OOOH
karya: Nizam Al-Kahfi PKB
Aku ketemu Selmah di tempat pembuangan sampah. Ia tampak seperti orang sakit, mukanya kering. Hampir-hampir saja aku tidak mengenalinya kalau bukan karena tahi lalat di kening kiri, juga ia berpakaian warna biru muda - warna kesukaannya. Melihat aku, ia senyum. Senyumnya tidak berubah; senyum seperti tidak jadi senyum.
"Nizam," katanya tanpa basa-basi, "kau semakin gemuk, kayaknya hidupmu sejahtera."
Tujuh tahun tidak ketemu, ia masih bisa mengenaliku. Pastinya aku tidak banyak berubah kecuali berat badan.
Ia menghalau lalat-lalat yang coba hinggap di pipinya dengan mengibar-ngibar tapak tangannya beberapa kali. Sebahagian rambutnya terjurai menutup mukanya yang cengkung.
"Kau tampak kurus," kataku. "Apa kau sakit?"
"Oh," katanya. "Aku sehat-sehat saja."
Mungkin ia mahu menyembunyikan masalah kesehatannya. Aku bertanya tentang Luthfi, pacarnya saat kami sama-sama kuliah dulu. Apa kabarnya dia? Luthfi kawan baikku juga, tapi selesai wisuda kami berpisah mencari haluan masing-masing.
"Dia sudah meninggal," kata Selmah.
"Oh, maafkan aku." Aku jadi serba salah. "Innalillahi wa inna ilayahi rojiun."
"Iya, ga apa-apa," kata Selmah. "Moga rohnya dirahmati Allah."
"Amin," sahutku. Aku tidak ingin melanjutkan bicara tentang orang yang sudah mati, tapi Selmah meneruskan.
"Luthfi mati ditabrak trak, di depan mataku," lanjutnya. "Ini berlaku lima tahun lalu."
Lima tahun itu sudah lama, tapi ia masih menyimpan peristiwa itu di dalam ingatannya, seolah-olah tidak mahu melupakannya. Aku diam saja mendengarkan - tidak tahu bagaimana mau merespond. Akhirnya aku membiarkan ia bicara. Mungkin saja ini cara ia curhat.
"Dia lagi nyeberang jalan mau beli duren. Tubuhnya terbanting keras ke tumpukan duren di tepi jalan," katanya.
"Sudahlah," kataku. "Ga usah dikenang. Moga-moga saja rohnya aman di alam barzah sana."
"Iya," katanya perlahan.
Aku pamit dengan alasan yang baru kureka.
"Senang sekali bisa ketemu denganmu, Nizam," katanya dengan senyuman yang seperti tidak jadi. "Kirim salam sama istrinya, yah."
"Aku masih lajang," kataku.
"Oh."
Malam itu aku jalan-jalan santai di kota yang sudah tujuh tahun kutinggalkan ini. Aku telah berjanji hanya akan kembali ke sini setelah menjadi orang. Tidak banyak perubahannya, warung kesukaanku masih ada. Aku ke sana memesan mie bakso kegemaranku. Pak Somad dan istrinya, Bu Yati, meski sudah tua masih bisa mengenaliku.
Di warung ini siapa yang kutemukan kalau bukan Luthfi. Ia bersama istri - wanita yang tidak kukenal, dan dua orang anak yang masih SD. Aku kaget besar melihat keberadaannya.
"Kau seperti kenampakan Setan Genderuwo saja," kata Luthfi. Ia ketawa kecil.
"Aku pikir kau sudah mati," kataku.
"Oh," kata istrinya.
Aku menahan diri dari bercerita tentang pertemuanku dengan Selmah di tempat pembuangan sampah.
Siang esoknya, seperti yang kujangkakan, aku ketemu Selmah di tempat pembuangan sampah. Ia masih berpakaian kemarin. Melihat aku datang ia segera mendekat dan meminta maaf karena telah berbohong.
"Luthfi gak mati ketabrak trak," katanya. "Ia mati gantung bunuh diri. Kasian dia, masuk neraka jahanam."
Aku meraih tangannya, memimpinnya menuju ke mobilku. Terasa betapa kurus dan ringannya tangan itu, seperti benda yang rapuh.
"Ikut aku, pulang," kataku tegas. Ia menurut saja. Aku tidak tahu pulang ke mana, dan tidak tahu apa yang harus dibuat, tapi aku tidak tega membiarkannya terus membuang diri di tempat pembuangan sampah itu. Aku harap aku masih ingat di mana rumahnya. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya - apakah ia masih punya kerabat di kota ini. Tidak sampai sepuluh menit di dalam mobilku yang berhawa dingin, ia tertidur pulas, sepertinya ia lelah amat, seperti sudah lama tidak tidur.
"Oooh," igaunya mendalam, hampir-hampir tidak kedengaran. Entah, apa lagi yang dikenangnya.
Kemudian ia kembali tidur tenang.
© cerita-secangkir-kopi-nak11022018
Lanjutkan. Kami menunggu cerita sepiring nasi.. hehehe..salam kenal