MEUGROB TARIAN YANG BANGKIT DARI TRAUMA
(Sekilas informasi kami terima dari rekan hampir 70 tahun usia bahwa Rateb Bensa/Mensa ini juga dilakukan di Dayah Darussalam, Labuhan Haji. Abuya Darussalam konon pernah melakukannya. Menurut informasi rateb ini adalah Rateb dari Thariqat Samaniyah dari Syaikh Muhammad Saman Madani, seorang Wali Quthub pada masanya.)
(Kami tidak berani mengulas panjang lebar sebab baru kenal bagian kulitnya saja. Sama seperti Rapai dari Thariqat Rifa'iyah, baiknya Rateb ini dilestarikan. Sebab syairnya ada terkandung rahasia ilmu hakikat menuju ma'rifat.)
Oleh: Azhari
http://aceh.tribunnews.com/2016/10/16/meugrob
Meugrob merupakan sebuah ungkapan kata yang dilakapkan oleh pelakunya sendiri pada sebuah ritual rateb atau zikir sambil menggerakkan badan. Meugrob secara arti kata adalah meloncat, namun tidak ada satupun sumber tertulis dalam literatur sejarah yang menjelaskan tentang Meugrob dalam bentuk seni tari budaya.
Beberapa sumber yang saya dapatkan di Sigli dan Samalanga saat mulai melakukan produksi film Dokumenter ini yang saya mulai sejak 2012 sampai sekarang, bahwa di Aceh pada tahun 50-an memiliki sebuah tradisi Peutamat daröih (menamatkan tadarus) atau khatam Qur’an (menamatkan Al-Quran), dan itu dilakukan dengan berzikir dan menggerakkan badan serta meloncat-loncat juga. Kini praktek Meugrob di beberapa daerah sangat bervariasi.
Di Samalanga Kabupaten Bireuen dikenal sebuah praktek ritual yang diberi nama dengan Rabbani Wahed. Tarian ini sudah ditetapkan sebaga warisan budaya nasional tahun lalu. Rabbani Wahed sendiri merupakan nama lain dari Meugrob, masyarakat di Samalanga hanya mengenalnya dengan Rabbani Meugrob. Sekilas tarian itu mempunyai kesamaan dengan Rabbani Negar India yang dipimpin oleh al-shaik Muhammad Abdullah baba Hidayathullah. Adapun Rabbani Meugrob di Samalanga pada tahun 1989 telah dirubah namanya menjadi Rabbani Wahed oleh Alm TM. Daud Gade bersama Bapak Nurdin yang merupakan salah satu Dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) saat itu.
Dalam Film Dokumenter Sufi Bukan Sufi di sana juga dijelaskan alasan oleh Almarhum TM. Daud Gade merubah nama Meugrob menjadi Rabbani Wahed. Menurutnya, hal itu dikarenakan bahwa masyarakat masih trauma dengan tarian Meugrob, karena Meugrob pada tahun 50-an telah menelan korban jiwa, lantaran praktek Meugrob yang pada awalnya untuk Ibadah menjadi ruang untuk memberikan hukuman bagi pengantin Laki-laki yang jarang ke meunasah untuk shalat berjamaah. Pada waktu itu, salah seorang pengantin yang tidak mau dirinya dipeugrob (diperloncatkan) akhirnya mengambil rencong melalui mertuanya lalu menusuk para pemain meugrob. Sejak saat itu, tradisi meugrob mulai tidak ada yang memainkan. Peristiwa itu terjadi di daerah Jeunieb, Bireuen.
Di Desa Pulo Lung Teuga Kabupaten Sigli, di sana juga pernah terjadi hal yang sama tapi tidak sampai memakan korban, sebagaimana disampaikan oleh Pak Armia yang merupakan saksi hidup yang sempat melihat Pengantin Laki di Peugrob di Balai Gampong, tapi sang pengantinnya tidak melawan melainkan pasrah dan setelah itu sang pengantin jarang pulang dan pindah dari gampong karena malu.
Salah seorang yang pernah menjadi warga Batee Sigli bernama Ibrahim Hitam (120th) pada tahun 2012 menjelaskan, bahwa tarian Meugrob sudah ada sejak nenek beliau hidup. Ibrahim Hitam yang sekarang tinggal di daerah Peuneulet Kec. Mamplam itu juga menjelaskan bahwa di sana sekarang tarian ini sudah tidak ada lagi. Menurutnya, itu terjadi sejak kejadian pembunuhan terjadi saat praktek Meugrob belangsung, masyarakat mulai meninggalkannya.
Beberapa peristiwa yang pernah terjadi itu telah menciptakan trauma bagi sebagian masyarakat pecinta Meugrob. Perubahan jenis tarian dari untuk Peugrob Linto (meloncatkan pengantin laki-laki) yang awalnya merupakan sebuah bentuk hukuman atau sangsi sosial bagi pengantin yang jarang bergabung ke Meunasah pun berlangsung setelah beberapa peristiwa kelam itu terjadi. Tari Meugrob yang awalnya untuk linto (Pengantin laki-laki) pun berubah dalam wujud dan maksud lain.
Di Pulo Lung Teuga, masih di Kecamatan Sigli. Meugrob sendiri adalah ruang untuk mempererat persatuan dan kekompakan. Di sana, anak-anak muda yang ada di kampong ataupun yang sedang di perantauan akan terpanggil untuk Pulang hanya karena Meugrob. Meugrob di Sigli secara praktek juga sama dengan Rabbani Meugrob yang ada di Samalanga, namun bedanya Meugrob di Sigli diawali sambil duduk setengah lutut lalu langsung bangkit sambil membaca syair: “Ta beudeh deng nibak taduk, hate yang khusyuk di dalam dada” (kita bangkit dari duduk, hati yang khusyuk di dalam dada). Mereka juga melakukan gerakan-gerakan mengayunkan tangan secara bersama sambil berhadap-hadapan, serta gerakan memegang bahu satu sama lain sambil berjalan membentuk angka delapan, lalu dengan gerakan memutar-mutar membentuk lingkaran yang padat serta melompat-lompat sambil memeluk erat sesamanya.
Syair-syair yang dibacakan dalam praktek Meugrob di Pulo Lung Teuga berbeda dengan yang ada di Samalanga, di sana Meugrob menggunakan syair-syair kekinian berupa salawat kepada nabi Muhammad SAW serta pesan-pesan tauhid serta moral. Menurut masyarakat di sana, tidak ada yang tahu dari mana datangnya Meugrob, ini sudah menjadi warisan turun-temurun dan tidak ada yang mecatatnya saat nenek mereka masih hidup dahulu.
Praktek Meugrob pada dasarnya hampir sama dengan permainan Seudati, terutama pada syair yang digunakannya. Di Sigli sendiri, pernah terdapat sebuah seni tari yang menyerupai Meugrob, namanya tarian Hasan-Husen, tapi masyarakat menyebutnya dengan Tarian San-Usen. Syair Hasan-Husen juga ada dalam buku Syair Rabbani Meugrob Samalanga, di sana disebutkan:“uroe siploh, beuleuen muharam, kesudahan husen jamaloi, ha illallah”. Masyarakat Samalanga pun sampai sekarang juga tidak tahu siapa yang membawa Meugrob ke dalam kehidupan mereka dan kapan Meugrob ini mulai ada. Dalam taks Syair hanya dijelaskan bahwa Rabbani Meugrob bagian dari ritual Tariqat Sammaniah.
Tarian Meugrob yang pernah populer sebagai tarian rakyat itu juga terdapat di daerah Lampeuneurut Aceh Besar. Di sana tarian Meugrob dimainkan pada malam-malam menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sedangkan di Nagan Raya, tepatnya di Gampong Udan Suka Makmur, warga di sana menyebutnya dengan Meugrob Bensa atau Rateb Bensa. Meugrob bagi mereka merupakan ruang untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan juga sebagai ruang untuk mempererat persatuan sesama masyarakat. Meugrob di Nagan Raya di mainkan pada malam 27 atau saat akan berakhirnya bulan ramadhan.
Sebelum melakukan praktek Meugrob, gampong yang membuat Meugrob Bensa akan mengundang Gampong-gampong tetangga untuk hadir dan melakukan proses pengumpulan uang untuk membeli bahan-bahan yang akan dimasak, karena Meugrob Bensa akan berakhir menjelang sahur, yaitu pada pukul 3 pagi, dan setelah itu mereka akan makan sahur secara bersama-sama. Di Nagan Raya, pemimpin praktik Meugrob disebut Khalifah, berbeda dengan masyarakat Sigli, Aceh Besar dan Bireuen, di sana mereka menyebutnya dengan Syekh.
Syarat menjadi Khalifah Meugrob Bensa di Nagan Raya haruslah sudah pernah berguru pada para pendahulu (guru/mursyid=pembimbing), sama halnya dengan proses mengambil Tariqat, dimana harus ada guru yang membimbing. Menurut Teungku Imum Paya Udan, proses itu dilakukan karena Meugrob Bensa merupakan gabungan antara Agama dan Budaya, yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaan atau beribadah kepada Allah dengan berzikir atau Rateb sebanyak 12 Rateb; satu rateb bisa dibaca ribuan kali itu tergantung Khalifahnya.
Praktek Meugrob di Nagan Raya bukanlah sebatas tradisi, akan tetapi sudah menjadi bagian dari salah satu ibadah yang terus dilakukan setiap tahun. Sebelum meugrob Bensa dilakukan, kalifah menjelaskan tatacara-nya, antara lain; Zikir yang dibaca tidak boleh putus walaupun ada yang sudah pingsan, zikir haruslah terus berlanjut tanpa dibantu oleh obat-obatan terlarang atau menggunakan ganja. Juga tidak dibolehkan dalam proses ini mempunyai niat buruk untuk kawan atau orang lain.
Membacakan doa seperti praktek samadiah yang umumnya dilakukan di Aceh adalah awal dimana sebuah proses untuk Meugrob dimulai, karena setelahnya mereka akan bangkit sambil menyebutkan Lailahaillallah sambil berulang-ulang, dan juga sambil menggenggam tangan kawan yang disamping dan kakinya mulai melakukan gerakan. Khalifah dalam hal ini memimpin zikir atau rateb dengan mengatur ritme irama zikir. Begitu zikir mulai kencang, lalu para pelaku Meugrob Bensa mulai membuat lingkaran, lingkaran dalam dua lapisan; pertama lingkaran kecil yang padat sambil berpelukan dimana orang yang di dalamnya tidak akan bisa keluar lagi dan lingkaran besar akan membentengi lingkaran kecil yang makin lama makin kencang, sambil melompat-lompat dan pada akhirnya ada yang pingsan tidak sadarkan diri karena kelelahan sambil berzikir dengan meloncat.
Begitu ada yang pingsan, mereka akan melakukan peugrob beramai-ramai sambil menyebutkan zikir yang sangat keras sekali, ada sekitar 15 kali peugrob, hingga yang dipeugrob sudah tidak sadarkan diri. Setelah itu, yang pingsan akan dibawa ke samping balai. Lalu lingkaran yang kedua mengerucut membentuk lingkaran kecil, dan lingkaran besar dibentuk lagi yang diarahkan oleh Khalifah. Itu dilakukan terus menerus hingga terkadang membuat gerakan delapan berjalan sambil melompat dengan memegang bahu satu sama lain.
Di Samalanga Meugrob kini berubah dalam bentuk sanggar, gerakan-gerakannya juga terjadi penambahan gerakan baru namun syair-syairnya masih menggunakan Syair Meugrob. Dalam syair Meugrob disebutkan nama-nama syekh dari tariqat Sammaniah, yaitu Syekh Muhammad Saleh, Syekh Zamzami yang merupakan bilal di Makkah, Syekh Abdussamad (Palembang) yang turun dari Arab untuk perang sabil ke Aceh, Sultan Mahmud yang juga bilal Makkah, serta Ahmad kusyasyi yang merupakan khuthubul Madinah, dimana banyak orang dari berbagai negara mengambil tariqat padanya. Lalu ada juga Syekhuna Samman yang merupakan Syekh Muhammad Samman, negeri beliau bernama Madinah, nama ayahnya Abdul Karim, gurunya Mustafa Bakri yang berasal dari negeri Mesir.
Syekh Muhammad Samman sendiri pada dasarnya tidak membawa langsung tariqat Sammaniah ke Indonesia melainkan dilakukan oleh murid mereka sendiri. Hal itu dapat kita ketahui dari sejarah penyebarannya, yaitu dilakukan oleh Syekh Abdussamad al-Falimbani (wafat 1800 M). Menurut riwayat Tasawuf di Indonesia, sebelum ke Palembang Syekh Abdussamad al-Falimbani dahulunya menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Aceh. Sejarah itu diperkuat melalui Syair dalam buku panduan Meugrob. Syekh Abdussamad al-Falimbani telah mengajarkan doa dan zikir yang didapatkannya dari Syekh Samman. Mulanya tarekat ini murni mengajarkan zikir yang termuat dalam ratib Samman, namun dalam perkembangannya, zikir itu dinyanyikan oleh sekelompok orang.
Meugrob bisa dikatakan sebuah ritual keagaman yang sudah menjadi budaya, dan dilakukan dalam bentuk seni tari gerak yang diawali oleh posisi duduk dan diakhiri dengan posisi berdiri dengan berputar dan meloncat-loncat sambil berzikir.
Snouck Hurgronye pernah menulis sebuah praktek keagamaan yang mana orang Aceh menyebutnya Meugrob:
“ Mula-mula mereka berkumpul dengan irama sedang mendendangkan ayat-ayat yang memuja kebesaran Allah, tetapi lambat-laun irama tadi bertambah cepat, ayat-ayat yang tidak henti-hentinya diulang bertambah pendek (misalnya: 'huu Allah! hu da'em! hu!, dan lain-lain), suara pun makin keras dan memekik. Mereka yang berteriak-teriak dengan fanatik itu berkeringat karena kerasnya gerakan, kadang-kadang berdiri, kemudian duduk kembali, melompat lompat dan menari-nari, akhirnya banyak diantara mereka jatuh pingsan oleh karena kegembiraan yang meluap-luap yang timbul dalam memikirkan sesuatu yang bersifat ketuhanan, menurut kehendak atau anggapan masing-masing. Keadaan demikian itu oleh orang Aceh dinamakan do'), dan bentuk rateb saman yang riuh rendah itu diberi nama rateb mensa atau kuluhe't”
Menurut Snouck Hurgronje(orientalis yang menulis tentang Islam di Indonesia), Syekh Samman menulis sejumlah ratib yang terkenal dengan nama Ratib Samman. Di Aceh, Ratib Samman dan atau Hikayat Samman sangat populer. Ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu macam permainan (tarian) rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian), (Usman Said, 1981, 286). Tarian Saman ini hingga kini sangat terkenal di seantero nusantara.
Snouck menulis bahwa ratib yang dimainkan tersebut adalah ratib saman. Dia menyebutkan dalam bukunya Aceh Di Mata Kolonial Jilid I; trawèh (sebutan orang Aceh) tidak dilanjutkan - seperti biasanya - oleh meudaröih (tadarus), tetapi oleh rateb yang riuh sekali. Rateb Saman (dari Samman, pendiri sebuah tariqat yang meninggal di Madinah th 1152 Hijrah).
Dapat dikatakan bahwa Meugrob adalah sebuah nama yang diberikan oleh para pemain atau penduduk yang menyaksikan tarian tersebut karena adanya gerakan-gerakan meloncat. Di sisi lain, Meugrob yang pada awalnya merupakan ritual telah berkembang menjadi ruang untuk memberikan sangsi kepada anak-anak muda atau kepada pengantin Laki-laki yang jarang bergabung atau shalat berjamaah di mushalla/mesjid oleh masyarakat tempat tinggal istrinya. Lelaki yang melangsungkan perkawinan ke tempat di mana terdapat Meugrob pada malam setelah perkawinannya akan dijemput oleh anak-anak muda untuk diajak ke meunasah (mushalla), di sanalah dipeugrob akan dilangsungkan. Begitu permainan meugrob ini memasuki gerakan berdiri sambil memutar-mutar maka sang pengantin tadi langsung dimasukkan ke dalam lingkaran tersebut lalu diangkat-angkat dalam waktu yang cukup lama. Itulah yang dikatakan dengan Peugrob Linto. Sebuah proses yang kemudian dinamakan seni tari. Adapun sumber-sumber sejarah yang menulis ini sangat sulit ditemukan, kecuali salah satu referensi yang mengupas tentang ini adalah Buku Aceh dimata Kolonial Jilid I dan II, dan dalam tulisan-tulisan tentang sejarah perjalanan Tariqat di Aceh.
Menurut Khalifah di Nagan Raya, bahwa Meugrob Bensa adalah bagian Tariqat yang berasal dari Syekh Abdul Qadir Jailani, karena di sana hanya menggunakan kalimat Zikir “Lailahaillallah… Allah-Allah…Allah Qadim,..”dan seterusnya. Di Bireuen menggunakan kalimat “Allah Hu..Allah Hu,..”. Sedangkan di Sigli, penulis hanya menemukan kalimat dalam bahasa Aceh, yang dilakukan saat-saat memutar, yaitu; ”,,,Linto Baroe ka Di peugrob.” Itu diulang-ulang beberapa kali.
Praktek Meugrob di Nagan Raya, Sigli dan Bireuen secara praktek dapat dikatakan sama, namun yang berubah adalah fungsinya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut; Praktek Meugrob Bensa di Nagan Raya fungsinya untuk perayaan pada acara kegamaan dan hanya dimainkan khusus pada bulan Ramadhan akhir, di Kabupaten Sigli lebih kepada kebudayaan atau tradisi, walaupun ada syair-syair penuh dengan pesan-pesan moral, tauhid dan dimainkan di malam Hari Raya Puasa. Sedangkan praktek di Samalanga lebih ke sisi ekonomi, dimana praktek Meugrob di sana dilakukan oleh sanggar, walaupun belakangan mereka mulai mengajarkan pada tingkat SMA dan SMP di Kabupaten Bireuen. Namun di Samalanga sendiri syair-syair masih menggunakan Syair Meugrob yang digunakan lama. Perubahan hanya lebih banyak terjadi pada bentuk-bentuk gerak, karena biasanya disesuaikan dengan orang yang mengundang serta jenis event yang dihadiri.
Azhari adalah Pegiat Film Dokumenter pada Yayasan Aceh Documentary, pembuat film dokumenter Meugrob.
(Terima kasih kami ucapkan kepada Saudara Azhari Meugit atas tulisannya ini, sangat bermanfaat)