Pendidikan Berbasis Syari'at Islam
Agama Islam menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat urgen serta memberikan perhatian yang sangat besar karena belajar merupakan perintah utama dari agama Islam. Lima ayat pertama yang diturunkan dalam surat Al’-Alaq bukanlah suatu kebetulan. Ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad tersebut dimulai dengan iqra secara tidak langsung mengandung makna dan implikasi pendidikan
Pendidikan dalam syari’at Islam merupakan transformasi nilai-nilai Islam dan mengembangkan potensi manusia untuk mencapai manusia sempurna (insan kamil). Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa pendidikan diselenggarakan berdasarkan rencana matang, mantap, jelas, menyeluruh serta mengembangkan potensi peserta didik yang dianugerahkan oleh Allah, potensi ini tidak akan berkembang kecuali dengan jalan dibentuk dan dilatih melalui proses pembelajaran untuk melahirkan pribadi muslim yang beriman dan bertaqwa serta memiliki berbagai kemampuan yang teraktualisasi dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya secara baik, positif dan konstruktif.
Aceh dan syari’at Islam adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Sejarah membuktikan serta menempatkan Aceh berada pada posisi yang khas dan istimewa. Syari'at Islam bagi masyarakat Aceh adalah bagian tidak terpisahkan dari adat dan budayanya. Oleh sebab itu bagi masyarakat Aceh syari’at Islam dan adat bagaikan zat ngon sifeut . Hampir seluruh tatanan kehidupan keseharian masyarakat diukur dengan standar ajaran Islam, artinya seluruh aktivitas kehidupan masyarakat merujuk pada keyakinan keagamaan. Ini menjadi alasan mengapa penerapan syari'at Islam di Aceh akan sangat menentukan masa depan daerah ini.
Masyarakat Aceh sudah mulai bersinggungan dengan Islam semenjak abad ke VII dan VIII. Pasa saat itu pendidikan Aceh bersubtansi pada ajaran Islam yang diselenggarakan secara khusus baik di Meunasah,rangkang dan dayah. Sampai mencapai puncak kejayaan Aceh di semua bidang pada abad 16-17 baik bidang politik, ilmu pengetahuan dan bahkan ekonomi. Puncak kejayaan itu tidak terlepas dari pemberlakuan syari’at Islam secara kaffah.
Sejak pertengahan abad ke 20, masyarakat Aceh diliputi oleh berbagai macam pergolakan baik secara internal maupun eksternal. Syari’at Islam yang sudah lama terpatri dalam jiwa masyarakat mulai ditinggalkan. Baru setelah konflik yang berkepanjangan terjadi di Aceh, penerapan syari’at Islam di Aceh secara de facto dan de jure terwujud, yaitu didasarkan atas UU No. 44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Sebagai Provinsi NAD. Kemudian syari’at Islam dideklarasikan kembali pada tanggal 1 Muharam 1423 H bertepatan dengan tanggal 15 Maret 2002.
Pasca perdamaian antara GAM Vs RI UU No 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh direvisi kembali berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, kemudian di atur kedalam sebuah UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) Tahun 2006. Salah satu kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat dalam UUPA pasal 125 adalah penerapan syar’iat Islam secara kaffah meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak. Syariat Islam yang dimaksud adalah ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
Sebagai daerah yang melaksanakan syari’at Islam pendidikan di Aceh harus berlandaskan syari’at Islam dengan segala bentuk kebutuhan dan kearifan lokalnya pendidikan berbasis syari’at Islam merupakan sebuah keniscayaan karena pendidikan merupakan salah satu instrument pelaksanaan syari’at Islam itu sendiri. Untuk menerapkan syari’at Islam secara kaffah dibutuhkan upaya-upaya konkrit dalam mengubah karakter dan pola kehidupan masyarakat dan ini hanya bisa dilakukan melalui proses mata rantai pendidikan. Pendidikan di Aceh merupakan kunci bagi suksesnya implementasi syari’at Islam, karena orientasi pendidikan adalah untuk mendidik manusia dan membangun karakternya.
Aceh memiliki landasan yuridis untuk melakukan inovasi pendidikan sesuai dengan konteks Aceh sebagai daerah yang menerapkan syari’at Islam untuk melahirkan generasi kokoh dan kuat dari segi agama dan pengetahuan umum sehingga mampu melahirkan manusia yang insan kamil. Berdasarkan Qanun No. 5 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan pendidikan di Aceh dibangun diatas dua asas penting yaitu, keIslaman dan karakteristik Aceh, artinya sistem pendidikan yang diselenggarakan di Aceh didasarkan pada nilai-nilai Islami dan harus sesuai dengan kekhususan karakteristik dan budaya masyarakat Aceh yang Islami.
Meskipun pendidikan Aceh harus dibangun atas dasar fondasi keacehan dan keislaman akan tetapi pendidikan Aceh bukanlah pendidikan yang sepenuhnya otonom, tetapi subsistem dari pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional tidak pernah menyebutkan Islam sebagai landasan filosofis dalam operasionalnya sehingga realita pendidikan umum khususnya dijenjang sekolah menegah atas tidak mengajarkan pendidikan yang bermuatan agama secara maksimal justru lebih banyak berorientasi pada pengembangan struktur kognitif semata. Proses pembelajaran pendidikan agama yang hanya tiga jam dalam seminggu tentu sangat tidak cukup untuk membentuk pola pikir dan karakter peserta didik bahkan nilai-nilai ketuhanan dalam proses pembelajaran tidak terbangun dengan baik.
Ekses dari pendidikan ini dalam konteks sosio kultural memberikan dampak yang tidak baik dalam kehidupan bermasyarakat serta melahirkan berbagai macam problema dan permasalahan dalam masyarakat generasi muda di era modern ini, sehingga krisis moral dapat terlihat dengan jelas dari perilaku generasi muda dan pelajar, dimana pergaulan bebas sudah menjadi budaya dikalangan pelajar, penyalahgunaan narkoba, meningkatnya seks bebas di kalangan pelajar, banyak bayi yang lahir di luar nikah, terjadinya homoseksual yang baru-baru ini terjadi di Aceh , serta munculnya berbagai kenakalan remaja yang meresahkan masyarakat seperti komunitas geng motor di jawa dan komunitas anak PUNK di Aceh, merupakan contoh kecil dari sejumlah problem moral generasi muda bangsa ini.
Banyak orang tua dan anak-anak begitu risau dan takut tidak lulus Ujian Nasional, tetapi betapa banyak orang tua tidak takut anaknya belum mampu membaca Al-qur’an apalagi membaca kitab-kitab arab. Indikator lain dapat dilihat dari praktek sopan santun siswa bahkan guru yang kini sudah mulai memudar, diantaranya cara mereka berbicara sesamanya, prilakunya terhadap guru dan orang tua, kata-kata kotor yang tidak sepantasnya diucapkan oleh anak seusianya seringkali terlontar. Sikap ramah terhadap guru ketika bertemu dan penuh hormat kepada orang tua pun tampaknya sudah menjadi sesuatu yang sulit ditemukan.
Disisi lain meningkatnya angka korupsi di Indonesia, penegakan hukum yang tidak berkeadilan menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita hanya minitikberaktkan kecerdasan intelektual saja dan mengenyampingkan pendidikan agama, etika serta karakter. Munculnya berbagai problem dan “penyakit sosial” masyarakat ini sangat mengusik dunia pendidikan di negeri ini, karena lembaga pendidikan kembali dituding gagal membentuk karakter, moral dan akhlak mulia anak didik
Pendidikan Muatan lokal sudah dicetuskan sejak tahun 1980-an lalu dengan pertimbangan bahwa pendidikan muatan lokal mampu membentuk karakter bangsa Indonesia yang asli karena sebagai penguat sumber daya manusia untuk mencintai nilai lokal daerah sebagai bentuk pertahanan diri dalam arus globalisasi. Di setiap sekolah diselenggarakan pendidikan berbasis muatan lokal seperti, kesenian, tulisan indah, tulisan arab melayu.Namun muatan lokal yang diselenggarakan di sekolah sekolah saat ini belum mampu menjawab tantangan untuk menjawab pola pendidikan yang berkarakter dan Islami
Untuk mengimbangi dinamika pendidikan seperti yang penulis utarakan di atas, maka pendidikan muatan lokal berbasis syari’at Islam menjadi sebuah solusi ditengah pendidikan yang tergerus oleh pengetahuan kognitif semata yang mengabaikan pembentukan akhlak dan karakter siswa. Selain kurikulum nasional yang diterapkan dalam sistem pendidikan kita ada juga muatan lokal yang dilaksanakan oleh sekolah, pelaksanaan muatan lokal ini disesuaikan dengan lingkungan alam, sosial, budaya serta kebutuhan daerah yang wajib dipelajari oleh peserta didik di daerah itu.
Mantap bg
ceklek le sigo bek tuwo, heheh (upvote). haha
Muatan luar sigo go pak sekum.
heee bro kemana aje dirimu, lama tak nampak batang hidung, pajan kujak intat linto baro.. heeeee
Watee kapas muatan baro moto di beurangkat, preh manteng pak sekum.
Luar biasa pencerahan dari guree