saya panglima, ceritanya panjang kenapa saya bisa dipanggil panglima. Singkatnya, kerena kakek saya punya pendengaran sudah sulit, dia punya mata sudah rabun. Ketika Ibu saya mengatakan “Namanya Muin, Ayah” tapi yang didengar kakek saya adalah Muis. Tidak kehabisan akal, ibu saya menulis di kertas, tapi karena kakek saya rabun akut, sampai tulisan sebesar kaki gajah itupun sulit pulalah dibacanya. “halah, panglima sajalah” Kata kakek saya. Itu menurut Ibu saya, tentu Bang Yus tidak boleh membantah, mau kualat dia sama Ibu saya, bibi kontannya.
“Bang. Aku sudah minum air laut, kamu pernah?” kata saya tanpa basabasi, Bang Yus terkejut, alisnya diangkat. Jelas sudah saya menang hari itu, inilah waktunya saya sudah boleh minum kopi pula, fikir saya dalam hati. Mata Bang Yus sedikit melebar, bibirnya gemaletar, yakianlah saya pasti dia tidak bisa menjawab, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Maka kemenaganlah bagi saya, saya kira.
“Kamu minum air laut, sungguh?” tanya Bang Yus. Dengan menyungging bibir, menyilang tangan, mengangkat bahu, saya donggakkan saya puya dagu sambil bilang “iya, kau ngak pernah kan?”. Eh, malah Bang Yus tertawa terpingkal, sampai kering giginya, sampai tetes matanya, sampai kocok perutnya sambil memukul-mukul pundak saya.“Alahai, panglima, panglima” dia lanjut tertawa.
Saya bingunglah, kenapa dia tertawa. Tapi saya tidak tanyapun, Bang Yus sudah menjawab. “Aduh, aduh aduh. Sekarang berceritalah” katanya pada saya, dia masih menahan tawa. Wah, kesempatan emaslah, inilah yang saya tunggu-tunggu. Langsung saya hantamkan cerita-cerita kemarin, ketika saya minum air laut, sampai saya muntah beberapa kali, sampai saya, pokonya macamlah, hari minggu itu jadi hari cerita saya, dan Bang Yus hanya tertawa.
“Hehehe...” Bang Yus masih tertawa, sedikit reda, lalu seperti biasa, tapi ini lebih serius. “Aku menyelam dalam air garam, lama. Merambah dalam hutan-hutan asam, lama. Tapi belum sampai ke lautan gula, sudah pulang. Kau akan, harus ke sana” Kata Bang Yus, lalu berakhirlah minggu pagi.
“Kerbau lahir dari keringat, untuk berkeringat, tapi sering hilang diingat. Burung lahir dari sayap untuk terbang, sering masuk di tembang” lanjutnya. Dan setelah itu, tidak pernah ada lagi. Hanya kenangan. Bahkan sebelum sempat aku menceritakan lautan gula padanya, dia sudah di negeri yang manis, lebih dari sekedar lautan gula segala gula.
Yi Lawe.
Yogyakarta, 2018.
Hak dek Muhyiiiii, jumpa disini kitaa😄
Semangat menuliisss💪
Aiik kak fitri.. 😀 Hehe. Iya kakak.