Makna dan Peran Bahasa Aceh, Review Acehnologi (III :26)
Assalamualaikum wr, wb. Kali ini saya akan melanjutkan review buku Acehnologi karya bapak KBA volume 3 bab 26 tentang Makna dan Peran Bahasa Aceh.
Dalam bab ini penulis sedikit banyak bercerita tentang sepenggal perjalanannya dengan lanskap penggunaan bahasa Aceh. Penggunaan bahasa Aceh memang penuh dengan lika-liku. Bahasa Aceh berada pada kondisi yang amat memprihatinkan. Nasib bahasa Aceh hampir sama dengan nasib bahasa Melayu di Singapura atau Thailand Selatan. Di Singapura, bahasa resmi yang kerap didengarkan adalah bahasa Inggris, sementara bahasa Cina menjadi begitu dominan. Hal ini dikarenakan Singapura merupakan negara kecil yang dikuasai Cina yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Demikian pula bahasa Melayu di Thailand Selatan juga hampir punah, karena pemerintah melakukan berbagai upaya supaya bahasa Thai menjadi bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari sekolah hingga pasar. Di sini, kita tidak ingin mengambil satu pemahaman bahwa bahasa Aceh sedang menuju kepunahan. Dengan melihat aspek ini, akan diketahui posisi bahasa sebagai bagian dari budaya dan identitas suatu komunitas atau etnik.
Faktor bahasa memainkan peran yang cukup signifikan dalam pembentukan kebudayaan atau bahkan peradaban sekalipun. Penulis mengatakan bahwa keberadaan bahasa sangatlah penting dalam kajian antropologi, seorang peneliti harus melakukan penelitian yang cukup mendalam.
Selanjutnya, tentang asal usul bahasa, terdapat tiga teori besar. Pertama, aliran teologis yang menganggap manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan dan pada mulanya Tuhan yang mengajarkan pada Adam, nenek moyang seluruh manusia. Kedua, aliran naturalis yang memandang bahwa kemampuan berbahasa merupakan bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar maupun berjalan. Ketiga, aliran konvensionalis yang menyebutkan bahwa bahasa merupakan sebagai produk sosial. Dari tiga teori ini, maka agaknya, dua aliran terakhir yang menjadi wilayah kajian ilmu-ilmu sosial, khususnya Antropologi yang memusatkan perhatian pada bahasa sebagai media manusia untuk membangun relasi sosial. Sedangkan yang pertama, sering dikupas dalam kajian hermeneutika. Dapat dipastikan, bahwa faktor bahasa sangat memainkan peran dalam pemahaman dunia makna dan simbol yang ada di dalam masyarakat.
Bahasa Aceh bukanlah bahasa nasional ataupun internasional. Namun Aceh pernah menjadi pusat peradaban yang paling besar di Asia Tenggara, yaitu pada abad ke-17. Walaupun saat itu bahasa yang digunakan adalah Melayu-Pasai, namun keberadaan bahasa Aceh telah menciptakan suatu kebudayaan tersendiri bagi masyarakat Aceh. Karena itu, ketika bahasa Aceh tidak lagi menjadi hal yang penting dalam kehidupan masyarakatnya, maka dapat dipastikan bahwa kebudayaan Aceh juga sirna, tidak untuk mengatakan bahwa peradaban Aceh memang juga akan menghilang.
Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali semangat berbahasa dan berbudaya Aceh, maka yang perlu dilakukan adalah: pertama, memperkenalkan kembali jati diri ke-Aceh-an pada generasi muda. Proses ini yang cukup menantang, karena pengenalan jati diri ke-Aceh-an, sering dimaknai sebagai proses untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Padahal, proses pengenalan jati diri ini merupakan cara untuk membangkitkan kesadaran akan keberadaan di dunia ini sebagai orang Aceh. Kedua, menjadikan bahasa Aceh sebagai bahasa kebudayaan di provinsi ini. Sampai hari ini, posisi bahasa Aceh tidak begitu strategis. Bahasa ini telah termajinalkan di daerah sendiri. Sementara di provinsi lain, seperti Jawa dan Sunda, bahasa daerah masih menjadi begitu domain. Bahkan beberapa kosakata bahasa Jawa telah dijadikan sebagai bahasa Indonesia. Ketiga, meyakinkan masyarakat Aceh bahwa bahasa Aceh adalah bahasa endatu. Generasi tempo doeloe di Aceh telah berhasil menoreh sejarah peradaban yang amat gemilang. Bahasa Aceh telah menjadi salah satu aset yang sangat menentukan dalam pembinaan masyarakat. Keempat, melakukan berbagai kajian mengenai bahasa Aceh. Sejauh ini, kajian mengenai bahasa Aceh memang belum begitu membumi di Aceh. Walaupun para sarjana, baik nasional maupun internasional, telah memulai mengkaji tentang bahasa Aceh, akan tetapi di tingkat akar rumput, kajian tentang bahasa Aceh masih dalam posisi memprihatinkan. Kelima, membuka dialog kebudayaan untuk menghadapkan kekuatan filosofis bahasa Aceh dengan bahasa-bahasa lain di dunia ini. Dialog kebudayaan sangat diperlukan di Aceh, karena melalui kegiatan tersebut akan didapatkan hasil-hasil yang dapat membangun kembali kebudayaan Aceh, tidak terkecuali dalam bidang bahasa. Di sini sudah perlu dipikirkan bagaimana strategi kebudayaan Aceh pada masa kini dan masa yang akan datang.
Beberapa hal yang digarisbawahi penulis pada bab ini, yaitu: pertama, bahasa Aceh telah mengalami proses reduksi fungsi dan makna dalam kehidupan rakyat Aceh. Proses reduksi ini banyak disumbang oleh masyarakat Aceh sendiri, terutama ketika mereka tidak memahami fungsi dan makna bahasa Aceh dalam kebudayaan dan peradaban. Kedua, kajian ini telah memperlihatkan bahwa dalam ilmu-ilmu sosial, peran bahasa sangat strategis. Studi ini telah memperlihatkan bagaimana posisi bahasa dalam sejarah pemikiran Barat. Didapati bahwa munculnya konsep-konsep dari Barat tidak dapat dipungkiri dari sejarah perjalanan pemahaman dan penafsiran bahasa oleh para pemikir Barat. Ketiga, bab ini telah memperlihatkan bagaimana proses kehilangan jati diri ke-Aceh-an, ketika rakyatnya tidak mempergunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari, baik formal maupun informal. Kenyataan ini mengidentifikasikan bahwa lambat laun kebudayaan Aceh juga akan punah seiring dengan kepunahan bahasa Aceh. Keempat, agenda untuk membangkitkan kembali kesadaran untuk memahami bahasa Aceh telah didaftarkan. Hanya saja, harapan ini bisa saja terjadi manakala muncul kesadaran seperti orang Melayu di Singapura atau Thailand Selatan.
Cukup sekian review dari saya mengenai bab ini, masih ada bab selanjutnya yang akan saya review, semoga teman-teman semua tidak bosan membacanya, wassalamualaikum wr, wb.