Perhelatan di Semarang, Bukti di Banda Aceh
Mungkin bagi sebagian masyarakat di Indonesia pernah mendengar bahwa salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia, Suwardi Suryaningrat pernah diasingkan ke Belanda karena buah penanya yakni sebuah artikel yang dimuat di harian De Express pada 1913. Artikel ini berisi kritik yang sangat pedas terhadap persiapan perhelatan akbar menyambut peringatan kemerdekaan Belanda dari Perancis yang pada tahun 1914 memasuki usia yang ke 100 tahun. Artikel yang berjudul Als Ik Een Nederlander Was ini atau yang berarti Andai Aku Seorang Belanda, akhirnya membuat tokoh yang kemudian berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara ditangkap oleh otoritas kolonial Belanda dan diasingkan ke negeri kincir angina selama enam tahun.
Namun tak banyak dijelaskan di buku-buku sejarah, perhelatan apa yang dimaksud, dimana dan seberapa besar perhelatan ini hingga membuat tokoh yang kelak kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional ini mencurahkan keresehannya. Perhelatan tersebut adalah Koloniale Tentoonstelling, yang digelar di Semarang pada 20 Agustus hingga 22 November 1914. Dijelaskan dalam buku rangkuman tentang perhelatan ini yang berjudul Gedenkboek der Koloniale Tentoonstelling yang diterbitkan pada 1915, bahwa perhelatan ini digelar di sebuah lahan seluas 26 hektar! Koloniale Tentoonstelling sejatinya adalah perhelatan bertajuk Colonial Exhibition yang marak digelar di masa-masa itu sebagai ajang pameran beragam capaian-capaian sebuah negara di koloninya masing-masing dengan tujuan untuk menarik investasi para pemodal-pemodal di koloni-koloni mereka. Gelaran ini mungkin sudah barang tentu kelasnya adalah sebuah World Expo yang sayangnya tidak sukses karena pecahnya Perang Dunia I di Eropa, yang kemudian merembet ke berbagai belahan dunia pada tahun yang sama, pada 1914.
Perhelatan ini menelan biaya total sebesar 114.529.526,5 Gulden, yang Jika merujuk pada sebuah iklan yang dimuat di Nieuw Israelitische Weekblad pada 1919 yang menunjukkan harga sebuah emas 14 karat adalah 1,75 Gulden per gramnya, maka jika dikonversikan ke nilai sekarang, gelaran Koloniale Tentoonstelling menelan biaya sebesar 24 Triliun rupiah! Jika melihat di arsip-arsip foto tentang perhelatan ini, bisa dibayangkan betapa besarnya skala penyelenggaraanya. Namun tak satupun tersisa bekas dari perhelatan ini di Semarang, hanya sebuah Gelanggang Olah Raga (GOR) milik Pemerintah Kota Semarang di Mugas, dikenal luas sebagai Lapangan Sentiling. Hal ini merujuk pada penyederhanaan pengucapan acara tersebut, yang bagi orang Jawa kebanyakan kesulitan menyebutnya, maka muncullah nama Sentiling, merujuk pada Koloniale Tentonstelling.
Uniknya, satu-satunya bukti yang tersisa dari penyelenggaraan ini justru berada di sebuah kota di ujung barat Indonesia, sejauh lebih dari 2000 kilometer dari Semarang, yakni di Banda Aceh. Adalah bangunan Rumoh Aceh di kompleks Museum Negeri Aceh yang dahulu merupakan bangunan dari paviliun Aceh di perhelatan Koloniale Tentoonstelling. Paviliun Aceh karena kelengkapan koleksinya juga atraksi yang disajikan kepada pengunjung dirasa sangat menarik, maka menyabet gelar sebagai juara umum diantara 120 paviliun yang didirikan untuk perhelatan yang konon adalah ekspo internasional pertama di belahan bumi selatan. Oleh karena prestasi itulah, Residen Aceh saat itu H.N. A Swart menyetujui opsi untuk memboyong paviliun Aceh, ke Banda Aceh untuk kemudian difungsikan sebagai Museum.
Menarik untuk mengatahui bagaimana keterkaitan sejarah antara Rumoh Aceh ini dengan peristiwa yang terjadi di Kota Semarang, sayangnya masih belum ada kesempatan mengunjungi Banda Aceh, mungkin jika ada kesempatan bisa saya ditemani bang @aiqabrago dan @levycore serta kawan-kawan Steemians Aceh lainnya.
Salam Komunitas Steemit Indonesia!