Mad Banu (Part III)
(Sumber gambar: google.com)
Hanya sorang-dua orang pemuda tolollah yang sedikit menghore dalam hatinya, karena tidak ada lagi Mad Banu yang suka menggagalkan aksi kriminil kecil-kecilan mereka, semacam mencuri mangga muda, kelapa muda, tebu, jagung, setandan-dua tandan sawit.
“Aku kira dia bakal mati” Ujar seseorang, setelah sekian bulan dari kunjugan beramai-ramai itu.
“Iya, aku juga. Tapi cukup keras juga nyawa manusia itu” Sambung yang satunya. Singkatnya semua orang di desa semacam kecewa karena Mad Banu gagal mati. Kebun jati yang luas, rumah yang besar dan segala isinya yang antik tidak jadi mereka warisi.
Nyaris, bahkan memang tidak ada yang berniat mewarisi ilmu dan kesantunan Mad Banu.
Suatu malam tanpa mengundang Mad Banu, kepala desa mengadakan rapat desa. Tidak lain tidak bukan tujuannya adalah untuk membahas harta-harta Mad Banu. Nyaris tidak ada yang berfikir jernih, semua mereka ingin menguasai. Rapat itu tidak menemukan titik, akhirnya dibubarkan, disambung esok malam.
Setiap malam orang-orang beramai-ramai ke rumah kepala desa. Tapi masih belum jelas keputusan apa yang paling bijak, selain menjual semuanya lalu uangnya dibagikan per kepala.
Mad Banu menyadari itu. “Aih, sudah diberi pisang minta dikupaskan kulitnya. Sudah dikupaskan, minta disulangkan pula” Mad Banu menggerutu dalam hatinya. Mungkin itu pulalah yang membuat Mad Banu belum meninggal-meningal, karena jika dia meninggal tentu bisa kacaulah desa itu.
Satu malam tanpa disadari orang-orang kampung, Mad Banu menguping. Tidak ada solusi yang ia temukan, semua orang mengikuti kepalanya masing-masing. Ah, tanda-tanda kekacauan sudah sedikit tercium. Setiap rapat mengahsilkan suhu panas. Ada yang mulai menyelipkan belati, untuk berjaga-jaga kalau keadaan benar-benar tidak terkendali.
“Aku sudah sangat tua. Aku ingin mati tenang. Tidak meninggalkan kekacauan. Cobalah kau fikirkan kebijakan yang tepat!” Suatu malam Mad Banu mengundang perangkat desa ke rumahnya. Semua mereka hanya menutup muka, menyadari betapa memalukannya yang mereka lakukan.
“Maafkan kami, Tuan Guru. Ludahilah kepala kami ini” Ujar kepala desa.
“Aiissh. Apa gunanya? Saya baru akan mati kalau kalian sudah punya solusi” tutup Mad Banu.
Pagi-pagi ketika kepala desa memenuhi undangan Mad Banu. Kepala desa terkejut ketika menemukan Mad Banu sudah tidak bergerak. Jelas sudah, Mad Banu mati duduk di atas kursi jatinya, di depan buku yang dibacanya, di depan cangkir kopinya, di depan jendela yang terbuka. Tua malang meracuni dirinya sendiri, batin kepala desa.
Lalu ia cepat-cepat pulang. Kematian Mad Banu itu membuat kepala desa cemas. Ia takut, kalau-kalau ia dituduh orang-orang kampung telah membunuh Mad Banu. Kepala desa dengan takut-takut memberi tahu kabar itu. Awalnya ke keluarganya, lalu ke temannya, lalu tanpa terbendung berita kematian Mad Banu secepat kilat diketahui khalayak umum.
Orang-orang kampung mengira bahwa kepala desa itulah yang telah membunuh Mad Banu. Dan, sekarang orang beramai-ramai menghakimi Badu si kepala desa. Tanpa ampun, Badu diseret beramai-ramai. Lalu diikat di pohon. Dipukuli, ada yang menendang perutnya, menjewer telinganya, menggigit hidungnya, berbagai macam jenis penyiksaan ringan sudah dilancarkan pada tubuh Badu yang begitu, ya kering, tak berisi. Puncaknya ada yang mengusulkan agar diabakar saja.
Kegaduhan itu membuat Mad Banu terbangun. Ternyata Mad Banu hanya tertidur karena sudah tidak kuat menahan kantuknya, setelah dua hari dua malam penuh ia tidak tidur memikirkan apa solusi yang bisa ia tawarkan untuk mengurusi harta peninggalannya itu. Aih, betapa terkejutnya Mad Banu mendapati Badu si kepala desa sudah bonyok. Siap-siap dibakar.
“Aiii. Aiii. Ada apa ini?” Kata Mad Banu. Kerumunan itu menjadi hening. Orang-orang kebingungan.
“Bahkan jika aku benar-benar mati. Entahlah, entalah, apakah kalian masih punya kesejukan fikiran untuk memandikanku. Kesucian batin untuk mengafaniku. Ketulusan niat untuk menyalatkanku. Keringanan langkah untuk menguburkanku. Aiih, malah kalian lebih suka membunuh orang. Mau jadi apa kampung kita ini?” Kata Mad Banu pada khalayak. Suaranya parau, dengan sedikit tersendat, air mukanya yang dalam kesedihan yang serius. Aiii, aiii. Sabarlah, Mad Banu.
Orang-orang kampung termasuk si Badu yang bonyok, khusuk terhenyuk mendengarkan keluh kesah Mad Banu itu. Beberapa orang mulai berlinang air matanya, mulai tersentuh hatinya.
Ke esokan harinya orang-orang kampung sudah ada lah perubahannya sedikit. Setidaknya, kematian Mad Banu yang karenanya bisa mendapat bagian harta tidak pernah lagi menjadi semacam cita-cita kolektif.
Aih, betapa mengerikan semua orang dalam satu kampung secara tidak sadar sedang mengingikan kematian seorang Mad Banu. Ampunilah. Aku tidak bisa membayangkan rapat-rapat desa membahas harta warisannya disiarkan secara terbuka.
Walaupunlah negara kita adalah negara demokrasi. Aiii, aiii, janganlah mengharapkan kematian satu manusia degelar secara terbuka. Jangankan terbuka, mengharap kematian orang dalam hati sekalipun tak baik. Sekiranya hal itu dianggap sebagai pesan tersirat dari Mad Banu, kurasa cukuplah demokrasi keterwakilan saja.
Apa perangkat desa—sebutlah beberapa ketua lorong, lalu dusun, wakil pemuda, remaja yang dianggap mewakili (bila memang perlu)—berkumpul berumbuk, masih tidak cukup? Eh, tapi itu pernah dilakukan, tetap saja masih dengan keegoan masing-masing, jika tidak perorangan, ya semacam ada kubu-kubu begitulah.
Syukurlah, akan kematian Mad Banu tidak pernah lagi menjadi perbicangan orang-orang. Setidaknya, orang-orang kampung itu sudah mulai kembali ke rutinitas warasnya; merawat kebun, bertukang, memangkas. Bocah-bocah yang sering diliburkan secara kondisional itu kembali mengaji, karena guru-guru mengaji mereka tidak lagi sibuk ikut nimbrung dalam rapat-rapat konyol di rumah kepala desa itu.
Husss. Kalaulah aku ceritakan betapa warga antusias mendengarkan rapat-rapat desa itu. Kau bayangkanlah, rumah kepala desa penuh, halamannya sesak.
“Pak, esok malam kalau ada rapat lagi, bagaimana kalau pakai toa” Kata seseorang, mengusul. Nah ada kau dengar itu? Mengerikan, bukan? Untunglah kalau listrik masih masalah besar pula di kampung itu. Akhirnya usulan memakai pengeras suara itu hanya sekedar wacana.
“Kayaknya parkir juga harus ditata ini, Pak” Kata seseorang. Duh, bayangkan. “Uang parkir cocok juga ini” Lanjutnya. Kau lihat? Waktu itu ada pula yang mulai memikirkan untung sebelum beliung harta warisan benar-benar bak emas jatuh dari awan. Aiii. Aiii. Tak taulah aku mau katakan apa.
Syukurlah recana uang parkir itupun tidak pernah terwujud. Lagi pula itu terlalu muluk-muluklah. “Kata-katanya, mulai besok sudah mulai dikenakan biaya parkir ya?”.
“Mau berkudis badannya. Jika benar, tengoklah, aku tabur serbuk lugut di baju yang dijemur isterinya” Esoknya orang yang merencanankan uang parkir tadi itu menggaruk-garuk punggungnya, tapi tidak ada yang curiga kalau-kalau dia kena serbuk lugut bambu. Sudah pahamlah orang-orang kalau dia memang berkurap. Bukan karena dijahati.
Akhir dari kekacauan berbulan-bulan itu adalah diikatnya kepala desa di pohon itu. Untunglah Mad Banu bangun, kalau tidak, tidak bisa dibayangkanlah apa yang bakal terjadi pada kepala desa itu. Kemungkinkan terbesar dibakar, atau kemungkinan yang tak kalah sadisnya adalah disunat sampai ke akar rumput-rumputan itu. Kau mengertilah. Nih, bisa kau bayangkan itu?
Syukurlah. Sekarang, setelah sekian lama berlarut-larut dalam soalan Banu dan warisannya. Anak-anak TPQ sudah mulai dikembalikan ke balai pengajian lagi, dengan perombakan kurikulum yaitu setiap malam sabtu anak-anak itu disuruh simulasi shalat jenazah. Dugaanku itu adalah terjemahan riil dari keluh kesah Mad Banu, waktu mendapati Banu diikit di bawah pohon itu.
[Bersambung]
Cerita yang sangat menarik untuk dibaca. @yilawe
Terimakasih Bang @hendrawahyuni, kritik sarannya sangat kami butuhkan. Hehe. InsyaAllah, besok malam akan kita isi dengan bagian terakhir dari edisi cerbung Mad Banu ini. hehe