RADIO RIMBA RAYA, Radio Perjuangan yang Terlupakan
!
sumber foto habaaseuramoe.blogspot.co.id
Desember 1948, Belanda mengumumkan bahwa Indonesia sudah mereka taklukkan. Ibu Kota Negera, Yogyakarta dan kota lainnya dikuasai, serta pemimpin negera ditawan. Pada saat genting itu, Radio Rimba Raya hadir menyelamatkan republik. Melalui udara Rimba Raya mengabarkan, di Aceh, republik masih berdiri tegak. Namun, setelah 72 tahun merdeka, Radio Rimba Raya terlupakan.
Satu-satu penanda keberadaan Radio Rimba Raya adalah tugu beton yang dibangun di Desa Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah. Tugu berbentuk pemancar itu terletak di antara rumah penduduk, sekitar 2 kilometer dari jalan Bireueun – Takengon, Aceh Tengah.
Awal November pagi, wajah tugu itu tampak tidak terawat. Catnya mulai kusam, dindingnya dipenuhi coretan, sampah bertebaran, dan ilalang tumbuh memenuhi halaman. Tugu yang diresmikan pada 20 September 1990 oleh Menteri Koperasi RI Bustanul Arifin itu kian tua dan merana.
Tugu itu dibangun untuk mengenang jasa Radio Rimba Raya sebagai radio perjuangan saat mempertahankan kemerdekaan. Namun, tugu itu tanpa didukung legalitas hukum sehingga upaya perawatan masih lemah baik dari sisi anggaran dan aksi nyata lainnya.
Saksi sejarah
Dalam banyak sumber sejarah disebutkan Radio Rimba Raya adalah corong bagi pejuang untuk mengobarkan semangat dan menepis propaganda penjajah. Radio Rimba Raya berdaya pancar 1 kilowatt bekerja pada moda amplitude modulation (AM) gelombang pendek 19,25 kilowatt.
TA Talsya Penyiar Radio Rimba Raya. foto @zulmasry![Rimba Raya.JPG]
Kepingan sejarah itu diceritakan kembali oleh Teuku Alibasyah Talsya (92) mantan penyiar Radio Rimba Raya kepada Kompas, Senin (4/9). Ditemui di rumahnya di Desa Panteriek, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh, fisiknya terlihat lemah karena dimakan usia.
Namun, dia akan berapi-api saat diajak bicara soal Radio Rimba Raya. Daya ingatnya mulai menurun. Namun, dia menyimpan dengan rapi dokumen dan kliping koran berkaitan dengan Radio Rimba Raya.
Talsya adalah satu-satunya saksi sejarah Radio Rimba Raya yang masih hidup. Sebagai anggota Tentara Republik Indonesia (TRI), pada masa perjuangan kemerdekaan, dia bertugas di bagian penerangan, salah satunya mengurus Radio Rimba Raya. Jabatan dia kala itu sebagai redaktur pemberitaan.
Peralatan radio berhasil diselundupkan melalui laut timur Aceh. Sempat didirikan di Bireuen, Banda Aceh, dan terakhir diungsikan ke Rimba Raya, Bener Meriah (dulu wilayah Aceh Tengah). Kawasan pegunungan dengan hutan yang lebat sangat strategis menjadi tempat menyembunyikan peralatan.
Talsya masih ingat pada malam 20 Desember 1948 setelah satu hari Belanda merebut Yogyakarta. Sebelumnya Belanda telah mengumumkan kepada dunia bahwa Indonesia sudah takluk. Namun, malam itu, di tengah dinginnya hutan belantara, Talsya, Abdullah Arif, dan beberapa pejuang lainnya menyusun strategi menepis propaganda penjajah.
“Kami buat perlawanan, kami pancarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. Di sini (Aceh) salah satu wilayah republik yang masih utuh sepenuhnya,” kata Talsya. Namun, Talsya tidak ingat lagi siapa temannya yang bertugas menyiarkan pesan maha penting itu.
“Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik masih ada, Wilayah Republik masih ada, dan di sini adalah Aceh” begitu pesan yang disiarkan.
()
sumber foto coretanputraaceh.blogspot.co.id
Pesan udara dari Radio Rimba Raya diterima All India Radio yang kemudian disebarkan kepada dunia. Kabar mengejutkan itu sampai ke gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB mengirimkan tiga orang perwakilan ke Aceh untuk verifikasi kebenarannya. Tiga utusan itu perwakilan Australia, Tiongkok, dan Amerika Serikat.
“Rakyat Aceh menyambut kedatangan utusan PBB dengan meriah. Meriam dibariskan di lapangan Blang Padang, Banda Aceh dan bendera merah putih berkibar di mana-mana. Mereka baru percaya bahwa Indonesia belum menyerah,” kata Talsya.
Setelah mengirimkan utusan ke Aceh, PBB memutuskan bahwa Indonesia masih berdaulat. Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda dan Indonesia untuk berunding yang menghasilkan kesepakatan Yogyakarta harus dipulihkan dan Soekarno - Hatta dibebaskan.
Beberapa tahun usai peristiwa itu, Radio Rimba Raya berhenti mengudara. Peralatan radio diangkut ke museum TNI AD di Yogyakarta. Yang tertinggal di Bener Meriah adalah kepingan sejarah yang kian hari semakin kabur digilas waktu.
Legalitas hukum
Talsya merasa sedih terhadap kondisi tugu Radio Rimba Raya tidak terawat. Terakhir dia menyaksikan tugu itu sekitar 10 tahun lalu. Namun, hingga saat ini tugu itu masih dalam kondisi memprihatinkan. “Kurang terpelihara, banyak rumput, padahal jasa Radio Rimba Raya sangat besar mempertahankan republik,” kata Talsya.
Pemerintah Kabupaten Bener Meriah mengusulkan kepada pemerintah pusat dikeluarkan legalitas hukum penetapan tugu itu sebagai monumen perjuangan nasional. Legalitas hukum dianggap penting agar perawatan sejarah radio itu menjadi tanggung jawab bersama, pemerintah pusat dan daerah.
“Saat ini seolah-olah Radio Rimba Raya hanya milik warga Bener Meriah. Padahal, peran radio itu untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat besar,” kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Bener Meriah Irmansyah.
Selama ini perawatan tugu Radio Rimba Raya dibiayai oleh APBD Kabupaten Bener Meriah. Pemkab, kata Irmansyah, menginginkan pemerintah pusat ikut membantu pendanaan perawatan tugu dan pelestarian sejarah radio itu.
Aceh memang nanggroe teuleubeh,,,, daerah modal
Banyak kepingan sejarah jasa nanggroe terhadap Republik yg terlupakan
sejarah harus diungkap luas. mantapbang zulmasry
Pengetahuan bang @hendrafauzi terhadap sejarah lebih luas, mari bang kita tuliskan kembali agar, berbagi pengetahuan
Selamat malam, salam kenal aja mas
malam juga. trims sdh berkunjung balek. jgn bosan2 mas main ke rumah kecil saya
Ok sip, sama sama mas
Aceh meusyuhu troh u luwa nanggroe, ini posting yang keren @zulmasry..
Terima kasih kak. Tinggal dmn