Kutinggalkan hatiku dikala hujan
Dilorong tengah rumahku, prantara ruang televisi dan ruang makan, seekor kucing anggora, kuberi nama Fani, sedang asik merebahkan diri. Terlihat manis sekali. Fani yang aktif, telah lama menemani keluarga kecilku, berlari kesana kemari dengan mainan yang kubelikan khusus untuknya dari Jogja.
Disetiap sudut ruangan menjadi gelap. Geluduk menggelegar dengan kencang, beberapa kali, seakan diatas sana ada sebuah perayaan besar dengan persembahan yang besar pula. Jarum jam masih menunjukkan pukul 16.20 wib, namun gelap telah mendominasi suasana, tanpa kompromi melarutkan waktu tak seperti biasanya. Mendung yang tadinya menggantung kini tiada terlihat lagi, hujan terus saja mencumbu peraduannya, dengan lebat dan tak terhentikan.
Adit anakku, diruang televisi, juga terlihat merebahkan diri. Tapi kali ini dengan raut wajah yang mengerut, aku tau dia sedang menunggu, ibunya tak kunjung pulang. Televisi yang menyala tak dihiraukan, biasanya diwaktu seperti ini, sering kali kami berkelahi, memperebutkan sebuah remot televisi. Diwaktu seperti inilah Adit menghibur diri, lelah seharian disekolah, ia rebahkan tubuhnya sembari menyaksikan siaran televisi, tak perduli bahkan sering sekali melupakan pekerjaan rumah yang dibebankan kepadanya. Sering kulihat ia tak mengedipkan mata, menonton film cartoon buatan Malaysia, sesekali juga ku jumpai dengan mulut menganga terbuka, terlarut dalam tontonan. Sedangkan aku, diwaktu bersamaan juga sering kali melihat perkembangan politik melalui siaran televisi. Tapi disore itu, Adit merelakan siaran televisinya kepadaku. Dengan wajah murung, sorot mata penuh kebosanan, ia menanti Ibunya yang tak kunjung tiba dirumah.
“Adit ngantuk?”
Sapaku, tentu dengan memberikan senyuman terbaik, mencoba menghibur. Namun, ia hanya menoleh kepadaku dan memalingkan badan untuk kembali memeluk erat guling kesayangannya. Sorot matanya penuh penantian, namun tak sama sekali memudarkan keindahan kedua bola mata yang berwarna coklat itu, turunan dari ibunya. Tak hanya sampai disitu, lagi dan lagi kucoba untuk menghibur. Kurebahkan diri ini sembari memeluk dan merayu. Kembali kucoba peruntunganku.
“Kamu mau Ayah buatkan coco crunch, Dit?”
Lagi-lagi ia tak menjawab, padahal coco crunch adalah makanan favoritnya, hanya menggelengkan kepala. Lalu kuusap rambutnya, kuciumi dengan lembut, sampai iapun tertidur. Tertidur dalam penantian.
Adit adalah anak pertama kami, setelah penantian hampir tujuh tahun menikah, usianya kini delapan tahun. Adit tak sepertiku, diusia produktifnya, ia harus sering ditinggalkan kerja oleh Ibunya.
Sangat berbeda dengan apa yang kurasakan, sejak kecil dulu. Masih saja tergambar jelas bagaimana Ibu memandikanku dulu, sembari menangis, terisak-isak, tak perduli dan terus menggosok seluruh badanku. Kadang juga Ibu menjemput paksa, aku yang lupa waktu saat bermain, untuk segera pulang karena hari semakin gelap.
Istriku seorang pekerja keras, berposisi sebagai Program Manager di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pupuk organik. Pernah terlintas dipikirku, kesibukkannyalah yang membuat kami harus menunggu selama tujuh tahun lamanya untuk mendapatkan anak pertama kami. Buah cinta yang kemudian kami beri nama Aditya Al-Biruni. Aku sendiri telah dua tahun meninggalkan pekerjaanku sebagai pimpinan redaksi disebuah media elektronik terbesar di Kotaku, dan kini lebih memilih manjadi penulis lepas. Satu alasan kuat untuk memberikan kasih sayang sebagai orang tua kepada seorang anak, yang kini sedang tumbuh besar. Aku mengalah daripada istriku dan mengambil keputusan berat ini.
Pernah disuatu hari, Adit melihatnya, terjadi keributan antara aku dan istriku. Perihal siapa yang harus meninggalkan pekerjaan, mengasuh dan juga memberi kasih sayang sebagai orang tua kepada seorang anak.
“Ini cita-citaku sayang, mohon pengertiannya”, ucap istriku pada saat itu.
Dengan kedua lesung pipi yang menggoda, sembari tersenyum penuh harap, Istriku meminta agar akulah yang mengalah dan mengorbankan pekerjaanku. Awalnya aku tegas pada pendirian bahwa wanita kodratnya hanya mangasuh dan mendidik anak. Namun istriku tak merelakan untuk meninggalkan pekerjaannya. Sebelum menikah, pernah diceritakannya, ia ingin sekali menjadi wanita karir. Imajinasi ini terjawab dengan kesungguhannya, setelah menyelesaikan sarjana pertanian, ia bekerja selama delapan bulan. Mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar bisa melanjutkan sekolahnya. Bekerja sambil kuliah bukanlah hal yang mudah, tak jarang ia harus menahan rasa lapar, mengingat banyaknya kebutuhan yang harus dikeluarkan.
“Buat apa aku sekolah tinggi-tinggi jika hanya Engkau kurung dirumah, Sayaang?”
Istriku adalah seorang Magister dibidang Agribisnis Pertanian, sementara aku hanya seorang sarjana sosial. Kita bertemu sebulan penuh pada kuliah kerja nyata program dari Universitas, ditempatkan diperkampungan, jauh dari hingar bingar Kota, lima belas tahun yang lalu. Pada saat itu ia tampak, bersamaan dengan memudarnya senja, selalu bermain dan menghabiskan waktu bersama dengan anak-anak perkampungan. Cinta kemudian tumbuh seiring melihat senyumnya bertebaran dikaki gunung, senyum itu berlarian kecil kesana kemari bersamaan dengan senyuman anak-anak yang terus menyapanya dengan sebutan Ibu mahasiswi. Aku yang memang suka pada anak kecil, luluh melihat bagaimana ia mampu membagi kebahagiaan kepada mereka.
Namun semua berubah, dua tahun kebelakang, ketika Istriku mendapat tawaran kerja dengan bayaran yang lumayan, juga menyita waktu sebagai seorang Ibu, kini telah membuatnya lupa dengan kebahagiaan anak dan suami, keluarganya. Sejatinya bahagia tak hanya diukur melalui seberapa banyak materi yang dimiliki, namun kini waktu dan kasih sayang adalah kebahagiaan dunia yang sering sekali terlupakan.
Kesabaran yang diajarkan Ibuku, membuat diri ini luluh. Mengorbankan semua pekerjaan, kebiasaan, penghasilan untuk sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan melihat tumbuh besar seorang anak, kebahagiaan melihat pasangan hidup yang kucinta menggapai cita-citanya. Dengan berat hati tentu, hidup adalah pilihan, ketika harus bertukar tugas demi arti sebuah kebahagiaan.
Geluduk kembali menghantam, kali ini sedikit mengejutkanku. Ku baringkan badan ini kepada sofa yang menganggur. Disudut sofa, Fani telah melengkungkan tubuh, mungkin itu adalah posisi favorit seekor kucing dikala cuaca dingin seperti ini, terlihat pulas tertidur. Kulanjutkan dengan mematikan televisi agar tidak mengganggu keduanya, Adit anakku dan Fani kucing anggoraku. Lagi pula, sangat membosankan ketika harus menyaksikan berita duka di saat hujan dan sepi menemani. Dikala musim hujan, hampir selalu disetiap akhir tahun ada pemberitaan terkait longsor dan banjir.
Padahal bagiku, hidup sesungguhnya adalah bagaimana kita bisa belajar menari ditengah hujan. Hujan merupakan berkah untuk menghidupkan yang mati, barang kali mati hatinya, mati pikirannya, mati pula rasa cintanya. Hujan merupakan rahmat dan berkah.
Dikejauhan terdengar samar-samar suara sirine ambulance ditengah derasnya hujan, semakin lama semakin mendekati. Ku jemput kemudian sumber suara dengan bergegas menuju beranda rumahku. Jalanan lorong yang sepi menuju gelap, tiada satupun yang melintas, hujan masih saja turun dengan derasnya.
Benar saja, mobil yang tidak diinginkan kehadirannya itu berhenti tepat didepan pagar rumahku. Suara sirine yang kencang dan tersamar oleh derasnya hujan cukup membuat perhatian para tetangga. Bergegas diri ini masuk kedalam rumah, kulihat Adit masih tampak pulas tertidur didepan televisi yang tidak menyala, menuju ruang belakang untuk mengambil sebuah payung.
Lalu kulihat dari kejauhan, diberanda rumah, beberapa petugas menyibukkan diri dipintu belakang ambulance, belum sepatah katapun kudengar dari mulut mereka. Disaat bersamaan, Adzan berkumandang, geluduk masih sesekali bergumam, magrib terus menjemput malam. Tetangga sebelah rumah juga mendekati para petugas, dari kejauhan terlihat mereka sedang berbisik, sementara aku hanya berdiri tegap, kaku, rasa-rasanya kaki ini tidak lagi bisa diperintah oleh kepala, diam membeku. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Gumamku didalam hati.
Kubalikkan badan, kulihat Adit masih tertidur pulas, tidurnya sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran mereka. Fani meloncat dari sofa menuju lorong tempat favoritnya.
Air mataku tiba-tiba menetes dikedua pipi. Waktu seakaan berhenti, yang ada dipikiran hanya wajah cantik istriku. Mukanya bulat, matanya indah berwarna coklat, bibirnya melengkung sempurna, memberikan senyumnya kepadaku.
“Innalillahi wainnailaihi rajiun”.
tag indonesia jangan lupa
Oke siap bang, cobak dulu diarahin, hahaha. Pemula ni.