THE BUSINESS SERIES INTRODUCTION Part. 2 | [Bilingual Bahasa Indonesia]
“I try to make myself happy because I know that if I’m not happy, my colleagues are not happy and my shareholders are not happy and my customers are not happy.”
Jack Ma – Alibaba Group
Thinkers and gurus
Business history itself emerged as a topic of study in the 1970s. Dr. Alfred Chandler progressed the study of business history from the purely descriptive to the analytical — his course at Harvard Business School stressed the importance of organizational capabilities, technological innovation, and continuous learning. Taking their cue from Chandler, in the 1980s and 1990s management experts—such as Michael Porter, Igor Ansoff, Rosabeth, Moss Kanter, Henry Mintzberg, and Peter Drucker - encouraged businesses to consider their environments, to consider the needs of people, and to remain adaptable to change. Maintaining the conditions for business growth, and the correct positioning of products within their market, were considered key to business strategy. Moreover, what distinguished these gurus from their predecessors—who had tended to focus on operational issues—was a focus on leadership itself. For example, Charles Handy’s The Empty Raincoat revealed the paradoxes of leadership, and acknowledged the vulnerabilities and fragilities of the managers themselves. Leadership in the context of business, these writers recognized, is no easy undertaking.
Sejarah bisnis sendiri timbul sebagai topik studi pada tahun 1970an. Dr. Alfred Chandler membuat kemajuan dari studi sejarah bisnis awalnya murni deskriptif menjadi analitis (mata kuliahnya di Harvard Business School menekankan pentingnya kemampuan organisasional, inovasi teknologi, dan pembelajaran terus menerus). Mengambil petunjuk dari Chandler, para pakar manajemen 1980-90an seperti Michael Porter, Igor Ansoff, Rosabeth, Moss Kanter, Henry Mintzberg dan Peter Drucker mendorong bisnis untuk memperhatikan lingkungannya, untuk memperhatikan kebutuhan dari orang-orang dan tetap mampu beradaptasi terhadap perubahan. Menjaga kondisi untuk pertumbuhan bisnis, dan penempatan produk di posisi pasar yang tepat, adalah kunci dari strategi bisnis. Terlebih lagi, yang membedakan para guru ini dari pendahulunya yang lebih fokus pada isu operasional adalah lebih fokus pada kepemimpinan. Sebagai contoh, The Empt Raincoat oleh Charles Handy, menunjukkan paradoks sebuah kepemimpinan, dan memperhatikan kerapuhan serta kerawanan yang dimiliki oleh para manajer ini. Kepemimpinan pada konteks bisnis bukanlah perkara yang mudah – menurut para penulis ini.
Digital pioneer
Just as television and mass media had done before, the growth of the Internet in the 1990s and early 2000s heralded a new era for business. While early hype led to the failure of many online start-ups in the dot-com bubble of 1997 to 2000, the successful e-commerce pioneers laid the foundations for a business landscape that would be dominated by innovation. From high-tech garage start-ups—such as Hewlett-Packard and Apple— to the websites, mobile apps, and social-media forums of the modern business environment, technology is increasingly vital for business.
Seperti halnya yang dilakukan oleh televisi dan media masa, pertumbuhan Internet pada 90an akhir dan 2000an awal menjanjikan era baru dalam dunia bisnis. Walaupun sukacita pada awal yang berujung pada kegagalan banyak usaha startup pada gelembung dotcom (1997-2000), kerberhasilan dari para pioneer perdagangan digital telah menaruh pondasi di dunia bisnis yang bakal didominasi oleh dunia teknologi. Dari startup teknologi tinggi yang berawal dari garasi seperti Hawlett Packard dan Apple hingga website, applikasi ponsel, forum sosial media di dunia bisnis modern, teknologi menjadi vital bagi bisnis.
The explosion of new businesses thanks to technology also helped to expand the availability of finance. During the 1980s and 1990s finance had grown into a distinct discipline. Corporate mergers and high-profile takeovers became a way for businesses to grow beyond their operational limits; leverage joined marketing and strategy as part of the management lexicon. In the late 1990s this expanded to venture capital: the funding of small companies by profit-seeking investors. The risk of starting and running a business remains, but the opportunities afforded by technology and easier access to finance have made taking the first step a little easier. With microfinance, and the support of online networks and communities of likeminded people dispensing business advice, enterprise has never been more entrepreneurial.
Ledakan baru dunia bisnis karena kemajuan teknologi juga membuat ketersediaan keuangan menjadi semakin luas. Selama 1980-90an, keuangan tumbuh menjadi dispilin ilmu yang penting. Merger perusahaan dan takeover perusahaan menjadi cara bagi bisnis untuk membesarkan bisnisnya melampaui keterbatasan operasional; leverage menjadi bagian dari kamus manajemen, setelah Pemasaran dan Strategi. Pada akhir tahun 1990an, berkembang menjadi Pemodal Usaha (Venture Capitalist), pendanaan perusahaan kecil oleh investor yang bertujuan mencari keuntungan. Resiko untuk memulai dan menjalankan bisnis tetaplah sama, namun peluang yang ditawarkan oleh teknologi dan kemudahan akses pada pendanaan membuat langkah awal menjadi lebih mudah. Dengan pendanaan mikro dan dukungan dari jaringan online dan komunitas dengan orang-orang berpola pandang nasihat bisnis yang sama, perusahaan tidak pernah lebih bersifat wirausaha dibanding saat ini.
Recent business thinking has brought diversity and social responsibility to the fore. Businesses are encouraged, and increasingly required by law, to employ people from diverse backgrounds and to act in an ethical manner, wherever they operate in the world. Businesses such Nike and Adidas require suppliers to prove that labor conditions in their factories meet required standards. Sustainability, recycling, diversity, and environmentalism have entered business thinking alongside strategic management and risk.
Pemikiran bisnis terbaru juga mengedepankan keragaman dan tanggung jawab sosial. Bisnis lebih didorong, dan didorong oleh hukum dan kebijakan untuk mempekerjakan orang dengan latar belakang yang beragam, serta bertindak dengan etis, dimanapun beroperasi di dunia ini. Perusahaan bisnis seperti Adidas dan Nike membutuhkan suplier yang percaya bahwa kondisi kerja di lingkungan mereka sudah memenuhi standard. Keberlanjutan, daur-ulang, keragaman, dan kepedulian lingkungan telah memasuki pemikiran bisnis sejalan dengan Manajemen Strategis dan Manajemen Resiko.
New horizons
If business thinking has shifted, so too has the nature of business itself. Where once a company was constrained by its locality, today the opportunities are truly global. Globalization does, however, mean that business is more competitive than ever. Emerging markets are creating new opportunities and new threats. They may be able to outsource production to low-cost countries, but as their economies grow, these emerging nations are breeding new competition. China, for example, may be “the world’s factory,” but its home-grown companies are also starting to represent a threat to Western businesses. As the global recession of 2007–08 and ongoing economic uncertainty have proven, business in the 21st century is increasingly more interdependent and more challenging than ever before. Starting a business might be easier, but to survive entrepreneurs need the tenacity to take an idea to market, the business acumen to turn a good plan into a profitable enterprise, and the financial skill to maintain success.
Jika pemikiran bisnis telah berubah, begitu juga dengan sifat alamiah bisnis itu sendiri. Ada masanya dimana perusahaan terhalang oleh keterbatasan lokal, hari ini peluang yang ada benar-benar global. Globalisasi berarti bahwa bisnis menjadilebih kompetitif dibandingkan sebelumnya. Pasar-pasar baru menciptakan peluang dan ancaman baru. Mereka mungkin bisa mnggunakan produksi ke negara dengan biaya rendah, namun seiring dengan pertumbuhan ekonomi, negara-negara ini juga menciptakan kondisi persaingan yang baru. Sebagai contoh Tiongkok, yang juga dikenal sebagai “pabriknya dunia”, akhir-akhir ini perusahaan rumahan juga sudah mulai menjadi ancaman bagi bisnis dunia barat. Resesi global 2007-08 dan ketidakpastian ekonomi menunjukkan bahwa bisnis di abad 21 semakin bergantung satu dengan yang lain dan lebih menantang. Memulai bisnis terlihat mudah, namun mempertahankannya membutuhkan keuletan dalam menempatkan ide yang bisa dijual, ketajaman bisnis dalam mengubah rencana yang bagus menjadi perusahaan yang menguntungkan, dan juga kemampuan finansial dalam mempertahankan kesuksesan itu.
Jack Ma in Gloal Leaders Forum- image from wikimedia.org
Continual changes
For centuries social, political, and technological factors have forced companies and individuals to create new ways of generating profits. Whether bartering goods with a neighboring village or seeking ways to make profits from social networking, business thinking has changed, shifted, and evolved to mirror the wants and needs of the societies whose wealth it creates. Sometimes, as in the 2008 financial crisis, business failed in its efforts. In other examples—the legacy of Apple’s game-changing products, for example—companies have been spectacularly successful.
Selama berabad-abad, faktor-faktor sosial, politik, dan teknologi telah memaksa individu maupun perusahaan untuk membuat cara baru dalam menghasilkan keuntungan. Entah dengan menukarkan barang kepada tetangga sebelah atau mencari cara untuk mendapatkan keuntungan dengan jaringan sosial, pemikiran bisnis telah berevolusi, berubah meniru keinginan dan kebutuhan masyarakat yang menjadikannya kaya. Kadang, bisnis juga gagal seperti krisis ekonomi tahun 2008. Namun pada contoh lain, Apple misalnya, produk yang memberikan perubahan dan perbedaan telah menjadi sangat sukses.
Business is a fascinating subject. It surrounds us and affects us daily. A walk down the street, a wander around a supermarket, an Internet search on almost any topic will reveal commerce in its many and varied forms. At its core business is, and always has been, about survival and surplus—about the advancement of self and of society. As the world continues to open up, and as opportunities for enterprise multiply, an interest in business has never been more relevant, or more exciting. Moreover, for those with entrepreneurial spirit, business has never been more rewarding.
Bisnis adalah hal yang sangat menarik. Bisnis mengelilingi kita di kehidupan keseharian kita. Saat kita sedang melangkah di jalan, melihat-lihat di pasar atau supermarket, atau pencarian internet pada hampir semua objek menunjukkan adanya perdagangan dengan bentuk yang bervariasi dan berbeda. Bisnis pada hakekatnya, dari dulu hingga sekarang, adalah tentang perjuangan dan kelebihan – tentang kemajuan dari diri sendiri atau masyarakat. Seiring dunia yang semakin membuka diri, dan peluang usaha yang semakin berlipat, ketertarikan pada dunia bisnis menjadi lebih relevan, menarik dibandingkan sebelumnya. Terlebih lagi, bagi mereka dengan jiwa wirausaha, bisnis menjadi lebih menguntungkan dibanding sebelumnya.