Persoalan Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Aceh |
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2019 tanggal 25 Oktober 2019, luas daerah Provinsi Aceh adalah 5.795.600 hektar . Luas wilayah Provinsi Aceh hanya sekitar 3,02 persen dari luas Indonesia. Sementara itu, jumlah pulau di Provinsi Aceh sebanyak 331 pulau.
Terdapat kawasan hutan 3.335.613 hektar dari luas daratan terdiri dari hutan lindung dan konservasi 2.697.113 hektar dan kawasan budi daya hutan 638.580 hektar, sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 hektar. Puncak tertinggi pada 4.446 meter di atas permukaan laut (mdpl), wilayah laut yang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 534.520 km2 dengan 73 sungai besar.
Data demografi terkini menunjukkan bahwa jumlah penduduk sebanyak 5,33 juta orang (BPS 2021) dengan 3,52 juta jiwa setara 66,2 persen berusia produktif (15-64 tahun). Mengenai pembagian wilayah, Aceh memiliki 18 kabupaten, 5 kota, 289 kecamatan, 6.516 gampong atau desa .
UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh menjadi landasan hukum pelaksanaan otonomi khusus Aceh. Salah satu poin penting dalam UU No.11/2006 adalah pemberian DOKA untuk percepatan pembangunan kembali Aceh pascakonflik bersenjata dan bencana gempa bumi dan tsunami yang mahadahsyat, sehingga tujuan kesejahteraan dapat segera dirasakan oleh rakyat Aceh.
DOKA yang merupakan penerimaan Pemerintah Aceh dari Pemerintah Pusat dikhususkan untuk pembangunan dalam bidang pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi, pendanaan pendidikan, pendanaan kesehatan, pendanaan sosial, dan keistimewaan Aceh serta pemeliharaan infrastruktur.
Dalam UU No.11/2006 Pasal 183 Ayat 2, juga menyebutkan DOKA berlaku untuk 20 tahun, di mana tahun pertama sampai tahun ke-15 sebesar 2 persen dari DAU-N dan untuk lima tahun selanjutnya sebesar 1 persen dari DAU-N. Pemerintah Pusat sudah mengucurkan DOKA ke Pemerintah Aceh sejak tahun 2008. Total dana yang dikucurkan oleh pemerintah pusat ke Pemerintah Aceh sampai tahun 2022 sudah mencapai Rp95.997.338.903.480.
Pemerintah Aceh mendapatkan DOKA tahun 2008 sebesar Rp3.590.142.897.000 terus meningkat sampai tahun 2019 yang mencapai Rp8.357. 471.654.000 sesuai dengan kenaikan DAU-N. Selanjutnya, sampai tahun 2022 terus turun hingga mencapai Rp797.471.654.000 di tahun 2022 atau setara dengan 9,54 persen penurunannya dibandingkan DOKA tahun 2019. Penurunan ini seiring dengan turunnya DAU-N yang berimbas kepada penerimaan Pemerintah Aceh dari Pemerintah Pusat.
Walaupun Aceh mempunyai anggaran yang besar dalam APBD Aceh (sekitar 50 persen berasal dari DOKA), ternyata belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh secara signifikan pasca-MoU damai antara GAM dengan Pemerintah RI. Ini terlihat dari indikator ekonomi sebagai berikut:
- Kemiskinan Aceh masih peringkat pertama di Sumatera dan peringkat keenam di Indonesia, walaupun persentase kemiskinan turun 50 persen dari tahun 2005 yang mencapai 32,60 persen dan menjadi 15,43 persen tahun 2021. Selama 14 tahun pengelolaan DOKA tidak berpihak kepada masyarakat miskin di Aceh, anggaran pengentasan kemiskinan selama 14 tahun hanya sebesar 6,11 persen atau sebesar Rp5,4 triliun dari Rp88,5 triliun.
Seyogianya, untuk program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, Pemerintah Aceh dapat menganggarkan 30 persen sampai 40 persen. Anggaran yang besar ini diperlukan agar tumbuhnya ekonomi-ekonomi kerakyatan secara merata di Aceh, khususnya di kantong-kantong kemiskinan melalui kegiatan yang melahirkan banyak tenaga kerja, seperti kegiatan padat karya, industri rumah tangga, industri kreatif, dan start up bagi generasi milenial, serta kegiatan ekonomi kerakyatan lainnya; - Pengangguran juga relatif masih tinggi di tahun 2021 sebesar 6,3 persen, walaupun ada penurunan sekitar 3,26 persen dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 9,56 persen. Pengelolaan DOKA belum mampu membuka lapangan kerja baru bagi angkatan kerja baru. Infrastruktur yang dibangun dengan menggunakan DOKA belum mampu menarik investasi dalam bidang pariwisata, hilirisasi produksi pertanian dan perkebunan, hilirisasi hasil perikanan laut dan tambak, pelayanan jasa, dan lain sebagainya;
- Pertumbuhan ekonomi Aceh juga masih jauh di bawah rata-rata nasional, ini mengindikasikan bahwa penggunaan DOKA untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi tidak berjalan sesuai harapan. Hanya di tahun 2017 sampai 2019 pertumbuhan ekonomi Aceh cukup baik selama tiga tahun itu, selisih dengan pertumbuhan ekonomi nasional hanya sekitaran 1 persen;
- Penggunaan DOKA yang sangat besar dalam perawatan infrastruktur juga tidak menjadikan Aceh sebagai wilayah investasi. Investasi asing di Aceh merupakan yang terendah se-Sumatera, artinya kepercayaan asing kepada Aceh dalam investasi masih di bawah Bengkulu. Investasi dalam negeri lebih baik, tetapi juga belum mampu mendorong peningkatan ekonomi secara signifikan dan belum memberikan lapangan pekerjaan yang lebih besar.
Oleh karena itu, ke depan penggunaan DOKA untuk infrastruktur dapat dikurangi secara signifikan berkisar di 15 persen sampai 20 persen dari DOKA; - Program atau kegiatan yang menggunakan DOKA selama ini, lebih banyak menyebabkan uang Aceh mengalir keluar. Oleh karena itu kegiatan yang bersumber dari DOKA harus menggunakan produk Aceh atau menggunakan jasa dari Aceh, sehingga lebih banyak uang yang beredar di Aceh.