Galeri Seni: Sebuah Pengantar
Pengantar:
Esai ini saya tulis Januari 2015. Saya meniatkannya untuk dimuat di kolom apresiasi Serambi Indonesia. Namun tak pernah dimuat setelah beberapa kali revisi. Esai di bawah ini adalah esai yang belum saya revisi kala itu. Dari pada tersimpan dalam kotal terkirim, saya mempostingnya di sini. Saya tahu bahwa, galeri nasional tahun 2014 saat melakukan sosialisasi kala itu tahun 2014, sudah berbenah. Saya pun sudah tak lagi berharap adanya galeri di Aceh. Karena, ternyata ada tiadanya galeri seni rupa, @kanotbu telah beberapa kali mengadakan pameran seni rupa. Berharap pada pemerintah akhirnya jelas keliru. Lantaran, pemerintah Aceh super sibuk setelah perang.
Saya tak lagi bersikap bahwa sebuah pameran seni rupa mesti dalam ruang galeri yang sendu dan rada-rada gelap dengan tingkat kemewahan ruang di atas rata-rata galeri swasta. Semua itu tiada guna akhirnya, tanpa jerih payah perupa mengupayakan berkarya secara terus menerus.
Untuk menandai pijakan saya bersikap dan berpikir, tak ada yang saya edit dari esai di bawah ini. Biarlah apa adanya dan murni menjadi perjalanan pikiran saya polos kala itu. Karena, biar pun keliru dan rada-rada ngemis galeri, saya sudah menggunakan pikiran kala itu saat baru-baru bergabung dengan para perupa di Banda Aceh.
Seni rupa tahun 2014 mungkin agak berbeda dengan sekarang. Tapi, saya yakin orang-orangnya terus berbenah bersama lahirnya banyak komunitas seni rupa dengan senimannya yang gagah-gagah dan berkemampuan lebih. Itu merupakan tabungan kelak hingga mapannya seni rupa di Aceh dan menyumbang kekayaan seni rupa Indonesia.
Untuk itu, pengantar ini sengaja saya bikin supaya esai di bawah ini tidak kehilangan konteksnya. Swni rupa Aceh akan terus berjalan walau tersendat-sendat dan kadang-kadang lari kencang. Setidaknya, esai di bawah ini ikut di dalamnya. Tiada lain.
selamat membaca!
Hari itu, Kamis (28/8/2014) tahun lalu, di museum Aceh digelar sosialisasi Galeri Nasional dan perkembangan senirupa nusantara, yang menghadirkan kepala Galeri Nasional bapak Tubagus Andre, Kurator Galeri Nasional, Hasan Asikin, dan perupa Aceh, Mahdi Abdullah.
Dalam sosialisasi setengah hari dan setengahnya juga dihabiskan untuk seremoni pembukaan itu, Galeri Nasional secara deskriptif menginformasikan apa saja tugas dan tanggung jawabnya sebagai badan pemerintah yang khusus menangani persenirupaan secara nasional. Dalam sosialisasi yang diikuti perupa dan sebagian besar guru senirupa di Banda Aceh terungkap banyak program yang dijalankan galeri nasional semisal residensi seniman Indonesia dan luar negeri, pameran keliling, seminar dan lain-lain. Ditambah informasi baru mengenai perkembangan senirupa di nusantara dari masa ke masa.
Sayangnya, kehadiran lansung kepala galeri nasional bersama timnya ke Banda Aceh bagi saya pribadi tidak memberi pengaruh apapun terhadap perkembangan senirupa lokal. Galeri nasional hanya memperkenalkan siapa dirinya, bagaimana ia, apa tugasnya, di mana tempatnya berkantor pada peserta sosialisasi. Singkatnya, kehadiran Galery Nasional ke Banda Aceh seperti menunaikan kewajiban agar memenuhi unsur 5W+1H saja.
Selain menyosialisasikan perannya, kenapa tidak galeri nasional secara khusus mengundang perupa lokal mendiskusikan persoalan yang menghambat perkembangan senirupa lokal Aceh hingga gaungnya jarang terdengar. Baik gaung wacana dan even pameran. Perupa Aceh-yang muda-muda terutama, membutuhkan peta (walau tanpa perlu dituntun sekalipun) dalam menyusuri jalan panjang persenirupaan yang arah perkembangannya belum memperlihatkan tanda-tanda terang benderang, walau demikian, justru tak gelap-gelap amat.
Kita tahu, galeri nasional hanya memfasilitasi apa yang sudah dihasilkan perupa. Artinya, Galeri Nasional hanya “memetik hasil” dari proses panjang personal perupa. Berkembang atidaknya senirupa lokal, tidak menjadi tanggung jawab mereka. Keberadaan galeri nasional yang hanya ada di Jakarta saja, turut menyempurnakan kebuntuan perkembangan senirupa daerah. Kehadiran galeri nasional dalam rangka sosialisasi tak lebih menggembirakan dari kunjungan darmawisata seorang paman dari kota yang tanpa oleh-oleh.
Daya jangkau Galnas ke setiap daerah yang terbatas, membuat denyut senirupa hanya berada dalam teritori kerja Galnas semata. Dalam konteks ini, Galnas harus belajar pada pola teritorial ala serdadu yang bahkan masuk ke halaman rumah kita melalui Babinsa-nya.
Kemudian, Proses tranfer pengalaman dan informasi senirupa yang masih sentralistik antara Jakarta dan daerah, selamanya tak akan bertemu dalam satu titik. Jika saja keberadaan galeri nasional masih tunggal dan tak bisa dijangkau oleh perupa daerah. tapi, tanpa kehadiran perwakilan permanen galeri nasional di tiap daerah, dapat disinyalir sebagai upaya terselubung pihak galeri nasional untuk tetap menjadi otoritas wacana persenirupaan yang tiada tandingan. Terutama dengan perupa dan komunitas senirupa daerah. Mungkin keadaannya berbeda dengan daerah yang wacana senirupanya sudah mapan seperti Bali dan kota-kota di Jawa lainnya.
Dalam sesi tanya-jawab di pengujung sosialisasi misalnya, muncul pertanyaan dari Reins Asmara- perupa yang berkarya di Aceh, kenapa galeri nasional tidak mempunyai perwakilan di daerah seperti halnya Pustaka nasional yang mempunyai perwakilan di tiap daerah. atau katakanlah OMBUDSMAN yang juga sudah ada di tiap daerah perwakilannya walau provinsi tertentu saja. Kegelisahan Reins Asmara saya kira cukup mewakili perupa yang hadir hari itu. Senirupa Aceh bak gerbong tanpa lokomotif. Tak bisa diberangkatkan kemana-kemana. Meskipun komunitas perupa bertumbuhan dan mulai menggejalai arus perwacanaan di wilayah domestik Aceh. 2014 lalu lahir KOMSERA (komunitas seni rupa Aceh) yang juga berpameran bertepatan dengan peringatan 10 tahun Tsunami. Pameran tersebut murni swadaya perupa. baik dana dan sumber daya.
Ruang pamer mutlak dibutuhkan terlepas untuk kepentingan pemasaran atau sekedar membiasakan perupa berhadapan dengan apresian. Galeri yang refresentatif dengan elemen pendukungnya yang lengkap, bisa membangun satu konstruksi wacana senirupa yang mempunyai kekhasan sendiri.
Pameran yang cilet-cilet tak bisa dipungkiri ikut mempengaruhi gejala senirupa lokal Aceh hingga terlihat kurang menggoda dibandingkan ditempat lain. tapi yang sebenarnya terjadi, kita tak kekurangan perupa. hanya saja, jarang tampil secara tunggal berpameran dengan didukung elemen seperti yang saya sebutkan di atas. berharap banyak pada pemerintah melalui galeri nasional juga bukan langkah strategis dan bisa-bisa diklaim perupa hanyalah sekelompok pemalas yang butuh selalu uluran tangan.
@marxause
Walau pun pameran seni rupa kontemporer menafikan ruang dan elemen pendukungnya, untuk Aceh yang mulai bangkit kembali seni rupa, galeri daerah cukup penting dihadirkan sebagai penanda senirupa Aceh beralamat. bahkan, di sana bisa menyimpan karya-karya perupa kontemporer Aceh dari generasi sebelumnya. misalkan angkatan Round Kelana hingga angkatan sesudahnya. hingga, perupa yang datang sesudah kita kelak dapat mengayuh kembali perahu senirupa Aceh dari titik ini. Apa yang sudah dihasilkan perupa sebelumnya adalah ekstrak dari perjalanan Aceh dalam wilayah politik, sosial hingga keagamaan. bagi saya pribadi, apa yang dihasilkan perupa dan politisi setara kadarnya dalam mewarnai perjalanan Aceh hingga ke masa kita sekarang. hanya saja politik terlalu riuh dan dipamerkan secara vulgar setiap saat. sementara senirupa selalu menunggu momen. begitulah.
Posted from my blog with SteemPress : http://marxause.kanotbu.com/index.php/2018/11/13/galeri-seni-sebuah-pengantar/