Kisah Raja Aceh
Rakyat Aceh hingga kini masih terlena dengan kemegahan masa lalu dan saya hingga saat ini enggan untuk tidak menceritakan kembali tentang masa lalu. Jadi, biarkan saya mengungkap kembali kemegahan itu, paling tidak akan memberikan teguran atau cambukan kepada masyarakat Aceh atau para Teungku Waki (pejabat pemerintah) dimana pun kalian berada.
Pada tahun 1607, Iskandar Muda diangkat menjadi Sultan Aceh menggantikan kakeknya Sultan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukamil (1588-1604). Dari hasil pernikahannya dengan putri Raja Lingga, Kerajaan Melayu yang terletak di Provinsi Riau.
Dalam Kitab Bustanus Slatin karya Nuruddin Ar-Raniry seorang cendekiawan Aceh dijelaskan bahwa Sultan Iskandar Muda sangat getol dalam menjalankan Syariat Islam di Kerajaan Aceh. Pada masanya lah Ratusan Mesjid didirikan di daerah-daerah dan Meunasah-meunasah (tempat pengnajian dan ibadah) merata disetiap gampong (desa). Sultan Iskandar Muda juga menganjurkan kepada seluruh rakyatnya untuk menjalankan Syariat Islam, secara benar dan sempurna. Hukum Kerajaan ini berdasarkan dengan Al-Quran dan Hadist, sehingga seluruh elemen masyarakat pada masa itu enggan melakukan pelanggaran terhadap Syariat Islam, atau hukum yang belaku disebabkan oleh penegakan hukum yang tegas. Selain itu dalam kitab Bustanus Salatin juga dijelaskan bahwa Sultan Iskandar Muda sangat pro rakyat, ini dibuktikan ketika Sultan dalam setiap jum
at nya selalu membawa berbagai macam hadiah dan sedekah untuk diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu.
Itulah sebabnya mengapa Aceh dijuluki dengan Negeri Serambi Mekkah, sehingga melahirkan sebuah filosofi yang menjadi acuan atau lambang budaya dan hukum Aceh sampai saat ini,: "Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana". Po Teumeureuhom adalah lambang pemegang kekuasaan. Syiah Kuala adalah lambang hukum syariat atau lambang agama dari Ulama. Qanun adalah lambang perundang-undangan yang berdasarkan Islam dan adat istiadat. Reusam adalah lambang dari tata cara pelaksanaan adat dari para peutua adat dan juga berlandaskan pada Islam. Pengembangan nilai-nilai hukum dan budaya ini mengacu pada sumber asas, yaitu: "hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut", suatu azas yang mendeskripsikan tentang roh dan jiwa masyarakat Aceh telah menyatu dengan pemahaman islamnya.
Semua ini dilalui bukan dengan kemudahan akan tetapi kesulitan yang bahkan sangat sulit. Sultan Iskandar Muda rela mengeksekusi mati anaknya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang notabene adalah satu-satunya penerus Kerajaan karena kasus perzinahan dan dieksekusi oleh Sultan sendiri. Semua pembesar kerajaan bahkan Menteri Kehakiman telah berusaha membujuk agar hukuman itu tidak dilaksanakan, akan tetapi Sultan tetap pada keteguhannya bahwa hukum harus ditegakkan. Dalam hal ini Sultan Iskandar Muda mengatakan," Aku akan menerapkan hukum kepada putera Mahkota dengan hukum yang seberat-beratnya. Dan akan kupenggal kepalanya dengan tangan ku sendiri karena telah melanggar hukum dan adat negeri ini". Dari peristiwa inilah muncul ungkapan yang sangat terkenal,"Matee Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Adat Pat Tamita", yang artinya adalah mati anak kuburannya ada, jika hilang adat kemana hendak dicari.
Sultan Iskandar Muda telah memberikan yang terbaik bagi Negerinya, dengan segala contoh kepemimpinan yang telah ditunjukkannya. Suatu pengorbanan yang sangat mengharukan seluruh manusia di permukaan bumi ini dengan harapan agar penerusnya nanti di Bumi Serambi Mekkah ini dapat menjalankan hukum dan syariat dengan kepemimpinan yang jujur dan menghargai jerih payah para pendahulunya dalam membangun negeri ini.
Sekarang Aceh telah mempunyai pemimpin yang baru dengan latar belakang pejuang Aceh, dapatkah mereka menjalankan struktur pemerintahan seperti sang Sultan?
Tunggu kisah saya selanjutnya tentang Kisah Tragis Meurah Pupok Sang Putra Mahkota.
Hi I am a roman khan i just upvoted you