Penghujung Ramadhan: Lailatur Qadar dan Fenomena Kebudayaan Kita
TANPA terasa bulan Ramadhan sudah memasuki penghujung akhirnya. Terhitung sampai dengan hari ini, Ramadhan sudah memasuki hari ke dua puluh delapan. Artinya, hanya tersisa satu hari lagi untuk kita melaksanakan ibaday puasa, dan, hanya satu malam lagi kita berkesempatan untuk menikmati serunya ibadah shalat terawih.
Maka di penghujung Ramadhan ini --sejak memasuki sepuluh terakhir-- terlihat pada malam harinya pemandangan umat berbondong-bondong melakukan i’tikaf di masjid, tadarus di meunasah, dan ada juga yang berzikir sepanjang malam.
Semua itu dilakukan tak lebih karena terbesitnya harapan guna mendapatkan satu malam yang istimewa di bulan Ramadhan, yaitu Lailatul Qadar.
Lailatul Qadar merupakan malam seribu bulan. Artinya, jika kita beribadah di malam itu sama halnya telah beribadah selama seribu bulan -- yang jika dihitung kisaran 83 tahun dan 4 bulan.
Karena Lailatul Qadar --sebagaimana di Riwayatkan dalam kitab-kitab fiqah-- jatuhnya di malam-malam ganjil, maka malam-malam ganjil menjadi prioritas utama para umat Islam untuk melakukan i’tikaf. Kondisi ini jelas berbeda dengan hari-hari di dua pertiga Ramadhan sebelumnya, apalagi dengan hari-hari dibulan lain.
“Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. 97: 3).
Di sebalik itu, penghujung Ramadhan juga menghadirkan pemandangan baru yang juga telah menjadi adat atau tradisi untuk daerah-daerah tertentu. Ini terkait cara menyambut hari kemenangan dengan membeli pakaian baru, peralatan baru, renovasi rumah agar terlihat baru sampai membuat aneka macam makanan ringan atau jajanan.
Sayangnya, demi memenuhi tuntutan adat seperti itu, membuat sebagian umat Islam lupa akan misinya untuk mendapat Lailatul Qadar.
Memang, mengenakan pakaian baru, bersilaturrahmi, dan menyuguhkan makanan saat lebaran bukanlah sekedar tradisi dan budaya. Sebab terdapat dalil-dalil sahih berupa hadis Nabi dan atsar (perkataan) para ulama ahlus sunah wal jama’ah yang (konon) mengatakan hal itu memang mubah, artinya dibolehkan.
Namun yang perlu diketahui, walaupun hal tersebut dibenarkan, janganlah sampai membuat kita lalai atau abai terhadap kewajiban dan aktivitas ibadah di bulan Ramadhan. Karena, bulan Ramadhan --sebagaimana kita ketahui-- tidaklah sama dengan bulan lainnya. beribadah di bulan Ramadhan pahalanya juga berbeda dengan beribadah di bulan lain. #nyanban
Rabu, 13 Juni 2018 || @emsyawall
Postingan yang luar biasa bung
Na ka eh lam mesjid wal?
Semoga kita dapat bersua lagi demgan Ramadan berikutnya, karena berita yang paling buruk adalah ketika kita tidak bersua dengannya di tahun berikutnya
Terimakasih telah menggunakan #ramadan-tkf. Sampai jumpa di Ramadhan 2019 😊
Salam hangat dari Kanada,