AKU, ISTRIKU, dan TETANGGA

in #cermin7 years ago (edited)

karya: Nizam Al-Kahfi PKB
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍
Aku buat-buat tidak tahu ketika tetanggaku membeli tv flat-screen LCD-HD 47" . Ia pastinya ingin pamer. Kadang-kadang ia datang ke rumahku ngobrol pada waktu petang, tidak habis-habis berbicara tentang tv layar lebar barunya itu. Katanya, dulu tv 29" itu terasa sangat besar tapi sekarang sudah tampak kecil seperti semut. Tv-ku masih tv lama 29". Aku berasa tersindir. Sesekali ia mengundang aku ke rumahnya untuk melihat tv-nya itu. Istriku mulai mendesak supaya aku membeli tv seperti tetanggaku itu. Kataku bersabar sajalah dulu, kita tunggu model terbaru, dan nanti kita beli tv yang lebih besar dari ia.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍Ketika saatnya, aku pun membeli sebuah SMART Tv 3D LED dengan layar 55". Aku tidak ingin menceritakan hal ini kepada tetangga itu. Aku bukan tipe manusia yang suka pamer, ia sendiri yang datang ke rumah. Apabila melihat ia datang ke mari, aku cepat-cepat memutar filem blue-ray 'Avatar' dalam 3D, mem-fast-forward sehingga tampak seperti aku sudah setengah jam menontonnya. Tentu tanpa memakai kaca mata 3D yang disediakan gambarnya tampak seperti berlapis-lapis dan tidak jelas.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍"Tv besar," kata tetanggaku itu. "Baru beli ya, tapi sudah rusak gambarnya. Tv buatan Korea memang ga baik."
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍Tv ini dilengkapi dengan tujuh buah kacamata 3D dengan gratis. Aku pun mengunjuk sebuah untuk dipakainya. Ia memakai kacamata itu, dan jelas air mukanya berubah. Isteriku keluar menyajikan minuman petang.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍"Bawa-bawalah juga istri dan anak dara ke mari," kata isteriku bermanis muka. "Sama-sama kita nonton film in 3D."
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍Tetanggaku itu pulang dengan mood kurang baik. Sepanjang enam bulan mendatang ia mulai membeli peralatan-peralatan rumah yang baru yang semuanya bersais besar: kulkas, microwave oven, mesin penyuci pakaian otomatis penuh, furnitur, karpet, dan entah apa lagi yang kami tidak tampak. Aku tidak mau kalah, dan ternyata istriku juga tidak mau kalah. Kami membuat penambahan pada rumah kami, aku membuka sebuah toko mejual keperluan harian. Kebetulan juga aku dan istri adalah Manajer Emas bagi satu bisnis multilevel, dan di sinilah kami menambah stok produk-produk yang kami jual. Di sinilah juga aku memberi ceramah motivasi dan demo produk-produk baru kepada downline-ku. Tetanggaku pun membuat penambahan pada rumahnya, dan ia membuka sebuah warung makan. Aku membeli sebuah mobil besar; ia membeli sebuah mobil sport. Ia sudah tidak datang-datang lagi ke rumahku.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍Buat selama lima bulan mendatang tidak ada kegiatan persaingan antara kami berdua. Penghabisan sekali aku membelikan istriku sebuah mobil baru. Tetanggaku itu menyepi saja. Kemudian aku menerima kartu undangan pernikahan darinya. Ia tidak punya anak selain seorang anak perempuan yang baru berumur empat belas tahun. Ini sudah melampau, anak itu masih ingusan untuk menikah. Timbul rasaku untuk memprotes kepadanya. Meskipun aku rindu mau bersaing, kali ini kami mengalah saja, tidaklah aku tega hendak menikahkan anakku yang baru berusia sembilan tahun. Asumsi kami ternyata menyimpang pula. Bukan anaknya yang hendak menikah, tetapi tetanggaku itu sendiri.
‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍‍‍ ‍‍ ‍‍‍‍Aku memandang istriku. Ia membelalakkan matanya sebelum aku sempat berbicara apa-apa.

© cerita-secangkir-kopi-pkb19022012-edisi-revisi-nak01032017

Sort:  

Ada apa dengan aku, istriku dan tetanggaku?

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.24
JST 0.036
BTC 94781.20
ETH 3263.66
USDT 1.00
SBD 3.08